CANDI SANGGRAHAN

Friday, 6 May 2011
SITUS CANDI SANGRAHAN

candi sanggrahan



Komplek Lapangan



Komplek candi berada pada pemukiman yang cukup subur dan terdiri atas tiga bangunan, masing – masing tidakutuh lagi. Secara administrasi situs masuk dalam lingkungan Dusun Sangrahan, Desa Sanggrahan yang merupakan daerah rawan banjir.
Secara umum komplek percandian terdiri atas sebuah bangunan induk dan 2 buah sisa bangunan kecillainya. Bangunan induk berukuran panjang 12.60m lebar 9.05 m tinggi 5.86 cm. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing – masing berdenah bujur sangkar dengan arah atap menghadap ke barat. Bangunan kecil yang berada di sebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Bahan yang digunakan dalam pembangunanya adalah bata. Di tempat ini dulu terdapat lima buah Arca Budha yang masing – masing memiliki posisi mudra yang berbeda. Demi keamanan dari pencurian,sekarang arca tersebut di simpan di rumah juru pelihara.

Bangunan diatas berada padat teras/ undakan berukuran 51 m x 42.50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang daridua meter.
Berdekatan dengan komplek Candi Sangrahan ini terdapat Candi Boyolangu serta peninggalan kuno lain di perbukitan Walikukun. Seperti Gua Selomangkleng (sekitar 1 km) dan Goa Pasir. Dapat diduga bahwa kekunaan itu dibangun pada masa yang tidak berbeda. Saat ini fungsi dari situs tersebut sebagai obyek wisata,kebanyakan para pelajar baik dari daerah Tulungagung maupun dari luar daerah.


Latar Belakang Sejarah
Hingga saat ini dikenal cerita rakyat versi Sina Wijoyo Suyono berkenaan dengan Candi Sanggrahan, yang dikatakan sebagai tempat yang dipergunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapadmi),pendeta wanita Budha (Bhiksumi) masa kerajaan Majapahit Pemerintahan Hayam Wuruk. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat disekitar Boyolangu. Dalam versi tersebut, Candi Sanggrahan disebut Candi Cungkup, sedangkan candi Boyolangu dikenal dengan nama Candi Gayatri ( Anonim 1985 ) Sumber lain yang berhubungan dengan kekunaan itu belum dijumpai.



Latar Belakang Budaya
Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai candi tersebut, disamping karena kurangnya bahan tersedia juga mengingat keletakanya yang berdekatan dengan situs lain yang sezaman. Secara umum pembicaraan tentang latar belakang budayanya dapat disejajarkan dengan Candi Boyolangu. Seperti halnya candi lain yang masih banyak dijumpai,fungsi utama sebuah candi adalah tempat pemujaan. Hal ini berlaku juga untuk Candi Sanggrahan, ditambah dengan keterangan lain yang menyebutkan sebagai sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar di Candi Gayatri.
Berdasarkan padatemuan berupa arca – arca Budha dalam berbagai mudra-Nya,dapat dikatakan bahwa keagamaan Candi Sanggrahan ini adalah agama Budha. Namun halini bukanlah sesuatu yang mutlak,karena pada zaman kerajaan Singhasari Majapahit diketahui adanya perbauran antara kepercayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dan kepercayaan Siwa dan budha ( Slamet Mulyana 1979 )
Bila anda ingin video tenyang situs candi sanggrahan bisa klik link di bawah ini :

SITUS CANDI DADI

SITUS CANDI DADI
Kondisi Lapangan


Komplek candi ini berada padaketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di tengah areal kehutanan dilingkunganb RPH Kalidawir. Secara administratif candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Lokasi candi ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 40 menit dari DesaWajak kidul kea rah Selatan.
Candi inimerupakan candi tunggal yang tidakmemiliki tangga masuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.50m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan,pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.



Dalam perjalanan kelokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuna yang masing – masning disebut Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali. Candi – candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit itu pun sudah dalamjumlah yang sangat kecil yang memadai keberadaanya dahulu.
Saat ini situs dipergunakan sebagai obyek wisata dan pengenalan sejarah bagi siswa – siswa di lingkup Kabupaten Tulungagung,bahkan rombongan pelajar sering memanfatakan lingkungan sekitar untuk melakukan perkemahan.

Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan HayamWuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalamkondisi yang dermikian,penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak – puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan.
Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.



Latar Belakang Budaya
Selain sebagai temapat pemujaan dapatdiduga bahwacandu tersebut dahulu berfungsi juga sebagai tempatpengabuan, pembakaranjenazah tokoh penguasa.Sifatkeagamaan yang melatar belakangi pendiriannya secaratepat belumdiketahui.Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya datayang mampu menunjuang upaya pengenalannya secara langsung.Meskipundemikian sumuran yang terdapatdi bagiantengah bangunan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk darikarakter sebuah pencandian berlatar keagamaan hindu.
Keletakan pada puncak sebuah bukit yang cukup sulit untuk dijangkau, dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejakj aman prasejarah yang percaya bahwa arwah paraluluhur berada disana, masyarakat penganut budaya hindu juga memanfaatkan puncak-puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal itu bertalian dengan .Hal itu berkaitan dengan mitos keagamaan dengan mitos keagamaan Hindu yang menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah tempat yang tinggi. Bila tidak terdapat sebuah puncak gunung atau bukit, merekamenggunakan terasberundak yang secara fisik da[at menggambarkan keletakanya yang lebih tinggi, atau dapat pula dilakukan dengan mengadakan pembagian halaman. Halaman terakhir adalah tempat, yang dianggap paling tinggi dan di tempat itulah diletakkan sesuatu yang dianggap paling megah atau paling besar sebagai cerminan kahyangan.



Berkenaan dengan fahan yang demikian itu, lingkungan alam disekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Berada pada puncang bukit yang mengahadap kelembah utara ,karya arsitektur tersebut betul – betul mennggambarkan kemegahan. Sesuatu yang memang patut dipersembahkan kepada sesembahanya. Tidak mengherankan bila disekitarnya,padaradius kurang 1 km, dijumpai sisa/bekas bangunan suci lain yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai candi Urung,Candi Buto dan candi Gemali. Semuanya menempati puncak – puncak bukit yang langsung berhadapan dengan lembah Boyolangu disebelah utaranya.
Untuk kepentingan manusia masa kini, pengenalan akan pemahaman tentang kegungan sang pencipta memang dapat dipupuk dari situs dan lingkungan alam di sana. Mencitai keindahan alam yang terdampar disekitar Candi Dadi beserta kelompok candi lain didekatnya,juga sejalan dengan upaya mencintai karya budaya nenek moyangnya, dan itu semua adalah juga sama untuk mencintai Penciptanya.
Powered by Blogger.