SANG PRABU di CEMPA

Sunday 19 September 2010


Sang Nata di Cempa bernama Prabu Kuntara. Sang Nata berputra 3 orang putra –putr1 1.Dewi Murdaningrum
2. Dewi Tjondro Woelan
3. Raden Tjingkara Dewi Murdaningrum dipersunting oleh Prabu Kartowidjojo, Majapahit.
Dewi Tjondro Woelan dipersunting oleh Maulana Malik Ibrahim dan berputra Raden Rachmad ( SUNAN NGAMPEL DENTA ).



Sang Prabu Kartowidjojo Majaphit yang di beristrikan Dewi Murdaningrum berputra Raden Patah Sultan Bintara Demak .
Raden Patah Sultan Bintara Demak adalah saudra sepupu (Nak Sederek) dengan Raden Rachmad Sunan NGAMPEL Denta Surabaya.

KISAH MAULANA MALIK IBRAHIM

Saturday 18 September 2010



Maulana Malik Ibrahim adalah putra dari Syeh Djumadil Qubra. Syeh Djumadil Qubra adalah putra dari R. Imam Ja’far Shadiq. Putra dari Ali Dhahir sampai Kanjeng Nabi Mohammad S.A.W sudah 11 keturunan.
Ketika tahun 1.300 M. Maulana Malik Ibrahim menyiarkan ( syiar ) Agama Islam di Negri Cempa . Lama kemudian Maulana Malik Ibrahim mempersunting dan menikahi Putri Cempa, putra putri Sang Ratu yang bernama Dewi Tjondro Woelan. Tidak lama kemudian setelah pernikahan. Dewi Tjondro Woelan mengandung ( hamil ). Dewi Tjondro Woelan melahirkan seorang putra, di beri nama Raden Racmahad yang akhirnya berdiri sebagai Sunan Ngampel Denta di Surabaya.

Sunan Ngampel Denta berputra berputra Raden Satmoto, atau yang bernama Kyai Ngarobi. Raden Satmoto berputra Putri Ny. Anom Besari yang wafat dimakamkan di pemakaman Kuncen, Caruban Madiun. Ny. Anom Besar Kuncen , berputra 3 Orang:
1. Kyai Chatib Anom yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Kalambret desa Srigading Tulungagung.
2. Kyai Mohammad Besari yang wafat dan di makamkan di pemakaman Tegalsari, Jetis Ponorogo.
3. Kyai Noer Sodiq yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Tegalsari, Ponorogo dan berputra Kyai Mukmin yang wafat dan di makamkan di pemakaman Nglawu Mlarak.

Kisah KH. ABU MANSUR PENGIKUT PANGERAN MANGKUBUMI

Wednesday 15 September 2010


masih keturunan KH Abu Mansur, beliau keturunan adipati Cakraningrat dari Madura yang belajar Agama Islam (menjadi santri) kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau mempunyai 4 putra, yaitu; Kyai Yusuf ( Martontanu / Abu Mansur 2), Kyai Ilyas Winong, Nyai H. Muhsin dan Nyai Djodikromo.

Dalam geger Pecinan semula Sunan Pakubuwono 2 (1727-1749) membantu orang- orang Cina melawan VOC. Setelah orang- orang Cina dapat dikalahkan VOC, Pakubuwono 2 berbalik memihak VOC. Melihat sikap Pakubuwono 2 berbalik kepada VOC, Mas Garendi (cucu Sunan Mas) dengan didukung oleh rakyat memberontak dan berhasil menguasai Keraton Surakarta kemudian diangkat menjadi Sunan Kuning. Pakubuwono 2 terpaksa menyingkir mencari perlindungan kepada Kyai Ageng Mohammad Besyari di Ponorogo. Dengan mendapat bantuan dari Kompeni dan Kyai Ageng Muhammad Besyari beserta murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur, Pakubuwono 2 dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1668 Jawa / 1743 Masehi.

