Di Jawa bagian tengah nama Mataram sama sekali bukan nama yang asing bagi masyarakatnya. Bahkan nama itu di di abadikan menjadi nama dua kerajaan besar di masanya masing-masing. Mataram-Hindu di abad kedelapan serta Mataram Islam diawal abad ke enam belas.
Walau terpisah rentang waktu yang cukup lama kedua kerajaan itu memberi warna yang sangat kenthal bagi perkembangan masyarakat kontemporer kita.
Mataram Islam
Cerita Mataram Islam dimulai dari kerajaan Demak diakhir masa Lintang Trenggana yang compang-camping akibat krisis politik. Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang berontak karena merasa lebih berhak atas tahta Demak dibanding Jaka Tingkir yang notabene hanya anak menantu Trenggana. Konflik itu akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir yang kemudian mendirikan kasultanan Pajang.
Kemenangan ini tak lepas dari peran Sutawijaya alias Karebet anak dari Ki Ageng Pemanahan. Dia berhasil membunuh Aria Panangsang, dan memantapkan posisi Jaka Tingkir yang kelak bernama Sultan Hadiwijaya.
Ada ubi ada talas ada budi ada balas, begitu peribahasanya. Atas jasanya Sultan Pajang menghadiahinya sebidang tanah luas, berupa kawasan yang disebut Hutan Mentaok/alas Mentaok (Kothagede). Kawasan ini kelak, setelah dibuka, dinamai Bumi Mataram dan masih merupakan wilayah Pajang.
Alas Mentaok atau hutan mentaok tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai hutan belantara, dan pembukaannya tidak semata-mata dilakukan dengan merubuhkan pohon dan meratakan tanah saja. Karena sejatinya di Mentaok masih ada sebuah kedaton, atau kerajaan kecil yang justru tunduk pada sisa-sisa Majapahit yang jelas-jelas Hindu dan bukan tunduk ke Pajang yang Islam. Kedaton itu sendiri memang sudah bernama Mataram.
Jadi pemberian alas Mentaok kepada Sutawijaya bukan dimaknai pemberian gratis. Tetapi lebih merupakan perintah Hadiwijaya untuk melebarkan kekuasaaanya ke selatan yang selama itu telah gagal dilakukan Demak dan Pajang.
Waktu itu, singgasana kedaton Hutan Mataram ini diduduki seorang ratu, yang bergelar Lara Kidul Dewi Nawangwulan. Dia adalah lahir dari dinasti Buda Kalacakra (Tantrayana), Maharani (Kaisarina) Suhita dengan suami sang Aji Ratna Pangkaja, raja Tanah Malayu.
Si Lara Kidul diambil menantu Brawijaya (Bre Wengker: 1456-66), dan dijodohkan dengan Raden Bondan Kejawan alias Kidang Telangkas, putra hasil perkimpoian nya dengan Wandan Bodricemara. Ratu Kedaton Mataram berikut nya ialah Dewi Nawangsih, putri Dewi Nawangwulan dengan Bondan Kejawan. Ratu penerus Nawangsih yaitu Ni Mas Ratu Angin Angin.
Atas kemauan Sultan Adiwijaya, Ni Mas Ratu Angin Angin diperistrikan dengan Sutawijaya, putra angkat nya itu. Adiwijaya berharap Sutawijaya dan keturunan nya kelak dapat menjadi penerus Pajang, dan kuat mengemban “Wahyu Majapahit”. Mengingat bahwa darah Majapahit mengalir dalam diri Ni Mas Ratu Angin Angin.
Apakah suksesi Majapahit-Hindu ke Pajang-Islam dengan model ini cukup dan bisa diterima?
Legitimasi formal Sutawijaya memang menjadi mantap ketika di Pajangpun konflik politik pecah. Anak Hadiwijaya, Pangeran Benowo yang merupakan pewaris Pajang di kudeta oleh Aryo Pangiri adipati Demak. Merasa terdesak Benowo meminta bantuan Sutawijaya di Mataram. Setelah berhasil mengalahkan Aryo Pangiri Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya.
Bagaimana dengan masyarakat awam Mataram-Hindu? Apakah mereka mau begitu saja menerima dominasi orang utara yang nota bene Islam? Awam hanya akan menerima sebuah penundukan bila panakluk bisa membunuh keinginan awam untuk berontak. Dan lazimnya penakluk kemudian menampilkan kengerian dan ketakutan untuk melegitimasi kekuasaanya.
Bagi masyarakt agraris jawa seperti daerah Mataram waktu itu, laut selatan mengambil bentuk yang sangat berbeda dengan laut utara jawa. Bila laut utara tenang dengan ombak yang sepoi-sepoi dan pantainya yang datar. Maka laut selatan sama sekali mengambil bentuk yang berbeda. Dengan ombak yang bahkan bila musim barat datang tingginya bisa mencapai dua meter atau lebih. Di beberapa tempat seperti pantai Gunungkidul atau Karangbolong pantainya berupa tebing karang yang curam. Hingga sepanjang sejarah jawa laut selatan selalu mejadi cermin ketakutan bawah sadar masyarakat Jawa dan merupakan pembatasnya dengan dunia luar.
