Monday 14 February 2011
LIAT SITUS MASJID TEGALSARI

Pernahkah kawan blogger mendengar tentang Masjid Tegalsari? mungkin sebagian blogger dari luar kota ponorogo belum pernah mendengarnya maka kali ini saya ingin memperkenalkan sebuah masjid terkenal dari kota ponorogo tercinta. Artikel ini saya buat ketika mendapat tugas ilmiah semasa saya masih sekolah di Pondok Pesantren “Al-Islam” Joresan yang sebelumnya pernah saya posting di blog lama, saking larisnya jadi saya pindahkan ke blog ini, semoga ikut laris juga.

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.

Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

Masjid ini merupakan masjid paling ramai dikunjungi para peziarah dan para jamaah pada saat malam-malam tertentu diantaranya malam jum’at, malam lailatul qodr, malam-malam pada bulan Ramadhan, malam-malam ujian semester dan ujian nasional, malam nisfu sya’ban dan malam-malam yang dianggap bermustajab untuk berdoa bagi umat muslim. Dari depan masjid ini terlihat biasa saja, bahkan lebih sederhana jauh daripada Masjid Agung Ponorogo. Namun apabila kita duduk di dalam masjid dengan selalu mengucap kalam ilahi, maka hati kita akan terasa sangat sejuk, inilah kelebihan Masjid Tegalsari.

SUMPAH PALAPA

Monday 7 February 2011
Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

(Gadjah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gadjah Mada, “selama aku belum menyatukan nusantara, aku takkan menikmati palapa, sebelum aku menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa)

menurut anda apa yang terlintas dalam pikiran dan bayangan anda ketika membaca sumpah Mahapatih Gadjah Mada itu. apakah anda berfikir tentang sumpah untuk mempersatukan atau sumpah untuk menaklukan, apakah itu sumpah pemersatu atau sumpah penjajah. kita selalu diajarkan bahwa Sumpah Palapa adalah sebuah sumpah lambang pemersatu, tapi pernahkah kita berfikir bahwa sumpah itu adalah sumpah ketamakan untuk menguasai negara (baca : kerajaan) lain untuk berada di bawah kekuasaan Majapahit. semua tafsir itu saya serahkan kepada anda. dan akibat tidak langsung dari sumpah ini adalah tidak adanya nama jalan atau tempat bertuliskan Gadjah Mada atau Hayam Wuruk.

Gadjah Mada adalah salah satu tokoh besar zaman Majapahit. menurut berbagai kitabdari zaman Jawa Kuno. Di Indonesia pada amasa kini, ia dianggap sebagai salah satu pahlawan pentingdan simbol nasionalisme. tidak ada literatur maupun prasasti yang menyebutkan kapan majapahit lahir tapi menurut Pararton , ia memulai karirnya di Majapahit sebagai Komandan Bhayanngkara, sebuah satuan pasukan elit kerajaan. kareana berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara saat pemberontakan Ra Kunti sekitar tahun 1309-1328 M ia diangkat sebagi patih Kahuripan. dua tahun kemudian menjadi Patih Kediri. tahun 1329 Masehi, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah atau lebih terkenal dengan sebutan Empu Krewes mengundurkan diri sebagai Patih dan menunjuk Gadjah Mada sebagai Patih. namun Gadjah Mada tidak serta merta begitu saja menerima jabata itu, dia justru bersedia menjadi patih setelah menaklukan keta dan sadeng (pembrontak). akhirnya setelah berhasil memadamkan api pembrontakan pada tahun 1334 Tribhuwana Tunggadewi mengangkat Gadjah Mada sebagai patih.

Perang Bubat, dosa Sang Mahapatih

Peristiw Bubat*) yang terjadi tahun 1360 di awali oleh niatan Raja Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi dari negeri Sunda. atas restu kerajaan Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Putri Dyah Pitaloka. atas dasar rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur. maka berangkatlah Linggabuana beserta rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di pesanggrahan Bubat. melihat kedatangan raja Sunda beserta Permaisuri dan sang putri Dyah Pitaloka dengan diiring prajurit, maka timbul niat Gadjah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda dan memenuhi Sumpah Palapa yang dia ucapkan, karena dari seluruh Nusantara hanya Kerajaan Sunda yang belum tertaklukan.

disinilah terjadi pertentangan,Gadjah Mada menekan Hayam Wuruk untuk menerima rombongan Raja Linggabuana bukan sebagai calon pengantin tapi sebagai bentuk penyerahan diri dan pengakuan superioroitas Sunda atas Majapahit. Hayam Wuruk menjadi bimbang, kemana harus berpihak Putri Dyah Pitaloka sang calon istri yang dicintai atau Gadjah Mada sang patih andalan yang dia hormati.

di tengah kebimbangan itu terjadilah insidenperselisihan antara utusan linggabuana yang mencaci-maki Gadjah Mada atas sikapnya yang tidak sopan dan sangat keterlaluan. utusan Sunda terkejut karena kedatangannya dianggap takluk bukan karena undangan, tapi Gadjah Mada tetap pada pendiriannya. belum lagi Hayam Wuruk membuat keputusan Gadjah Mada sudah terburu nafsu dan menyerang ke Pesanggrahan Bubat. maka terjadilah peperangan tidak seimbang antara pasukan “rombongan pengantin” yang sedikit berhadapan dengan kesatria-kesatria Majapahit dalam jumlah besar. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan Sunda, serta Sang Putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk terkejut, marah dan menyesalkan tindakan gegabah Gadjah Mada, dan akhirnya menyampaikan darmadyaksa (utusan) dari Bali untuk menyampaikan permohonan maaf kepada plt sementara raja Sunda Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati supaya peristiwa yang terjadi dapat diambil hikmahnya.

Akibat Peristiwa ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gadjah Mada merenggang. Gadjah Mada tetap menjadi patih hingga wafat tahun 1364 M. akbat peristiwa ini pula, dikalangan kerabat Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang diantaranya tidak bleh menikah dari luar lingkungan kerabat sunda atau lebih jauh tidak boleh menukah dengan kerajaan dari sebelah timur Sunda.klik disini bila ingin memebuka
Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring, Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

(Gadjah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gadjah Mada, “selama aku belum menyatukan nusantara, aku takkan menikmati palapa, sebelum aku menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa)

menurut anda apa yang terlintas dalam pikiran dan bayangan anda ketika membaca sumpah Mahapatih Gadjah Mada itu. apakah anda berfikir tentang sumpah untuk mempersatukan atau sumpah untuk menaklukan, apakah itu sumpah pemersatu atau sumpah penjajah. kita selalu diajarkan bahwa Sumpah Palapa adalah sebuah sumpah lambang pemersatu, tapi pernahkah kita berfikir bahwa sumpah itu adalah sumpah ketamakan untuk menguasai negara (baca : kerajaan) lain untuk berada di bawah kekuasaan Majapahit. semua tafsir itu saya serahkan kepada anda. dan akibat tidak langsung dari sumpah ini adalah tidak adanya nama jalan atau tempat bertuliskan Gadjah Mada atau Hayam Wuruk.

Gadjah Mada adalah salah satu tokoh besar zaman Majapahit. menurut berbagai kitabdari zaman Jawa Kuno. Di Indonesia pada amasa kini, ia dianggap sebagai salah satu pahlawan pentingdan simbol nasionalisme. tidak ada literatur maupun prasasti yang menyebutkan kapan majapahit lahir tapi menurut Pararton , ia memulai karirnya di Majapahit sebagai Komandan Bhayanngkara, sebuah satuan pasukan elit kerajaan. kareana berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara saat pemberontakan Ra Kunti sekitar tahun 1309-1328 M ia diangkat sebagi patih Kahuripan. dua tahun kemudian menjadi Patih Kediri. tahun 1329 Masehi, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah atau lebih terkenal dengan sebutan Empu Krewes mengundurkan diri sebagai Patih dan menunjuk Gadjah Mada sebagai Patih. namun Gadjah Mada tidak serta merta begitu saja menerima jabata itu, dia justru bersedia menjadi patih setelah menaklukan keta dan sadeng (pembrontak). akhirnya setelah berhasil memadamkan api pembrontakan pada tahun 1334 Tribhuwana Tunggadewi mengangkat Gadjah Mada sebagai patih.

Perang Bubat, dosa Sang Mahapatih

Peristiw Bubat*) yang terjadi tahun 1360 di awali oleh niatan Raja Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi dari negeri Sunda. atas restu kerajaan Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Putri Dyah Pitaloka. atas dasar rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur. maka berangkatlah Linggabuana beserta rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di pesanggrahan Bubat. melihat kedatangan raja Sunda beserta Permaisuri dan sang putri Dyah Pitaloka dengan diiring prajurit, maka timbul niat Gadjah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda dan memenuhi Sumpah Palapa yang dia ucapkan, karena dari seluruh Nusantara hanya Kerajaan Sunda yang belum tertaklukan.

disinilah terjadi pertentangan,Gadjah Mada menekan Hayam Wuruk untuk menerima rombongan Raja Linggabuana bukan sebagai calon pengantin tapi sebagai bentuk penyerahan diri dan pengakuan superioroitas Sunda atas Majapahit. Hayam Wuruk menjadi bimbang, kemana harus berpihak Putri Dyah Pitaloka sang calon istri yang dicintai atau Gadjah Mada sang patih andalan yang dia hormati.

di tengah kebimbangan itu terjadilah insidenperselisihan antara utusan linggabuana yang mencaci-maki Gadjah Mada atas sikapnya yang tidak sopan dan sangat keterlaluan. utusan Sunda terkejut karena kedatangannya dianggap takluk bukan karena undangan, tapi Gadjah Mada tetap pada pendiriannya. belum lagi Hayam Wuruk membuat keputusan Gadjah Mada sudah terburu nafsu dan menyerang ke Pesanggrahan Bubat. maka terjadilah peperangan tidak seimbang antara pasukan “rombongan pengantin” yang sedikit berhadapan dengan kesatria-kesatria Majapahit dalam jumlah besar. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan Sunda, serta Sang Putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk terkejut, marah dan menyesalkan tindakan gegabah Gadjah Mada, dan akhirnya menyampaikan darmadyaksa (utusan) dari Bali untuk menyampaikan permohonan maaf kepada plt sementara raja Sunda Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati supaya peristiwa yang terjadi dapat diambil hikmahnya.

Akibat Peristiwa ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gadjah Mada merenggang. Gadjah Mada tetap menjadi patih hingga wafat tahun 1364 M. akbat peristiwa ini pula, dikalangan kerabat Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang diantaranya tidak bleh menikah dari luar lingkungan kerabat sunda atau lebih jauh tidak boleh menukah dengan kerajaan dari sebelah timur Sunda.
Powered by Blogger.