Atas jasanya mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari , Jetis Ponorogo dan KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi

Pada waktu Sunan Pakubuwono 3 memerintah Kerajaan Mataram (1749-1788) menggantikan ayahnya, Sunan Pakubuwono 2, mendapat perlawanan kuat dari pamannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said . Karena pemberontakan sulit di padamkan, maka diadakan perjanjian Giyanti (1755) yang salah satu isinya adalah Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Raja di Yogyakarta dengan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono 1.

Perjuangan Pangeran Mangkubumi mendapatkan tahta Kerajaan di Yogyakarta tersebut mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari (Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur. Karena Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC. Karena jasanya dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1770 Masehi.

Layang kekancingan (surat tugas) dari Pangeran Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut sebagai berikut:

“Ingkang dihin salam ingsun marang siro Abu mansur.

Pakeniro ingsun maringi panguwoso merdiko marang siro, yoiku tanah iro sarehiro kanggo sak turun- turun iro.

Ingkang dihin ingsun maringi panguwoso marmane, lan ingsun maringi nawolo ingsun paparentahan kang mardiko.

Sing sopo nora angestokno, amaido, iku banjur hunjukno marang ingsun, bakal ingsun palaksono hono alun- alun ingsun, sakehing nayokoningsun.

Asmo dalem Mangkubumi dawuh pangandiko dalem sinangkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi”.

Terjemahan bebas dari layang kekancingan tersebut adalah

“Pertama- tama salamku kepada Abu Mansur.

Atas perintahku kuberi kamu kekuasaan tanah merdeka, yaitu tanah dan daerah yang kamu kuasai semua untuk kamu dan semua keturunanmu.

Itulah sebabnya aku memberi kekuasaan lebih dahulu dan kuberikan suratku (sebagai penguat) pemerintahan yang merdeka

Barang siapa tidak melaksanakan, mencela, laporkan kepadaku akan kuberi hukuman di alun- alun saya (disaksikan) oleh semua pejabat- pejabatku.

Atas nama perintah Mangkubumi, dengan diberi tanda waktu Buto Ngerik Mongso jalmi”.

Surat tersebut ditulis dengan huruf Jawa, bersetempel merah, atas nama Pangeran Mangkubumi dan aslinya disimpan oleh keturunan KH. Abu Mansur. Sengkalan “Buto Ngerik Mongso Jalmi” tersebut menunjukkan tahun pembuatan atau dikeluarkannya surat. Namun ada beberapa penafsiran terhadap sengkalan tersebut, terutama pada kata “Ngerik”. Buto= 5, Ngerik jika diberi makna “lar” (bulu)= 2, jika diberi makna “muni” (bersuara)= 7, jika diberi makna “nggangsir” (jangkrik)= 9, Mongso= 6 dan Jalmi= 1. Jika dibaca dari belakang, sengkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi tersebut menunjuk tahun 1625 / 1675 / 1695 tahun Jawa. Kemudian jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tahun 1700/ 1750/ 1770. Dalam sejarah disebutkan Pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Yogyakarta (Hamengkubuwonbo.1)antara tahun 1755- 1792, maka penafsiran atas sengkalan tersebut lebih tepat menunjuk tahun 1770 Masehi, lima belas tahun setelah mendapat kedudukan sebagai Hamengkubuwono 1. Karena sebelum Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta, Kadipaten Ngrowo di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Dengan adanya perjanjian Gianti (1755) ada pembagian wilayah kekuasaan dan Kadipaten Ngrowo menjadi wilayah kekuasaannya Kasultanan Yogyakarta.

Sedangkan layang kekancingan (surat) dari/ atas nama Sunan/ Keraton Surakarta isinya sebagai berikut:

“Tetedakan nawolo dalem , asmo dalem.

Ingsun maringi bumi marang Kyai Abu Mansur, siji- sijining deso Majan, Winong, Tawangsari.

Marmane ingsun paringi gegadhuhan bumi, dene ingsun dhawuhi andedongo nyuwunake slamet kagunganingsun keraton ing Surokarto.

Marmane sapungkuringsun sopo kang nyekel tanah Jowo darah ingsun kang jumeneng noto nglestarekno peparing ingsun marang Kyai Abu Mansur tumeko saturun- turune.

Pepacuhan- pepacuhan kawulaningsun kabeh podo angestokno saunining nawoloningsun.

Sing sopo ora angestokno tanapi amaido kalaksono sakehing nayakaningsun ono alaun- aluningsun.

Ingsun dhawuh pangandiko dalem.

Kaping, 15 Mulud 1672”.

Terjemahan bebas layang kekancingan dari keraton Surakarta tersebut :

“Surat dari saya atas nama saya.

Saya memberi tanah kepada Kyai Abu Mansur, masing- masing desa Majan, Winong dan Tawangsari.

Makanya saya memberi hak guna tanah, dan saya perintah berdoa memintakan keselamatan keraton saya di Surakarta.

Setelah saya, siapa yang memerintah tanah Jawa (hendaknya) melestarikan pemberian saya kepada Kyai Abu Mansur sampai keturunannya.

Segenap aturanku, semua pejabatku hendaklah mentaati bunyi surat saya.

Barang siapa tidak mentaati atau mencela mendapat hukuman dari pejabat- pejabatku di alun- alun.

Saya ucapkan ucapan saya.

Pada, 15 Mulud 1672.

Layang kekancingan tersebut aslinya disimpan oleh Kyai Komaruz Zaman, imam masjid Tawangsari sekarang. Ditulis dengan huruf Jawa, tidak distempel dan tidak ditanda tangani. Tahun yang tertera di surat tersebut (15 Mulud 1672) menunjukkan tahun Jawa. Jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tanggal, 15 Mulut 1747 Masehi.

Ada dua layang kekancingan (surat) yang pernah diterima KH. Abu Mansur, namun tahunnya berbeda. Yang atas nama Kerajaan Surakarta, Pakubuwono 2, pada 15 Mulud 1672 Jawa/ 1747 Masehi dan atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1695 Jawa/ 1770 Masehi. Ada kemungkinan surat pertama (1672.J/ 1747.M) diberikan oleh Pakubuwono 2 yang menjabat sebagai raja tahun 1727-1749 sebelum Keraton Surakarta dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada waktu perjanjian Gianti tahun 1755. Sedang surat kedua 1695 Jawa/ 1770 Masehi diberikan oleh Mangkubumi setelah 15 tahun menjadi Sultan Yogyakarta. Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta tahun 1755- 1792 Masehi.

Namun ada juga kemungkinan penafsiran yang berbeda. Bahwa layang kekancingan (surat) dari Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut ditafsirkan tahun 1675 Jawa/1750 Masehi. Dengan alasan surat tersebut atas nama Mangkubumi, bukan atas nama Hamengkubuwono 1. Dengan demikian Mangkubumi mengeluarkan surat tersebut sebagai wakil/ sekretaris raja yang membidangi masalah administrasi kerajaan menguatkan surat pertama yang dikeluarkan tahun 1672 jawa/ 1747 Masehi oleh Pakubuwono 2 yang belum ditanda tangani dan belum distempel yang dikeluarkan 4 tahun setelah menduduki tahta kembali dari kekuasaan Sunan Kuning pada tahun 1743 Masehi.

Dengan adanya perjanjian Gianti tahun 1755 M, wilayah kekuasaan kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua atas dasar jumlah penduduk dan tingkat kesuburan wilayah. Pembagian tersebut sebagai berikut;

Kasunanan Surakarta dengan raja Sunan Pakubuwono 3 mendapat bagian wilayah; daerah Djagaraga, Ponorogo, separonya (setengahnya) Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo, Pace, Nganjuk, Brebek, Wirosobo (Modjoagung), Blora, Banyumas dan Keduang. Sedangkan jumlah penduduk di Kasunanan Surakarta 85.350 jiwa.

Kasultanan Yogyakarta dengan raja Mangkubumi (Hamengkubuwono 1) mendapat bagian wilayah; Daerah Madiun, Magetan, Caruban, setengahnya Pacitan, Kertosono, Kalangbret (Ngrowo), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras, Keras, Ngawen dan Grobogan. Sedangkan jumlah penduduk Kasultanan Yogyakarta 87.050 jiwa.

Jasa- jasa KH. Abu Mansur terhadap kadipaten Ngrowo/ Tulungagung diantaranya adalah:

.1. Beliau telah berdakwah di Kadipaten Ngrowo, khususnya Desa Tawangsari, Majan dan Winong. Ke tiga desa tersebut sejak dahulu hingga sekarang lebih dikenal sebagai daerah santri. Benda- benda purbakala peninggalan beliau berupa masjid Tawangsari, Winong dan Majan sampai saat ini masih bisa kita saksikan walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi.

2. Beliau telah melatih ilmu kanuragan kepada masyarakat ketiga desa tersebut. Di tahun enam puluhan, ke-tiga desa tersebut terkenal pencak silatnya. Setiap ada lomba pencak silat, pemuda- pemuda ke- tiga desa tersebut selalu ambil bagian. Bahkan banyak pondok pesantren yang ada di pelosok desa se- Tulungagung banyak yang mendatangkan guru bela diri/ pencak silat dari ke-tiga desa tersebut.

3. Di dalam buku “Babat dan Sejarah Tulungagung” disebutkan bahwa ketika Kadipaten Ngrowo hendak membangun alun- alun, KH. Abu Mansur ikut andil dalam pembangunan tersebut. Pada waktu itu tempat yang rencananya akan dibangun alun- alun masih berupa rawa- rawa. Di rawa- rawa tersebut ada sumber air yang terus mengeluarkan air dan sulit dibendung. Ternyata, atas jasa KH. Abu Mansur , sumber air tersebut dapat dihentikan hingga seperti alun- alun yang sekarang ini.

4. KH. Abu Mansur telah berhasil menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat pada rakyat ke- tiga desa tersebut. Ke-tiga desa tersebut sangat membenci terhadap penjajah Belanda maupun Jepang. Rasa nasionalisme yang ditanamkan oleh KH. Abu Mansur kepada rakyat Ngrowo dilandasi oleh semangat ajaran Agama Islam. Mungkin, karena semangat mempertahankan ajaran Islam inilah ketika terjadi peristiwa G.30. S, banyak sakerah- sakerah (pendekar Muslim yang berpakaian ala Madura) yang gagah berani dari masyarakat ke-tiga desa tersebut.

Demikianlah sekilas sejarah tentang kehidupan KH. Abu Mansur pada masa lalu. Semoga amal beliau dalam membimbing masyarakat Majan, Winong dan Tawangsari khususnya dan Kadipaten Ngrowo pada umumnya diterima oleh Allah dan mendapat balasan yang setimpal. Khusus masyarakat ke-tiga desa tersebut tidak ada jeleknya jika senantiasa mengenang jasa- jasa beliau dan berupaya melanjutkan perjuangannya. Sekalipun sekarang ke-tiga desa tersebyt sudah bukan lagi berstatus tanah perdikan, tidak ada jeleknya jika mengadakan kegiatan yang dapat mengenang jasa- jasa KH. Abu Mansur.

KHR. ABDUL FATTAH MANGUNSARI PENEMU MAKAM BEDALEM DAN TAMBAK

Monday 13 September 2010
Dalam bahasa Jawa ada pepatah “Kacang ora ninggalne lanjaran”. Sifat, jasmaniyah dan prilaku anak biasanya tidak jauh berbeda dengan sifat, jasmaniyah dan prilaku yang dimiliki orang tuanya. Kadang – kadang sifat, jasmaniyah dan prilaku anak itu diwarisi dari ibunya dan kadang dari ayahnya. Demikianlah yang terjadi pada sosok KHR. Abdul Fattah, pendiri pondok pesantren Al- Fattah Mangunsari Tulungagung, mempunyai daya juang yang tinggi sebagimana yang dimiliki ayah dan ibunya. Perjuangan dan pengabdian KHR. Abdul Fattah dalam menegakkan Agama Islam dapat dilihat pada buku “Wiroh KHR. Abdul Fattah”.
KHR. Abdul Fattah lahir pada Kamis Pon, 11 Syawal 1290 H./ 1872 M di Mangunsari Kedungwaru Tulungagung. Wafat pada hari Selasa Pon, 3 Robiul Akhir 1372 H ( 29 Nopember 1954 M) dan dimakamkan di barat masjid pondok Mangunsari, sehari setelah meninggalnya, pada hari Rabu Wage, 4 Robiul Akhir 1372 H (30 Nopember 1954 M).
Dari garis ayahnya, KHR. Abdul Fattah putra KH. Hasan Tholabi Mangunsari Tulungagung. Beliau keturunan ke 14 dari Sayyid Nawawi (Sunan Bayat/ Sunan Pandanaran/ Ihsan Nawawi, Solo) dan keturunan Rasulullah Saw ke 31. Sedangkan ibunya bernama Nyai Dokhinah, buyutnya Prawiro Projo, patih Ponorogo ke 5. Nama asli KHR. Abdul Fattah adalah Muhammad Ma’ruf. Sebenarnya nama Abdul Fattah itu adalah nama kecil teman akrabnya dari Popongan Jawa Tengah. Beliau berdua sangat akrab ketika masih belajar di pondok pesantren Jamsaren Solo. Untuk melestarikan hubungan tersebut beliau berdua saling tukar nama semenjak pergi menunaikan ibadah haji sebagi rukun Islam ke lima.
KHR. Abdul Fattah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu agama Islam yang diperoleh dari berbagai ulama. Beliau belajar ilmu tauhid kepada KH. Imam Bahri, PP Mangunsari, Pace Nganjuk. Belajar ilmu tasawwuf kepada K. Zaenuddin, PP Mojosari, Loceret Nganjuk. Belajar ilmu Fiqh kepada KH. Zaenuddin, PP Cempaka, Brebek Nganjuk. Belajar ilmu tafsir kepada KH. Idris, PP Jamsaren Solo. Belajar ilmu Hadits kepada KH. Hasyim Asy’ari, PP Tebuireng Jombang. Belajar ilmu Nahwu (Gramatika) kepada KH. Kholil, Bangkalan Madura. Belajar Al Qur’an kepada KH. Munawir, PP Krapyak Yogyakarta. Dan belajar berbagai bidang ilmu agama Islam kepada KH. Sayyid Zein dan KH. Mahfudz At- Turmusy di Masjidil Haram Makkah Saudi Arabia. Waktu yang dihabiskan KHR. Abdul fattah untuk belajar berbagai ilmu agama Islam di berbagai pondok pesantren tersebut selama 24 tahun.
Pada masa penjajahan Jepang, ulama- ulama di Tulungagung banyak yang ditangkap oleh Jepang. Diantaranya adalah KHR. Abdul Fattah (Mangunsari), Kyai Syarif (Majan), Kyai Mustaqim (Kauman) dan lainnya. Mereka disiksa dengan berbagai macam penganiayaan; dipukul, disetrum listrik, dimasukkan ke kandang ular, ditenggelamkan ke dalam bak air, disulut dengan api rokok dan berbagai penyiksaan lainnya. Mereka tetap tabah menjalani penyiksaan di dalam tahanan Jepang. Tidak henti- hentinya mereka selalu membaca kalimat thoyyibah; subhanallah, astaghfirullah, masya-Allah, la haula wala quwwata illa billah dsb. KHR.Abdul Fattah ditahan Jepang jam 8 pagi. Di dalam tahanan selama 9 bulan. Pulang dari tahanan hari Senin dan Selasanya sudah mulai mengajar santri- santrinya.
Karomah KHR. Abdul Fattah.
Karomah adalah keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba- hambanya yang dekat dengan Allah dan selalu digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kebalikan dari karomah adalah istijrod, yaitu kelebihan yang dimiliki hamba Allah yang jauh dari Allah dan biasanya selalu digunakan untuk tujuan- tujuan yang tidak baik. KHR. Abdul Fattah adalah termasuk hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu beliau mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah :
1. Setiap hari Senin dan Jum’at beliau biasanya membaca sholawat dziba’ rotibul hadad, tahlil dan dzikir bersama- sama dengan santri . Pada suatu ketika, setelah melakukan amal- amalan bersama santri, beliau membagi makanan dan minuman yang dipersiapkan sendiri. Yang membuat para santri heran adalah nasi yang disediakan hanya satu belanga dan satu kendi minuman, namun nasi dan minuman tersebut bisa mencukupi hadirin yang jumlahnya ratusan dan itupun masih tersisa.
2. Pada suatu hari Kyai Khobir bercerita: Kyai Khobir dan bapak Wardud mengantarkan makanan beserta lauk pauknya ke tempat KHR. Abdul Fattah. Beliau hanya mengambil setengah dari makanan yang dihidangkan dan yang setengah lagi disuruh membawa pulang. Setelah sampai di rumah, ternyata makanan yang tadinya tinggal separo kembali utuh seperti semula.
3 Menurut cerita H. Tholhah Josermo (Surabaya), disaat KHR. Abdul Fattah bermukim di pondok Mangunsari Pace Nganjuk, pada suatu malam Kyai Imam Bahri (ayah gus Mundir) melihat cahaya yang bersinar cemerlang dari kamar KHR. Abdul Fattah yang sedang tidur di dalamnya. Akhirnya disaat itu pula KHR. Abdul Fattah dibaiat sebagai thoriqoh kholwatiyah oleh Kyai Imam Bahri, pimpinan pondok Mangussari Pace Nganjuk.
4. Pada suatu hari ada orang melihat KHR. Abdul Fattah sedang sholat Jum’at di masjid Tawangsari, namun orang lain bercerita melihat beliau, pada hari Jum’at yang sama, sholat Jum’at di masjid tiban Sunan Kuning Macanbang Gondang. Sehingga keberadaan beliau tersebut menjadi pembicaraan para santri pondok.
5. KH. Hasyim Asy’ari Jombang (waktu itu sebagai ketua PB NU) ingin menemui KHR. Abdul Fattah yang sedang berkhalwat. Sebelumnya menemui Kyai Siroj untuk menanyakan bagaimana cara menemui KHR. Abdul Fattah. Oleh Kyai Siroj diminta menulis di sabak (papan kecil untuk menulis) nama dan keperluannya kemudian dimasukkan lewat pintu tempat berkhalwat. Jika KHR. Abdul Fattah berkenan menerima biasanya sabak diambil dan diberi jawaban “Salam dan doa semoga maksud dan tujuan dikabulkan dan diridhoi Allah”, dan jika belum berkenan menerima sabak tidak diambil. Ternyata sabak tidak diambil, kemudian KH Hasyim Asy’ari kembali meneruskan perjalanannya bersilaturrahmi kepada Kyai Zarkasyi dan Gus Qomaruddin Kauman Tulungagung. Diwaktu yang sama, KHR Abdul Fattah menemui Gus Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) di Jombang menyatakan ingin menemui ayahnya. Dikatakan oleh Gus wahid bahwa ayahnya pergi ke Tulungagung ingin bersilaturrahmi kepada Gus Ma’ruf (nama asli KHR. Abdul Fattah). KHR. Abdul Fattah tidak bersedia masuk rumah, tapi istirahat di masjid menunggu sampai KH. Hasyim Asy’ari datang dari Tulungagung. Selang beberapa waktu yang ditunggu datang dan menceritakan kisah perjalanannya dari Tulungagung. KHR. Abdul fattah menjawab: “Sebetulnya yang harus datang aku kepada Kyai, bukan malah kyai datang kepadaku”.
Jasa- jasa KHR. Abdul Fattah
1. Penemu Makam Bedalem.
KHR. Abdul Fattah sebagai perintis dan pelopor penggalian benda bersejarah, terutama makam- makam kuno. Beliaulah yang menemukan dan menggali makam Bedalem Campurdarat yang didalamnya dimakamkan pejuang- pejuang Islam, yaitu Pangeran Benowo, Raden Patah dan Dampu Awang. Setelah ditemukan makam Bedalem beliau menyuruh Kyai Maklum untuk merawat makam dan mempelopori dakwah Islamiyah di Campurdarat. Disamping itu beliau juga mendirikan masjid di Bedalem.

BUMI LAWADAN

Adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten Tulungagung dibatasi oleh Kabupaten Blitar di sebelah timur, Kabupaten Trenggalek disebelah barat, Kabupaten Kediri di sebelah utara dan Samudra Hindia di sebelah selatan. Secara administratif, Kabupaten Tulungagung terbagi dalam 19 kecamatan, 257 desa, dan 14 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat, Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut, Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol, Tanggung Gunung, Tulungagung.
Bagian barat laut Kabupaten Tulungagung merupakan daerah pegunungan yang merupakan bagian dari pegunungan Wilis-Liman-Limas. Bagian tengah adalah dataran rendah; dan bagian selatan adalah pegunungan yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Kidul. Tulungagung adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia, yakni di daerah campurdarat & besole. Pantai Popoh, merupakan obyek wisata pantai di Laut Selatan yang cukup terkenal.
Dahulu kala Tulungagung terkenal dengan daerah rawa-rawa, yang lebih dikenal dengan nama Bonorowo/ngrowo (rowo=rawa). Bekas rawa-rawa tersebut kini menjadi wilayah kecamatan Campurdarat, Boyolangu, Pakel, Besuki, Bandung, Gondang. Dalam prasasti Lawadan,terletak di sekitar Desa Wates Kecamatan Campurdarat, yang dikeluarkan pada Jum’at Pahing 18 Nopember 1205 disebutkan bahwa Raja Daha yang terakhir yaitu Sri Kretajaya merasa berkenan atas kesetiaan warga Thani Lawadan terhadap raja ketika terjadi serangan musuh dari sebelah timur Daha. Tanggal tersebut kemudian digunakan sebagai hari jadi tulungagung. Pada Prasasti Lawadan dijelaskan juga tentang anugrah Raja Kertajaya berupa pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan penerimaan berbagai hak istimewa kepada DWAN RI LAWADAN TKEN WISAYA, atau dikenal dalam cerita sebagai DANDANG GENDHIS. Di jaman majapahit, Bonorowo dipimpin oleh seorang Adipati yang bernama adipati kalang. Adipati kalang tidak mau tunduk pada kekuasaan majapahit, yang berujung pada invasi mojopahit ke bonorowo. Adipati kalang dan pengikutnya yang berjuang dengan gagah berani akhirnya tewas dalam pertempuran didaerah yang sekarang disebut kalangbret dikecamatan Kauman.
Di Jaman penjajahan jepang, tulungagung dijadikan base pertahanan jepang untuk menangkal serangan sekutu dari australia serta sebagai benteng pertahanan terakhir untuk menghadapi serangan dari arah utara. Pada masa itu ratusan ribu romusa dikerahkan untuk mengeringkan rawa-rawa tulungagung membuangnya ke pantai selatan dengan membuat terowongan air menembus dasar gunung Tanggul, salah satu gunung dari rangkaian pegunungan yang melindungi Tulungagung dari dasyatnya ombak pantai selatan, yang terkenal dengan sebutan terowongan ni yama. Terowongan tersebut sekarang dijadikan PLTA Tulungagung.
Tulungagung sekarang terkenal dengan kerajinan Marmer dan onyx, di Kecamatan Campurdarat, Batik di Tulungagung, Majan dan Kauman. Tenun Perlengkapan Militer dengan standart NATO di Kecamatan Ngunut. Konveksi dan Bordir Garmen, busana muslim, sprei, sarung bantal, rukuh dsb. Ikan Hias yang memenuhi pasar nasional dan eksport. ikan konsumsi ( Perikanan darat dan laut ). Makanan khas tulunguagung antara lain Lodho Ayam, Nasi Pecel, sompil, jajanan seperti kacang Shanghai, giti, jongkong, ireng-ireng, sredeg, cenil, plenggong. Minuman khas seperti kopi cethe, Wedang jahe sere, dawet caon, rujak uyub, beras kencur. Tulungagung adalah base camp ketoprak “Siswo Budoyo”, kesenian kentrung, jaranan, dan reog tulungagung.
Powered by Blogger.