Sebagai seorang pemimpin yang telah kenyang berkonflik Sutawijaya –yang setelah menjadi sultan menyebut dirinya Panembahan Senopati- tahu betul kondisi psikologi itu. Dan penaklukanya terhadap pikiran jawa di mulai dengan cerita-cerita babad yang menampilkan superioritas dirinya dan anak keturunannya di kemudian hari.
Dari sinikah kemudian dongeng tentang Ratu Kidul di mulai. Laut selatan dengan wajah kejam pengambilnya di identikan dengan seorang ratu jin yang berkuasa di kedalam laut, lengkap dengan kemegahan istana dan semua struktur pemerintahannya. Ratu kidul secara tepat di gambarkan dalam dongeng-dongeng itu sebagai sebuah kekuasaan yang berada di luar dimensi awam jawa. Dan Sutawijaya secara cerdik memanfaatkan ketakutan-ketakutan awam akan Ratu Kidul ini menjadi kekuatan legitimasi terhadap pemerintahannya terhadap Mataram.
Babad Alas Mentaok
Periode babat alas Mentaok adalah periode paling rawan dalam proses legitimasi ini. Sehingga Sutawijaya mesti mengadopsi cerita babad alas Wanamarta oleh Pandawa dan di modifikasi sesuai kepentingannya. Untuk masyarakat hindu waktu itu cerita ini sudah di hapal luar kepala. Dalam babad alas Wanamarta Pandawa harus menghadapi sekeluarga raja Jin. Ketika para jin itu bisa dikalahkan dan manjing/menyatu dengan Pandawa, Pandawa mempunyai modal menghadapi Kurawa. Modal itu berupa negara Atmartha.
Dalam babad alas Mentaok itu yang dihadapi oleh Pandawa juga di hadapi oleh Sutawijaya. Mentaok di huni oleh Raja Jin bernama Jalumampang alias Jathamamrang. Merasa kesulitan mengalahkannya, Sutawijaya lalu mesuraga/semedhi di laut selatan. Dalam semedhinya dia lalu di datangi oleh Ratu Kidul yang terpikat oleh ketampanannya. Lalu deal politikpun tercapai, Ratu Kidul akan membantu melawan Jalumampang asal Sutawijaya dan keturunannya mau menjadi suami dari si Ratu. Ibarat pucuk dicinta ulampun tiba, Sutawijaya lansung deal dan kontrakpun di teken. Singkat cerita Jalumamphang kalah dan terusir ke puncak Merapi dan Sutawijaya sukes membuka hutan Mentaok.
Dengan cerita tersebut praktis bawah sadar Majapahit-Hindu telah di kalahkan secara permanen. Karena Ratu Kidul juga merupakan istri bagi raja-raja Mataram berikutnya. Dan cerita tersebut sangat efektif untuk mengancurkan keinginan berontak awam jawa terhadap penguasanya. Bagaimana mungkin awam jawa akan berani berontak bila Tuhan dan Jin bahkan bersekutu dibelakang penguasa. Dengan gelarnya yang panotogomo Panembahan Senapati telah berhasil memikat Tuhan.
Mataram Hindu
Peninggalan terbesar kerajaan Mataram-Hindu yang sampai sekarang tidak bisa dinilai harganya adalah toleransi antar umat beragama. Diperintah oleh dua wangsa yang berbeda wangsa Sanjaya yang Hindu dan wangsa Syailendra yang Budha perbedaan keyakinan tak membuat keduanya saling bunuh. Keduanya berkuasa dan berdampingan secara damai.
Berbicara tentang Mataram kuno tidak akan afdol tanpa membicarakan Borobudur. Borobudur memberikan kepada kita potret yang utuh akan kemajuan arsitektur di masa itu. Borobudur sebagai sebuah nama mungkin tak akan ditemui padanannya sekarang ini. Tetapi dulu nama itu diyakini berasal dari kata Sambharabhudhara, yang kurang lebihnya berarti “gunung” (bhudara) dengan lerengnya yang berteras. Atau lengkapnya Bhumisambharabhuddhara yang berarti “Gunung himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva“.
Arti yang lebih dekat juga bisa di runut dari kata “bara” dan “beduhur”. Bara berasal dari kata vihara, atau menurut bahasa sanksekerta bara berarti kompleks candi atau biara dan beduhur berarti “tinggi”. Para ahli boleh bersilang pendapat soal nama itu, tetapi menurut etimologi rakyat borobudur berasal dari lafal “para Budha” yang karena sering terpelesetnya lidah Jawa kata itu berubah menjadi borobudur.
