Sunyi di Ujung Hari Sang Maha Patih (Dimensi Lain Kisah Patih Gajah Mada)

Thursday 15 December 2011




Gajah Mada sosok kontroversi negeri ini. Ia telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam literature sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya. Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan Negara yang ia bela.
Tulisan ini coba memberikan gambaran dari sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan merupakan sosok Dewa ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!
menjelang ajalnya, Gadjah Mada diketahui menyepi ke daerah Madakaripura, Probolinggo, yang menjadi salah satu bagian dari lereng Gunung Semeru. Sang Maha Patih tiba-tiba ia merasa sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan semua kebesarannya. Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit sudah sebesar yang diimpikannya. Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya. Oleh Hayam wuruk, ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai Brantas yang dibebaskan dari pajak dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan Patih yang sudah tua itu.

Dalam kesendirian dan ketuaannya terbayang kembali saat Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya, sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia telah berhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah salah satu jalan yang diplih untuk memperkuat negara itu. Apalagi dalam perjalanannya, negara yang baru tumbuh itu, harus mengalami berbagai macam pemberontakan, yang terutama dari sahabat dekat sang raja sendiri, seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada yang siap beregenerasi. Maka sekolah militer untuk perwira dimasa depan disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu produknya. Menghabiskan masa muda dalam pendidikan kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya. Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.



Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia lemah. Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder), yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada. Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat, apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat. Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakang sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang raja kembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah. Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah. Bagi Gajah mada kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana, punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.



Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti, menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Akhirnya, pada tahun 1334 M, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah yang dikenal sebagai Amukti Palapa :



Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktI palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan untuk mewujudkan sumpah itu. Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi, karena Hayam wuruk masih kecil.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda. Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai.
Gajah Mada memang telah menjadikan urusan kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia tidak memiliki perhatian terhadap Negara. Namun di balik semua itu, ia hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang lainnya yang memujinya setinggi langit, Suara Tantular tidak pernah diperhitungkan!”
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multi dimensi yang mendera Majapahit.
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk! Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai Datuk, dan “di atas kertas” walaupun tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan orang Sumatera, “Orang Jawa (Maha Patih Gajah Mada) datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.”
Hayam wuruk yang beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding. Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan dan sangat pantas menjadi menantunya.
Dan segera urusan ini dipercepat, dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu jemputan dari Majapahit.



Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai. Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh, Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang sederajat, sekutu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan. Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai tradisi pengantin waktu itu, melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada, tapi Gajah Mada adalah orang yang sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya insting kenegaraan saja, dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi mereka berbeda, dan tak mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama. Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu, ialah yang harus mundur. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa yang penting. Pada negara atau pada raja?
Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya, diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu dilegendakan riwayat kelahirannya. Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya. Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Hayam Wuruk kemudian memilih enam Maha Mantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Ke enam Maha Mantri Agung ini bukanlah dari kalangan yang dibina oleh Sang Gajah Mada karena semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, dikisahkan pada tahun 1329 M, Patih Majapahit Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk.
Terngiang kembali dalam kesendiriannya beberapa percakapannya di pendopo agung kepatihan antara dirinya (Gajah Mada) dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri.
“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”
Dikeuzurannya Sang Gajah Mada sepi tanpa istri dan dalam kesendiriannya pula mantan Maha Patih Agung itu mangkat….. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Patih Gadjah Mada, Jenderal Nusantara penakluk dunia:



Pemerintah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, membentuk tim untuk penelusuran sejarah Gajah Mada. Tim diarahkan pada penggalian data menyangkut kemungkinan bahwa Maha Patih Majapahit yang dikenal dengan Sumpah Palapa itu berasal dari Lamongan.
Tim yang dibentuk oleh Bupati Masfuk dan mulai bekerja pekan ini diperkuat sejumlah budayawan. Pelaksana tugas Asisten Administrasi Lamongan, Aris Wibawa, kemarin mengatakan tim akan melakukan riset sejarah Gajah Mada di sejumlah museum di Surabaya, juga Trowulan, Mojokerto, dan beberapa tempat peninggalannya.

(Patung Patih Gadjah Mada di Lokasi Air Terjun Eksotis yg keren, Madakaripura Probolinggo)

Aris menyebutkan, dalam seminar dan rembuk budaya di Lamongan beberapa waktu lalu, dibahas keberadaan dan asal-usul Gajah Mada. Budayawan Lamongan Viddy A.D. Daery menyebutkan sejumlah cerita rakyat mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo, Lamongan). Di zaman Majapahit (1293-1527), wilayah Lamongan bernama Pamotan.


Berdasarkan cerita rakyat, Gajah Mada adalah anak Raja Majapahit secara tidak sah (istilahnya lembu peteng atau anak haram) dengan gadis cantik anak seorang demang (kepala desa) Kali Lanang. Anak yang dinamai Joko Modo atau jejaka dari Desa Mada itu diperkirakan lahir sekitar tahun 1300.

Kakek Gajah Mada, yang bernama Empu Mada, membawa Joko Modo ke Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang. Wilayah yang lebih dekat dengan Biluluk, salah satu pakuwon di Pamotan, benteng Majapahit di wilayah utara. Sedangkan benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun, Kecamatan Solokuro.

Salah satu bukti fisik bahwa Gajah Mada lahir di Lamongan ialah situs kuburan Ibunda Gajah Mada di Desa Ngimbang. Digambarkan, Joko Modo ketika itu berbadan tegap, jago kanuragan didikan Empu Mada. Di kemudian hari, dia diterima menjadi anggota Pasukan Bhayangkara (pasukan elite pengawal raja) di era Raja Jayanegara.

Ia menyelamatkan Jayanegara yang hendak dibunuh Ra Kuti, patih Majapahit. Gajah melarikan Jayanegara ke Desa Badander (sekarang masuk wilayah Bojonegoro) di wilayah Pamotan. Dari bukti-bukti itu, tim pelacakan Gajah Mada akan membuat dokumen. Tim akan bekerja sekitar enam bulan langsung di bawah pengarahan bupati.
Pada masa kepemimpinan Patih Gajah Mada ini nusantara kita pernah mengantarkan kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan terbesar sepanjang sejarah, wilayah kekuasaannya yang begitu luas yang meliputi Sumatera,semenanjung Malaya, Borneo (kalimantan), Sulawesi, Kepulauan Nusa tenggara, Maluku,Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Dimana letak kemisteriusan seorang gajah mada. Gajah Mada, sampai sekarang tidak ada bukti tertulis mengenai tempat dan tanggal lahirnya. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri. ada sedikit dasar tentang kenapa dia dianggap dari daerah Modo - Lamongan. di daerah Cancing Ngimbang banyak ditemukan prasasti - prasasti yang diduga kuat peninggalan Majapahit, dan lagi pula daerah ini adalah yang terdekat dengan perbatasan Lamongan - Mojokerto. tepatnya di daerah Mantup, 20 kilometer selatan Lamongan. jadi sangat mungkin bila Gajah Mada berasal dari Lamongan. mengingat kuatnya bukti bukti prasasti yang ada di daerah inibahkan tempatnya juga sangat teratur sebagai tanah perdikan. termasuk beberapa makam kuno prajurit. juga makam kuno yang diduga kuat sebagai makam ibunda Gajah Mada. Nyai Andong Sari.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).

Sumpah Palapa

Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut:
“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”

(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa (kebahagiaan).)

Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.
(sepertinya inilah latar belakang dilarangnya seorang gadis Sunda untuk mendapatkan suami Jawa...karena akan membangkitkan kenangan buruk di masa lalu...)

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup

Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering ato loro (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Kilas Sejarah Syeikh Jumadil Kubro

Jangan sampai melupakan sejarah, kiranya tepat semboyan dari Soekarno ini senantiasa kita gelorakan dalam memahami jati diri bangsa. Bagi umat muslim pun selayaknya mempelajari sejarah pengembaraan dakwah para syuhada’ terdahulu. Budaya ziarah ke makam para syuhada’ dan waliyullah bisa sekaligus dimanfaatkan untuk mempelajari sejarah perjuangannya. Sehingga, akan member manfaat lebih menghayati ajaran Islam sesungguhnya. Bagaimana Islam diajarkan dengan nilai-nilai dakwah yang sesuai dengan nalar piker umat, yaitu perlahan tapi pasti. Dengan demikian Islam bisa berkembang dinamis dan diterima dengan penuh kesadaran sesuai dengan watak Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Di sisi lain, nilai spirit Islam dalam memberikan pencerahan tidak dipahami sebagai agama-ansich yang kini kerap dijadikan sebagai pengkotakan golongan manusia. Melainkan ajaran hidup untuk memenuhi ketaqwaan umat kepada tuhannya.



Spirit Islam bisa dipelajari salah satunya dari keteladanan perjuangan Syeikh Jumadil Kubro yang sarat ketulusan dalam berdakwah. Selain kita bisa melestarikan ajarannya, dan kemudian mengemasnya sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Tidak berlebihan, bila keberadaannya menjadi referensi sejarah, keilmuan, dan nilai moral yang begitu penting bagi pembinaan dan pendidikangenerasi dari zaman ke zaman.
Syeikh Jumadil Kubro merupakan tokoh kunci proses Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum walisongo. Seorang penyebar Islam pertama yang mampu menembus dinding kebesaran Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro bernama lengkap Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Beliau adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAW dari garis Syyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Campa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Campa.Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri. Setelah dewasa, beliau mengembara ke negeri neneknya di Hadramaut. Di sana beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau bergumul dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja yang hendak mendalami ilmu keislaman.




Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni MalikIbrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Perjalanan dakwah Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci. Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit sangatlah besar.
Karena pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak heran, bila pemakaman beliau berada di antara beberapa pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunana Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan beberapa patih dan senopati yang dimakamkan bersamanya.
Lokasi kompleks makam ini berdekatan dengan Pendopo Agung Majapahit dan Pusat Informasi Majapahit yang pembangunannya menuai kontroversi. Hal itu karena proses pembangunannya diindikasikan merusak situs-situs peninggalan Majapahit yang diyakini hingga kini masih terkubur di dalam tanah kawasan Trowulan. Sekali dayung, maka semua tujuan napak tilas sejarah Majapahit bisa terpenuhi.
: Agama Islam, Gresik, Majapahit, Mojokerto, Pendopo Agung, Pusat Informasi Majapahit, Sunan Kudus, Syeikh Jumadil Kubro, Troloyo, trowulan

DONGENG MBOK SRI SEDANA

Sunday 13 November 2011
Mbok Sri Sedana itu seorang perempuan tidak mempunyai suami, tetapi bisa hamil dan mempunyai anak। Jadi orang jawa kalau mempunyai hajat dan di doai atau istilahnya di kajatkan itu sebenarnya hanya mengenang Mbok Sri Sedana tidak bersama Joko Sedana; jadi Jaka Sedana itu tidak ada sebenarnya.
Zaman dahulu mbok Sri Sedana itu seorang perempuan sejati; mau dinikahi orang yang kaya, bagus, tinggi besar, gagah perkasa tidak mau. Maunya nikah kalau yang menikahi itu orang sedunia. Terus orang yang mau menikahi tersebut benci, mau tidak mau harus mau dipersunting. Mbok Sri Sedana lalu pergi berlari- lari sampai hutan, namun tetap tidak mau dinikahi. Kemudian orang yang suka terhadap mbok Sri tadi mau membunuh mbok Sri Sedana, akhirnya tewas di hutan.
Setelah tewas rambutnya mbok Sri sedana tumbuh jadi tumbuhan gembili, susunya tumbuh jadi padi, perutnya tumbuh jadi ubi merah, ubi putih. Pahanya tumbuh jadi ketela; setelah keprawananya tumbuh jadi gadhung. Kemudian orang yang makan gadhung pasti ketagihan sebabnya meskipun suka atau kecanduan gadhung tadi rasanya nikmat baget………

=====================

Ki Ageng Selo

Friday 11 November 2011



Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja – raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki – laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkimpoian antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kimpoi dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja – raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 – 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja – raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek – kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kimpoi dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja – raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja – raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja – raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak – arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing – masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data – data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja – raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa – sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber – sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam – makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam – makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata – rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

Babad Mataram2

Di Jawa bagian tengah nama Mataram sama sekali bukan nama yang asing bagi masyarakatnya. Bahkan nama itu di di abadikan menjadi nama dua kerajaan besar di masanya masing-masing. Mataram-Hindu di abad kedelapan serta Mataram Islam diawal abad ke enam belas.
Walau terpisah rentang waktu yang cukup lama kedua kerajaan itu memberi warna yang sangat kenthal bagi perkembangan masyarakat kontemporer kita.
Mataram Islam
Cerita Mataram Islam dimulai dari kerajaan Demak diakhir masa Lintang Trenggana yang compang-camping akibat krisis politik. Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang berontak karena merasa lebih berhak atas tahta Demak dibanding Jaka Tingkir yang notabene hanya anak menantu Trenggana. Konflik itu akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir yang kemudian mendirikan kasultanan Pajang.
Kemenangan ini tak lepas dari peran Sutawijaya alias Karebet anak dari Ki Ageng Pemanahan. Dia berhasil membunuh Aria Panangsang, dan memantapkan posisi Jaka Tingkir yang kelak bernama Sultan Hadiwijaya.
Ada ubi ada talas ada budi ada balas, begitu peribahasanya. Atas jasanya Sultan Pajang menghadiahinya sebidang tanah luas, berupa kawasan yang disebut Hutan Mentaok/alas Mentaok (Kothagede). Kawasan ini kelak, setelah dibuka, dinamai Bumi Mataram dan masih merupakan wilayah Pajang.
Alas Mentaok atau hutan mentaok tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai hutan belantara, dan pembukaannya tidak semata-mata dilakukan dengan merubuhkan pohon dan meratakan tanah saja. Karena sejatinya di Mentaok masih ada sebuah kedaton, atau kerajaan kecil yang justru tunduk pada sisa-sisa Majapahit yang jelas-jelas Hindu dan bukan tunduk ke Pajang yang Islam. Kedaton itu sendiri memang sudah bernama Mataram.
Jadi pemberian alas Mentaok kepada Sutawijaya bukan dimaknai pemberian gratis. Tetapi lebih merupakan perintah Hadiwijaya untuk melebarkan kekuasaaanya ke selatan yang selama itu telah gagal dilakukan Demak dan Pajang.
Waktu itu, singgasana kedaton Hutan Mataram ini diduduki seorang ratu, yang bergelar Lara Kidul Dewi Nawangwulan. Dia adalah lahir dari dinasti Buda Kalacakra (Tantrayana), Maharani (Kaisarina) Suhita dengan suami sang Aji Ratna Pangkaja, raja Tanah Malayu.
Si Lara Kidul diambil menantu Brawijaya (Bre Wengker: 1456-66), dan dijodohkan dengan Raden Bondan Kejawan alias Kidang Telangkas, putra hasil perkimpoian nya dengan Wandan Bodricemara. Ratu Kedaton Mataram berikut nya ialah Dewi Nawangsih, putri Dewi Nawangwulan dengan Bondan Kejawan. Ratu penerus Nawangsih yaitu Ni Mas Ratu Angin Angin.
Atas kemauan Sultan Adiwijaya, Ni Mas Ratu Angin Angin diperistrikan dengan Sutawijaya, putra angkat nya itu. Adiwijaya berharap Sutawijaya dan keturunan nya kelak dapat menjadi penerus Pajang, dan kuat mengemban “Wahyu Majapahit”. Mengingat bahwa darah Majapahit mengalir dalam diri Ni Mas Ratu Angin Angin.
Apakah suksesi Majapahit-Hindu ke Pajang-Islam dengan model ini cukup dan bisa diterima?
Legitimasi formal Sutawijaya memang menjadi mantap ketika di Pajangpun konflik politik pecah. Anak Hadiwijaya, Pangeran Benowo yang merupakan pewaris Pajang di kudeta oleh Aryo Pangiri adipati Demak. Merasa terdesak Benowo meminta bantuan Sutawijaya di Mataram. Setelah berhasil mengalahkan Aryo Pangiri Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya.
Bagaimana dengan masyarakat awam Mataram-Hindu? Apakah mereka mau begitu saja menerima dominasi orang utara yang nota bene Islam? Awam hanya akan menerima sebuah penundukan bila panakluk bisa membunuh keinginan awam untuk berontak. Dan lazimnya penakluk kemudian menampilkan kengerian dan ketakutan untuk melegitimasi kekuasaanya.
Bagi masyarakt agraris jawa seperti daerah Mataram waktu itu, laut selatan mengambil bentuk yang sangat berbeda dengan laut utara jawa. Bila laut utara tenang dengan ombak yang sepoi-sepoi dan pantainya yang datar. Maka laut selatan sama sekali mengambil bentuk yang berbeda. Dengan ombak yang bahkan bila musim barat datang tingginya bisa mencapai dua meter atau lebih. Di beberapa tempat seperti pantai Gunungkidul atau Karangbolong pantainya berupa tebing karang yang curam. Hingga sepanjang sejarah jawa laut selatan selalu mejadi cermin ketakutan bawah sadar masyarakat Jawa dan merupakan pembatasnya dengan dunia luar.
Sebagai seorang pemimpin yang telah kenyang berkonflik Sutawijaya –yang setelah menjadi sultan menyebut dirinya Panembahan Senopati- tahu betul kondisi psikologi itu. Dan penaklukanya terhadap pikiran jawa di mulai dengan cerita-cerita babad yang menampilkan superioritas dirinya dan anak keturunannya di kemudian hari.
Dari sinikah kemudian dongeng tentang Ratu Kidul di mulai. Laut selatan dengan wajah kejam pengambilnya di identikan dengan seorang ratu jin yang berkuasa di kedalam laut, lengkap dengan kemegahan istana dan semua struktur pemerintahannya. Ratu kidul secara tepat di gambarkan dalam dongeng-dongeng itu sebagai sebuah kekuasaan yang berada di luar dimensi awam jawa. Dan Sutawijaya secara cerdik memanfaatkan ketakutan-ketakutan awam akan Ratu Kidul ini menjadi kekuatan legitimasi terhadap pemerintahannya terhadap Mataram.
Babad Alas Mentaok
Periode babat alas Mentaok adalah periode paling rawan dalam proses legitimasi ini. Sehingga Sutawijaya mesti mengadopsi cerita babad alas Wanamarta oleh Pandawa dan di modifikasi sesuai kepentingannya. Untuk masyarakat hindu waktu itu cerita ini sudah di hapal luar kepala. Dalam babad alas Wanamarta Pandawa harus menghadapi sekeluarga raja Jin. Ketika para jin itu bisa dikalahkan dan manjing/menyatu dengan Pandawa, Pandawa mempunyai modal menghadapi Kurawa. Modal itu berupa negara Atmartha.
Dalam babad alas Mentaok itu yang dihadapi oleh Pandawa juga di hadapi oleh Sutawijaya. Mentaok di huni oleh Raja Jin bernama Jalumampang alias Jathamamrang. Merasa kesulitan mengalahkannya, Sutawijaya lalu mesuraga/semedhi di laut selatan. Dalam semedhinya dia lalu di datangi oleh Ratu Kidul yang terpikat oleh ketampanannya. Lalu deal politikpun tercapai, Ratu Kidul akan membantu melawan Jalumampang asal Sutawijaya dan keturunannya mau menjadi suami dari si Ratu. Ibarat pucuk dicinta ulampun tiba, Sutawijaya lansung deal dan kontrakpun di teken. Singkat cerita Jalumamphang kalah dan terusir ke puncak Merapi dan Sutawijaya sukes membuka hutan Mentaok.
Dengan cerita tersebut praktis bawah sadar Majapahit-Hindu telah di kalahkan secara permanen. Karena Ratu Kidul juga merupakan istri bagi raja-raja Mataram berikutnya. Dan cerita tersebut sangat efektif untuk mengancurkan keinginan berontak awam jawa terhadap penguasanya. Bagaimana mungkin awam jawa akan berani berontak bila Tuhan dan Jin bahkan bersekutu dibelakang penguasa. Dengan gelarnya yang panotogomo Panembahan Senapati telah berhasil memikat Tuhan.
Mataram Hindu
Peninggalan terbesar kerajaan Mataram-Hindu yang sampai sekarang tidak bisa dinilai harganya adalah toleransi antar umat beragama. Diperintah oleh dua wangsa yang berbeda wangsa Sanjaya yang Hindu dan wangsa Syailendra yang Budha perbedaan keyakinan tak membuat keduanya saling bunuh. Keduanya berkuasa dan berdampingan secara damai.
Berbicara tentang Mataram kuno tidak akan afdol tanpa membicarakan Borobudur. Borobudur memberikan kepada kita potret yang utuh akan kemajuan arsitektur di masa itu. Borobudur sebagai sebuah nama mungkin tak akan ditemui padanannya sekarang ini. Tetapi dulu nama itu diyakini berasal dari kata Sambharabhudhara, yang kurang lebihnya berarti “gunung” (bhudara) dengan lerengnya yang berteras. Atau lengkapnya Bhumisambharabhuddhara yang berarti “Gunung himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva“.
Arti yang lebih dekat juga bisa di runut dari kata “bara” dan “beduhur”. Bara berasal dari kata vihara, atau menurut bahasa sanksekerta bara berarti kompleks candi atau biara dan beduhur berarti “tinggi”. Para ahli boleh bersilang pendapat soal nama itu, tetapi menurut etimologi rakyat borobudur berasal dari lafal “para Budha” yang karena sering terpelesetnya lidah Jawa kata itu berubah menjadi borobudur.
Bentuk dasar candi berukuran 123×123 meter, bertingkat 6 berbentuk bujur sangkar dan 3 tingkat ke atasnya berbentuk lingkaran dan ditutup dengan sebuah stupa besar. Bahan dasar batu diambil dari sungai, dipahat, dibentuk kubus dengan sistem kunci coakan dan sengkedan. Sebagai struktur sebuah bukit –katanya puncak bukit– menjadi tempat penyusunan batu-batu tersebut. Total batu struktur dan termasuk reliefnya –seluas 2.500m2– menghabiskan sekitar 55.000m3. Sistem drainase menjadi penting, terutama saat musim hujan di mana curah hujan daerah tropis sangat tinggi, tetesan air hujan bisa mengalir deras dari puncak hingga ke bawah. Di tiap tingkat, di setiap sudutnya dibuat 100 lubang air dalam bentuk patung-patung yang unik.
Borobudur menjadi di kenal dijaman kontemporer tak lepas dari peran Raffess. Tahun 1814 ketika tanah Jawa masih berupa perawan molek yang diperebutkan Inggris dan Belanda, Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles yang saat itu kebetulan berkunjung ke Semarang mendapat laporan ada bukit yang penuh dengan relief.
Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan.
Pekerjaan membersihkan dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.
Tapi jauh sebelum itu, ditempat yang persis sama Samaratungga anak Indra dari wangsa Syalendra memerintahkan kepada arsiteknya, Gunadarma untuk membangun sebuah candi besar candi yang kelak akan mengabadikan namanya dan nama wangsanya. Ya..Samaratungga keturunan Syailendra si pembuat candi yang agung.
Yang akan di buat oleh Gunadharma bukan hanya sebuah candi raksasa umtuk ritual-ritual Mahayana saja, tetapi juga sebuah maha kitab dari batu yang akan membuat untuk membuat ajaran-ajaran Buddha tersajikan secara visual, dan di pelajari sepanjang masa. Selain itu, Gunadarma juga ingin memberi sugesti tentang kehadiran Budha Sakyamuni di Borobudur karena hanya dengan kesaktiannya orang baru mampu melihat bangunan ini.
Ya.. Gunadharma dengan bijak menggambarkan secara jelas sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Sebagai sebuah tingkat paling dasar sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu sekaligus digunakan oleh Gunadarma untuk memperkuat konstruksi candi. Disini Gunadarma sekaligus juga menempatkan 120 panel cerita Kammawibhangga.
Empat lantai diatasnya Rupadhatu, dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Inilah Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Lantainya sudah berbentuk lingkaran dan dipralambangkan sebagai alam atas. di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang bak kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Polos tanpa lubang-lubang. Didalamnya oleh Gunadarma diletakanlah penggambaran sang Adibuddha.
Membandingkan dua peninggalan dari kedua Mataram itu tidaklah lengkap bila tidak ditambah dengan satu peninggalan lagi dari Mataram-Islam, yakni penjajahan kolonial. Setelah Panembahan Senopati mangkat penggantinya adalah Mas Jolang alias Panembahan Hanyokrowati yang kemudian mati ketika sedang berburu di Krapyak. Tahta beralih tangan anak ke empatnya Adipati Martoputra yang ditenggarai gila. Hingga tak lama kemudian tahta diambil alih oleh Mas Rangsang anak tertua Hanyokrowati. Mas Rangsang ini lah yang kemudian di kenal sebagai Sultan Agung Hanyokrowati. Bila Mas Rangsang ini dikenal dengan keberaniannya melawan VOC maka penggantinya Amangkurat I dan Amamngkurat II tak lebih dari para penjilat pantat VOC yang patuh. Di tangan merekalah kemudian Mataram diserahkan kepada VOC. Hingga akhirnya perjanjian Giyanti akhirnya menamatkan riwayat Mataram dengan dipecahnya Mataram menjadi dua negara kecil.
Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Jogja, kasunanan dan Kasultanan bukanlah kerajaan dalam arti yang sesungguhnya karena secara militer dan politik mereka mandul dan lebih banyak di gunakan sebagai kepanjangan tangan Hindia Belanda. Melalui berbagai macam kapitulasi pemimpinnya akhirnya dua kerajaan tersebut tak lebih dari sekedar pertunjukan akan romantisme kebesaran jawa dimasa lalu. Dan rakyatnya di umpankan kepada perihnya imperialisme dan kapitalisme dikemudian hari sampai sekarang.
Warisan terbesar Mataram-Islam adalah sistem pemerintahan yang feodal yang dibelakang hari kemudian di praktekan oleh penguasa jawa kontemporer seperti Sukarno dan Suharto. Mereka berdua menerapkan sistem patron-klien dalam hirarki pemerintahannya. Bahkan Suharto mencontoh persis kelakuan Panembahan Senopati yang gemar membangun mitos-mitos di sekitarnya.

DAERAH TULUNGAGUNG PADA JAMAN PRA – SEJARAH

Menurut pengertian umum yang dimaksud dengan jaman pra – sedjarah adalah jaman di mana belum ada hasil – hasil kebudayaan yang berisikan tulisan yang dapat digunakan untuk pengetahuan sedjarah mengenai jaman itu. Dalam perbatasan waktu, zaman pra – sejarah ini terbentuknya bumi, mulai timbulnya tumbuh–tumbuhan, hewan dan manusia.
Dalam tulisanini sekedar akan kami petikkan kesimpulan-kesimpulan sedjarah terbentuknya bumi untuk mengetahui betapa tuanya sebagian dari daerah Tulungagung ini, dibedakan menjadi empat zaman, yaitu:
1. Zaman tertua ( Arcahaesum).
2. Zaman hidup tertua ( Pala cozoisum)- disebut juga jaman pertama (primair).
3. Zaman hidup pertengahan ( mesozeicum)- disebut pula jaman kedua ( sekundair).
4. Zaman hidup baru (neo zoisum) – jaman ini dibagi lagi menjadi dua yaitu, Jaman ketiga (tertier) dan jaman keempat (quartir).
Pada zaman ketiga (tertiair) bentuk kepulauan Indonesia hanya merupakan deretan pulau-pulau kecil yang sekarang merupakan pegunungan-pegunungan yang membujur dari Sumatra, Jawa, Musa tenggara, Maluku dan membelok ke Sulawesi. Di bagian tengah: dari semenanjung Malaka, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, melalui laut Jawa membelok ke Kalimantan Selatan.Dan sebagian yang paling utara berupa pegunungan-pegunungan Kwenlun di Kalimantan. Selama akhir jaman ketiga dan terus berlangsung pada sebagian jaman keempat, terjadi perubahan-perubahan yang hebat sekali. Di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi pula gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita.
Perubahan–perubahan tersebut di perkirakan mulai ½ juta tahun yang lalu.Dari uraian-uraian di atas dapatlah kami kemukakan bahwa terbentuknya daratan-daratan pegunungan gamping di bagian selatan Pulau Jawa yang membujur dari Jawa tengah sampai Jawa Timur,terjadi pada masa ± ½ juta tahun yang lampau.Hal ini berarti bahwa bagian selatan daerah Tulungagung,yang menjadi sebagian sumber perekonomian daerah ini,merupakan bagian tanah tyang cukup tua umumnya , dengan hasilnya batu kapur, batu marmer.Daerah ini dalam perkembanganya ternyata mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan sejarah Tulungagung.






Salah satu Goa Manusia Purba di Tulungagung yang di eksplorasi
Pada zaman keempat terjadilah zaman empat kali zaman es,di mana saat-saat demikian sebagian air di lautan tertarik utara dan selatan .Akibatnya adalah laut-laut yang dangkal menjadi kering,termasuk pula laut Jawa.Jawa pada saat itu menjadi daratan yang luas,sehinga pulau Jawa,Sumatra,Semenanjung Malaka menjadi satu daratan asia.Selama zaman es ini daerah katulistiwa tidak mengalami adanya es,tetapi yang di alami adalah musim hujan yang lama sekali.Pada zaman es / zaman keempai ini pulalah mulai ada tanda-tanda makluk yang mempunyai sifat-sifat kemanusiaan,tetapi bentuk tubuhnya masih menyerupai kera-kera besar.Makluk-makluk semacam ini di sebut manusia kera ( pitecantropus).Dan para sarjana berpendapat bahwa pada saat-saat terjadinya zaman-zaman es,daerah itu dingin sekali hawanya,sehinga binatang-binatang dan manusia berpindah menuju kea rah selatan,ke daerah katulistiwa. Di antara manusia-manusia kera itu ada yang sampai di Indonesia. Dan terbukti situs-situs keramgkanya yang telah membatu banyak di temukan di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan menurut penyelidikan jenis manusia-kera yang tertua di dunia situsnya juga diketemukan di daerah ini. Di daerah Tulungagung, yaitu di daerah Wajak pada tahun 1989 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, yang oleh para ahli digolongkan jenis manusia cerdas (Homosapiens). Tengkorak “ manusia Wajak”(homowajakensis) ini ternyata ada persamaan-persamaannya dengan tengkorak suku bangsa asli di Australia. Karena itu di perkirakan homowajakensis ini merupakan nenek moyang suku bangsa asli di Australia.
Hal lain yang mencolok mengenai manusia wajak ini, bahwa jenis manusia ini sudah menunjukkan ketinggian peradapannya di banding jenis-jenis manusia sebelumnya, yaitu dia sudah ditanamkan (dikubukan). Pada hal dalam kehidupan prasejarah masa-masa berikutnya, sitem penguburan itu baru dikenal sesudah manusia mengalami proses perkembangan berates-ratus tahun lamannya, yaitu pada zaman batu muda (neoliticum) yang sudah lama lewatnya dari zaman Es-akhir
Dasar-dasar penguburan erat sekali dengan kepercayaan yaitu merupakan usaha melindungi roh-roh dari gangguan alam atau binatang buas. Maka dari itu kalau memang benar Homo-wajakensis itu sudah mengenal penguburan, berarti pula mereka sudah mengenal usaha melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan hidupnya, mendirikan tempat-tempat tinggal atau berlindung di dalam goa-goa untuk menghindari keganasan alam dan binatang buas. Dalam hubungan ini tidak mustahil bila goa-goa yang terdapat di daerah wajak dahulu juga merupakan tempat tinggal manusia-manusia seperti Homowajakensis itu.






Fosil Homowajakensis yang disimpan di muesium bandung Jawa Barat
Goa-goa tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sedjarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni-penghuni goa itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan.
Dareh Wajak relative tidak jauh dari rawa-rawa yaitu: Rawa Bening Bedalem.Kemungkinan besar memang rawa ini merupakan yang terjadisemasa tengah terjadinya Gunung Gamping didekatnya.
Mengenai rawa ini di dalam cerita-cerita rakyat banyak disebut dalam hubungannya dengan daerah wajak dan daerah sekitarnya.Hal ini juga merupakan bukti bahwa daerah ini adalah daerah penting yang sangat di kenal sehingga secara turun temurun namanya diabadikan dalam bentu dongeng atau cerita rakyat. Sudah jelas bahwa daerah Tulungagung selatan pernah dihuni manusia-manusia purba yang kemungkinan menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang masih hidup sampai sekarang. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia-manusia yang tinggal di daerah ini merupakan manusia-manusia keturunan Wajakensis. Bangsa Indonesia sekarang (termasuk penduduk kota Tulungagung) adalah bangsa-bangsa yang nenek moyangnya berasal dari daerah Cina Selatan dan sebelumnya pindah ke Indonesia mereka telah lama tinggal di daerah Indocina. Sejak ± tahun 2000 Sm barulah mereka berpindah ke Indonesia. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ±th. 500SM.
Bangsa ini di Indonesia kemudian menyebar ke berbagai kepulauan di tanah air kita yang berjauhan letaknya. Akibatnya terjadi adat kebiasaan, kebudayaan dan bahasa yang digunakannya beragam. Oleh sebab itu, lambing Negara yang ada semboyan adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini tepat sekali untuk menggambarkan keragaman bangsa kita yang sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang sama itu.








Pabrik Marmer di Tulungagung Selatan di Pegungungan gamping Wajak, Besole

Suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia ini dibedakan menjadi dua golongan, yaitu suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) dan Suku Bangsa Melayu Muda atau neo-Melayu. Yang termasuk suku bangsa-Melayu Tua antara lain Suku Batak Karo (sebagian),Dayak, Toraja. Sedangkan yang termasuk Suku bangsa Melayu Muda antara lain Suku Bangsa Jawa, Madura, Bali, Banjar dan sebagainya.
Bagaimana persebarannya lebih lanjut nenk moyang kita di daerah Tulungagung ini, kita tidak menemukan keterangan-keterangan sedikitpun. Tetapi jelas sisa-sisa kebudayaan rohaninnya, terutama mengenai kepercayaannya, sampai sekrang masih dapat kita lihat hidup kuat di daerah kita ini. Sisa-sisa keprcayaan itu yang di sebut Dinamisme dan Animisme.
Dinamisme:kepercayaan mengenai adanya kekuatan gaib serta pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat. Sedangkan
Animisme :
Kepercayaan terhadap adanya roh-roh dan peranannya di dalam kehidupan masyarakat. Sisa-sisa kepercayaan dinamisme dan animisme tidak hanya di Tulungagung saja, tetapi bias dikatakan masih hidup kuat di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, walaupun wujudnya sudah merupakan gabungan dengan kebudayaan/kepercayaan baru yang pernah berpengaruh pada masyarakat Indonesia pada sepanjang sejarahnya.
Contoh-contoh yang jelas mengenai sisa-sisa kepercayaan kuno semacam itu yang masih hidup di daerah Tulungagung, yaitu kepercayaan akan kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka yang berwujud Tombak. Tombak ini yang dikenal dengan nama atau sebutan “Kyai Upas”. Kini pusaka ini disimpan dan dipelihara di bekas rumah pensiunan salah seorang Bupati Tulungagung, tepatnya di desa Kepatihan. Pusaka ini menurut kepercayaan masyarakat Tulungagung umumnya, dapat menimbulkan malapetaka: banjir, wabah penyakit dan sebagainya bila dipindahkan dari Tulungagung atau kurang diperhatikan pemeliharanya. Kepercayaan terhadap pusaka tersebut tidak lain berkisar pada kesakitan yang ada pada benda itu. Kesaktian semacam ini di dalam Ilmu kebudayaan disebut “MANA”. Suatu benda yang ber “MANA” besar, dapat mempunyai kekuatan luar biasa dapat menghindari mala-petaka yang akan menimpa keluarga yang memiliki atau menyimpan pusaka tersebut.
Di dalam kepercayaan dinamisme ada anggpan bahwa semua benda, semua bagian-bagian anggota badan mempunyai MANA. Berkurangnya bagian benda atau bagian badan tertentu, menyebabkan berkurangnya MANA benda atau badan itu sendiri, bila bagian benda/badan yang berkurang itu memperoleh tambahan MANA. Sehubungan dengan kepercayaan inilah timbul Black Magic (Sihir Hitam) seperti jengges, tenung dan sebagainya yang menggunakan bagian-bagian dari benda/badan yang akan menjadi sasaran sihir tersebut sebagai alat untuk menjalankan tujuan-tujuan jahatnya. Di samping itu, pelaksanaan ilmu sihir tentu memerlukan bantuan roh-roh halus untuk menjalankannya.
Kepercayaan mengenai sihir ini di daerah Tulungagung juga masih hidup dalam tata kehidupan masyarakat. Bagi warga Tulungagung daerah yang dikenal sebagai daerah tukang sihir diantarannya adalah daerah Wajak.
Juga erat hubungannya dengan animisme ialah kepercayaan di daerah Tulungagung yang mempercayai kota ini dijaga oleh roh-roh halus yang dikenal dengan sebutan “Mbah DJIGANGJOJO” dan “Mbah TJLUNTJANGDJOJO”

SEDJARAH PANTAI POPOH

Tuesday 28 June 2011
Pantai POPOH di babad oleh sesorang yang bernama EDJANG Tumenggung YUDO NEGORO, bliau berasal dara sebuah padepokan yang bernama Padepokan Semut Gatel dari kerajaan Mataram SOLO pada tahun - 1373.
Asal Nama Popoh yaitu:
Di ceritakan pada jaman dahulu banyak sekali SISIRPOH yaitu sejenis ikan tetapi sebangsa lintah.
Pantai Indah Popoh di pugar pada tanggal 1, bulan September, tahun 1972.
OLEH : Bapak SOEMIRAN yang terkenal dengan Juragan rokok atau BOS Perusahaan rokok REDJO PENTUNG

CANDI SANGGRAHAN

Friday 6 May 2011
SITUS CANDI SANGRAHAN

candi sanggrahan



Komplek Lapangan



Komplek candi berada pada pemukiman yang cukup subur dan terdiri atas tiga bangunan, masing – masing tidakutuh lagi. Secara administrasi situs masuk dalam lingkungan Dusun Sangrahan, Desa Sanggrahan yang merupakan daerah rawan banjir.
Secara umum komplek percandian terdiri atas sebuah bangunan induk dan 2 buah sisa bangunan kecillainya. Bangunan induk berukuran panjang 12.60m lebar 9.05 m tinggi 5.86 cm. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing – masing berdenah bujur sangkar dengan arah atap menghadap ke barat. Bangunan kecil yang berada di sebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Bahan yang digunakan dalam pembangunanya adalah bata. Di tempat ini dulu terdapat lima buah Arca Budha yang masing – masing memiliki posisi mudra yang berbeda. Demi keamanan dari pencurian,sekarang arca tersebut di simpan di rumah juru pelihara.

Bangunan diatas berada padat teras/ undakan berukuran 51 m x 42.50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang daridua meter.
Berdekatan dengan komplek Candi Sangrahan ini terdapat Candi Boyolangu serta peninggalan kuno lain di perbukitan Walikukun. Seperti Gua Selomangkleng (sekitar 1 km) dan Goa Pasir. Dapat diduga bahwa kekunaan itu dibangun pada masa yang tidak berbeda. Saat ini fungsi dari situs tersebut sebagai obyek wisata,kebanyakan para pelajar baik dari daerah Tulungagung maupun dari luar daerah.


Latar Belakang Sejarah
Hingga saat ini dikenal cerita rakyat versi Sina Wijoyo Suyono berkenaan dengan Candi Sanggrahan, yang dikatakan sebagai tempat yang dipergunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapadmi),pendeta wanita Budha (Bhiksumi) masa kerajaan Majapahit Pemerintahan Hayam Wuruk. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat disekitar Boyolangu. Dalam versi tersebut, Candi Sanggrahan disebut Candi Cungkup, sedangkan candi Boyolangu dikenal dengan nama Candi Gayatri ( Anonim 1985 ) Sumber lain yang berhubungan dengan kekunaan itu belum dijumpai.



Latar Belakang Budaya
Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai candi tersebut, disamping karena kurangnya bahan tersedia juga mengingat keletakanya yang berdekatan dengan situs lain yang sezaman. Secara umum pembicaraan tentang latar belakang budayanya dapat disejajarkan dengan Candi Boyolangu. Seperti halnya candi lain yang masih banyak dijumpai,fungsi utama sebuah candi adalah tempat pemujaan. Hal ini berlaku juga untuk Candi Sanggrahan, ditambah dengan keterangan lain yang menyebutkan sebagai sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar di Candi Gayatri.
Berdasarkan padatemuan berupa arca – arca Budha dalam berbagai mudra-Nya,dapat dikatakan bahwa keagamaan Candi Sanggrahan ini adalah agama Budha. Namun halini bukanlah sesuatu yang mutlak,karena pada zaman kerajaan Singhasari Majapahit diketahui adanya perbauran antara kepercayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dan kepercayaan Siwa dan budha ( Slamet Mulyana 1979 )
Bila anda ingin video tenyang situs candi sanggrahan bisa klik link di bawah ini :

SITUS CANDI DADI

SITUS CANDI DADI
Kondisi Lapangan


Komplek candi ini berada padaketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di tengah areal kehutanan dilingkunganb RPH Kalidawir. Secara administratif candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Lokasi candi ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 40 menit dari DesaWajak kidul kea rah Selatan.
Candi inimerupakan candi tunggal yang tidakmemiliki tangga masuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.50m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan,pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.



Dalam perjalanan kelokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuna yang masing – masning disebut Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali. Candi – candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit itu pun sudah dalamjumlah yang sangat kecil yang memadai keberadaanya dahulu.
Saat ini situs dipergunakan sebagai obyek wisata dan pengenalan sejarah bagi siswa – siswa di lingkup Kabupaten Tulungagung,bahkan rombongan pelajar sering memanfatakan lingkungan sekitar untuk melakukan perkemahan.

Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan HayamWuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalamkondisi yang dermikian,penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak – puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan.
Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.



Latar Belakang Budaya
Selain sebagai temapat pemujaan dapatdiduga bahwacandu tersebut dahulu berfungsi juga sebagai tempatpengabuan, pembakaranjenazah tokoh penguasa.Sifatkeagamaan yang melatar belakangi pendiriannya secaratepat belumdiketahui.Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya datayang mampu menunjuang upaya pengenalannya secara langsung.Meskipundemikian sumuran yang terdapatdi bagiantengah bangunan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk darikarakter sebuah pencandian berlatar keagamaan hindu.
Keletakan pada puncak sebuah bukit yang cukup sulit untuk dijangkau, dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejakj aman prasejarah yang percaya bahwa arwah paraluluhur berada disana, masyarakat penganut budaya hindu juga memanfaatkan puncak-puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal itu bertalian dengan .Hal itu berkaitan dengan mitos keagamaan dengan mitos keagamaan Hindu yang menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah tempat yang tinggi. Bila tidak terdapat sebuah puncak gunung atau bukit, merekamenggunakan terasberundak yang secara fisik da[at menggambarkan keletakanya yang lebih tinggi, atau dapat pula dilakukan dengan mengadakan pembagian halaman. Halaman terakhir adalah tempat, yang dianggap paling tinggi dan di tempat itulah diletakkan sesuatu yang dianggap paling megah atau paling besar sebagai cerminan kahyangan.



Berkenaan dengan fahan yang demikian itu, lingkungan alam disekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Berada pada puncang bukit yang mengahadap kelembah utara ,karya arsitektur tersebut betul – betul mennggambarkan kemegahan. Sesuatu yang memang patut dipersembahkan kepada sesembahanya. Tidak mengherankan bila disekitarnya,padaradius kurang 1 km, dijumpai sisa/bekas bangunan suci lain yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai candi Urung,Candi Buto dan candi Gemali. Semuanya menempati puncak – puncak bukit yang langsung berhadapan dengan lembah Boyolangu disebelah utaranya.
Untuk kepentingan manusia masa kini, pengenalan akan pemahaman tentang kegungan sang pencipta memang dapat dipupuk dari situs dan lingkungan alam di sana. Mencitai keindahan alam yang terdampar disekitar Candi Dadi beserta kelompok candi lain didekatnya,juga sejalan dengan upaya mencintai karya budaya nenek moyangnya, dan itu semua adalah juga sama untuk mencintai Penciptanya.

SITUS CANDI MIRIGAMBAR

Thursday 5 May 2011
SITUS CANDI MIRIGAMBAR

Kondisi Lapangan



Candi Mirigambar terletak di wilayah Dusun Mirigambar, Desa Mirigambar. Candi yang berada di perkampungan yang masih dipenuhi dengan lkahan luas untuk pertanian,merupakan sebuah candi tunggal, karena hingga saat ini belum dijumpai adanya candi perwara di dekatnya.
Keistimewaan candi tunggal yang dibangun dari bahan bata dan berpintu masuk di sisi barat ini, tampak pada batur batu persegi beserta sebuah undakan pada sisi barat yang dipenuhi oleh ornament.


Pada sisi utara,timur dan selatan terdapat bas-relief, dan di sudut tenggara terdapat sebuh pilaster yang kedua sisinya melukiskan seekor burung garuda. Pada bagian batu candi terdapat angaka tahun 1214 Ç sedangkan dua buah lain yang berukuran panjang lebih kecil berangka tahun 1310 Ç. Ukuran candi adalah, panjang 8.50m, lebar 7.70m dan tinggi 2.35m.


Latar Belakang Sejarah





Pada bagian batu candi teresebut terdapat tulisan singkat berupa angka tahun,dua diantaranya dapat dikenali yakni 1214 Ç dan 1310 Ç. Berdasarkan data itu, dapat dipastikan bahwa masa pembangunan dan penggunaanya berlangsung pada akhir abad XII hingga akhir abad XIV.
Latar Belakang Budaya
Pemanfaatan bata untuk bahan bangunannya merupakan salah satu cirri bangunan klasik Indonesia pada zaman Jawa Timur.
Sifat keagamaanya adalah Hindu,seperti yang dapat dikenali dari arca garuda pada pilaster candi.
Dalam pantheon dewa – dewa Hindu,garuda adalah wahana dewa Wisnu. Dewa Wisnu sendiri adalah lambang dari pemelihara dunia. Sebagaimana yang dikenal secara umum,candi ini digunakan sebagai tempat menjalankan upacara pemujaan bagi dewa oleh para penganut agama Hindu.

SITUS CANDI AMPEL
Kondisi Lapangan


Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman di wilayah Dusun Joho,Desa Ngampel.Lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekitar candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya beraspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.

Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman diwilayah Dusun Joho, Desa Ngampel.lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekeliling candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya ber raspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Candi mengarah kebarat dan berukuran 19,7 x 15m. Keadaan candi sudah hancur sehingga yang tampak sekarang hanyalah tumpulan bata setinggi 1,65m. Walaupun demikian pada sisa kaki candi di sisi selatan masih terlihat ornament sulur – suluran dalam motif flora. Kerusakan candidisebabkan adanya tujuh pohon besar yang tumbuh di tengah sisa bangunan tersebut. Yaitu pohon Joho, Winong, Aren, Kendal, serut, Ingas dan Leran. Tinggalan lain yang terdapat disekitar halaman candi adalah dua buah Arca Dwarapala, sebuah Yoni dan beberapa balok bata andesit.

Latar Belakang Sejarah
Sangat menarik untuk diamati bahwa candi ini terdapat padadataran rendah di sekitar kaki perbukitan Walikukun. Sebagaian besar percandian yang berada dilokasi lain padadataran rendah yang sama diketahui berasal dari Masa Majapahit. Berdasarkan keletakan maupun maupun rancang bangunanya dapat dipastikan bahwa candi Ampel juga dibangun padawaktu yang sama, yaitu suatu periode di mana cukupbanyak dibangun percandian dengan menggunakan bahan bata.

Latar Belakang Budaya
Walaupun hanya berupa tumpukan bata yang saat ini “diikat” oleh akar – akar pohon besar,kekuatan situs ini tetap dapat dikenali. Pada diding kaki candi,antara lain, masih tampak adanya ornament berupa sulur – suluran. Selain arca Dwarapala dan Yoni,di sana terdapat pula tujuh umpak batu.
Keberadaan Yoni jelas menunjukan bahwa bangunan candi itu berlatar belakang keagamaan Hindu. Adapun tujuh buah umpak yang terdapat di sana menunjukkan adanya manfaat bangunan terbuat dari bahan lain yang digunakan untuk menaungi bagian atas candi tersebut.
Sebagaiman kebanyakan candi di Nusantara, candiAmpel dahulu dugunakan pula sebagai tempat pemujaan. Sekarang hanya berfungsi sebagai obyekwisata saja. Walaupun tidak lagi digunakan sebagai tempat pemujaan bagiumat Hindu,dalamkasus tertentu situs ini masih dijadikan tempat nyuwun donga oleh sementara penduduk sekitar.

CANDI GAYATRI BOYOLANGU

SITUS CANDI BOYOLANGU CANDI GAYATRI / CANDI GILANG
Kondisi Lapangan


Candi Boyolangu merupakan kom,pleks percandian yang terdiri daritiga bangunan perwara. Masing – masing bangunan menghadap kebarat, candi diketumakan kemabali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar disbanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainya.
Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar dengan panjang dan lebar 11,40 M dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30M ( dengan mengambil sisi selatan ).

Didalambangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara ( Singhosari ) yang kemudian diwakili Raden Wijaya ( Majapahit ). Masa hidupnya Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi ) masa kerajaan majapahit dengan gelar Rajapadmi.
Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan rcaadalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah unpack pada bangunan perwara ini, sebanyak tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C ( 1369 M ) dan 1322 C ( 1389 M ). Dengan adanya umpak – umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpakpada umumnya sebagai penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak bangunan induk ( 1369 M, 1380 M ) maka diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ( 1359 M, 1389 M ). Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.
Banguan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.
Latar Belakang Sejarah
Candi ini ditemukan kembali padatahun 1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 1389 M ). Sumber lainya menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun padazaman majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk ( 1359 1389 M) dengan nama Prajnaparamitaputri ( Slametmulyana, 1979 ).
Menurut keterangan para ahli bangunan inimerupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat ikatakan sejaman. Sekitar 1km disebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.
Latar Belakang Budaya
Situs ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit.melihat pada Arca Pantheon Dewa dan wahananya,dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno,candi dikenal sebagai tempat pemujaan,temapat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai temnpat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Raja /Penguasa.
Fungsi candi persinggahan itu cukup menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiapbulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah – olah melingkarinya, terdapat situs – situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis disebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs – situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing – masing situs berkisar antara 2 – 4 km.

Powered by Blogger.