Bentuk dasar candi berukuran 123×123 meter, bertingkat 6 berbentuk bujur sangkar dan 3 tingkat ke atasnya berbentuk lingkaran dan ditutup dengan sebuah stupa besar. Bahan dasar batu diambil dari sungai, dipahat, dibentuk kubus dengan sistem kunci coakan dan sengkedan. Sebagai struktur sebuah bukit –katanya puncak bukit– menjadi tempat penyusunan batu-batu tersebut. Total batu struktur dan termasuk reliefnya –seluas 2.500m2– menghabiskan sekitar 55.000m3. Sistem drainase menjadi penting, terutama saat musim hujan di mana curah hujan daerah tropis sangat tinggi, tetesan air hujan bisa mengalir deras dari puncak hingga ke bawah. Di tiap tingkat, di setiap sudutnya dibuat 100 lubang air dalam bentuk patung-patung yang unik.
Borobudur menjadi di kenal dijaman kontemporer tak lepas dari peran Raffess. Tahun 1814 ketika tanah Jawa masih berupa perawan molek yang diperebutkan Inggris dan Belanda, Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles yang saat itu kebetulan berkunjung ke Semarang mendapat laporan ada bukit yang penuh dengan relief.
Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan.
Pekerjaan membersihkan dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.
Tapi jauh sebelum itu, ditempat yang persis sama Samaratungga anak Indra dari wangsa Syalendra memerintahkan kepada arsiteknya, Gunadarma untuk membangun sebuah candi besar candi yang kelak akan mengabadikan namanya dan nama wangsanya. Ya..Samaratungga keturunan Syailendra si pembuat candi yang agung.
Yang akan di buat oleh Gunadharma bukan hanya sebuah candi raksasa umtuk ritual-ritual Mahayana saja, tetapi juga sebuah maha kitab dari batu yang akan membuat untuk membuat ajaran-ajaran Buddha tersajikan secara visual, dan di pelajari sepanjang masa. Selain itu, Gunadarma juga ingin memberi sugesti tentang kehadiran Budha Sakyamuni di Borobudur karena hanya dengan kesaktiannya orang baru mampu melihat bangunan ini.
Ya.. Gunadharma dengan bijak menggambarkan secara jelas sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Sebagai sebuah tingkat paling dasar sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu sekaligus digunakan oleh Gunadarma untuk memperkuat konstruksi candi. Disini Gunadarma sekaligus juga menempatkan 120 panel cerita Kammawibhangga.
Empat lantai diatasnya Rupadhatu, dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Inilah Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Lantainya sudah berbentuk lingkaran dan dipralambangkan sebagai alam atas. di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang bak kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Polos tanpa lubang-lubang. Didalamnya oleh Gunadarma diletakanlah penggambaran sang Adibuddha.
Membandingkan dua peninggalan dari kedua Mataram itu tidaklah lengkap bila tidak ditambah dengan satu peninggalan lagi dari Mataram-Islam, yakni penjajahan kolonial. Setelah Panembahan Senopati mangkat penggantinya adalah Mas Jolang alias Panembahan Hanyokrowati yang kemudian mati ketika sedang berburu di Krapyak. Tahta beralih tangan anak ke empatnya Adipati Martoputra yang ditenggarai gila. Hingga tak lama kemudian tahta diambil alih oleh Mas Rangsang anak tertua Hanyokrowati. Mas Rangsang ini lah yang kemudian di kenal sebagai Sultan Agung Hanyokrowati. Bila Mas Rangsang ini dikenal dengan keberaniannya melawan VOC maka penggantinya Amangkurat I dan Amamngkurat II tak lebih dari para penjilat pantat VOC yang patuh. Di tangan merekalah kemudian Mataram diserahkan kepada VOC. Hingga akhirnya perjanjian Giyanti akhirnya menamatkan riwayat Mataram dengan dipecahnya Mataram menjadi dua negara kecil.
Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Jogja, kasunanan dan Kasultanan bukanlah kerajaan dalam arti yang sesungguhnya karena secara militer dan politik mereka mandul dan lebih banyak di gunakan sebagai kepanjangan tangan Hindia Belanda. Melalui berbagai macam kapitulasi pemimpinnya akhirnya dua kerajaan tersebut tak lebih dari sekedar pertunjukan akan romantisme kebesaran jawa dimasa lalu. Dan rakyatnya di umpankan kepada perihnya imperialisme dan kapitalisme dikemudian hari sampai sekarang.
Warisan terbesar Mataram-Islam adalah sistem pemerintahan yang feodal yang dibelakang hari kemudian di praktekan oleh penguasa jawa kontemporer seperti Sukarno dan Suharto. Mereka berdua menerapkan sistem patron-klien dalam hirarki pemerintahannya. Bahkan Suharto mencontoh persis kelakuan Panembahan Senopati yang gemar membangun mitos-mitos di sekitarnya.
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment