SITUS CANDI AMPEL
Wednesday, 30 May 2012
Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman di wilayah Dusun Joho,Desa Ngampel.Lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekitar candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya beraspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman diwilayah Dusun Joho, Desa Ngampel.lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekeliling candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya ber raspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Candi mengarah kebarat dan berukuran 19,7 x 15m. Keadaan candi sudah hancur sehingga yang tampak sekarang hanyalah tumpulan bata setinggi 1,65m. Walaupun demikian pada sisa kaki candi di sisi selatan masih terlihat ornament sulur – suluran dalam motif flora. Kerusakan candidisebabkan adanya tujuh pohon besar yang tumbuh di tengah sisa bangunan tersebut. Yaitu pohon Joho, Winong, Aren, Kendal, serut, Ingas dan Leran. Tinggalan lain yang terdapat disekitar halaman candi adalah dua buah Arca Dwarapala, sebuah Yoni dan beberapa balok bata andesit.
Latar Belakang Sejarah
Sangat menarik untuk diamati bahwa candi ini terdapat padadataran rendah di sekitar kaki perbukitan Walikukun. Sebagaian besar percandian yang berada dilokasi lain padadataran rendah yang sama diketahui berasal dari Masa Majapahit. Berdasarkan keletakan maupun maupun rancang bangunanya dapat dipastikan bahwa candi Ampel juga dibangun padawaktu yang sama, yaitu suatu periode di mana cukupbanyak dibangun percandian dengan menggunakan bahan bata.
Latar Belakang Budaya
Walaupun hanya berupa tumpukan bata yang saat ini “diikat” oleh akar – akar pohon besar,kekuatan situs ini tetap dapat dikenali. Pada diding kaki candi,antara lain, masih tampak adanya ornament berupa sulur – suluran. Selain arca Dwarapala dan Yoni,di sana terdapat pula tujuh umpak batu.
Keberadaan Yoni jelas menunjukan bahwa bangunan candi itu berlatar belakang keagamaan Hindu. Adapun tujuh buah umpak yang terdapat di sana menunjukkan adanya manfaat bangunan terbuat dari bahan lain yang digunakan untuk menaungi bagian atas candi tersebut.
Sebagaiman kebanyakan candi di Nusantara, candiAmpel dahulu dugunakan pula sebagai tempat pemujaan. Sekarang hanya berfungsi sebagai obyekwisata saja. Walaupun tidak lagi digunakan sebagai tempat pemujaan bagiumat Hindu,dalamkasus tertentu situs ini masih dijadikan tempat nyuwun donga oleh sementara penduduk sekitar.
Ki Ageng Selo
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja – raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki – laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkimpoian antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kimpoi dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja – raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 – 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja – raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek – kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kimpoi dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja – raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja – raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja – raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak – arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing – masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data – data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja – raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa – sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber – sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam – makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam – makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata – rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.
SOSOK GAJAH MADA
Gajah Mada sosok kontroversi negeri ini. Ia telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam literature sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya. Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan Negara yang ia bela.
Tulisan ini coba memberikan gambaran dari sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan merupakan sosok Dewa ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!
menjelang ajalnya, Gadjah Mada diketahui menyepi ke daerah Madakaripura, Probolinggo, yang menjadi salah satu bagian dari lereng Gunung Semeru. Sang Maha Patih tiba-tiba ia merasa sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan semua kebesarannya. Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit sudah sebesar yang diimpikannya. Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya. Oleh Hayam wuruk, ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai Brantas yang dibebaskan dari pajak dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan Patih yang sudah tua itu.
Dalam kesendirian dan ketuaannya terbayang kembali saat Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya, sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia telah berhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah salah satu jalan yang diplih untuk memperkuat negara itu. Apalagi dalam perjalanannya, negara yang baru tumbuh itu, harus mengalami berbagai macam pemberontakan, yang terutama dari sahabat dekat sang raja sendiri, seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada yang siap beregenerasi. Maka sekolah militer untuk perwira dimasa depan disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu produknya. Menghabiskan masa muda dalam pendidikan kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya. Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia lemah. Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder), yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada. Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat, apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat. Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakang sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang raja kembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah. Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah. Bagi Gajah mada kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana, punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.
Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti, menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Akhirnya, pada tahun 1334 M, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah yang dikenal sebagai Amukti Palapa :
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktI palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan untuk mewujudkan sumpah itu. Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi, karena Hayam wuruk masih kecil.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda. Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai.
Gajah Mada memang telah menjadikan urusan kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia tidak memiliki perhatian terhadap Negara. Namun di balik semua itu, ia hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang lainnya yang memujinya setinggi langit, Suara Tantular tidak pernah diperhitungkan!”
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multi dimensi yang mendera Majapahit.
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk! Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai Datuk, dan “di atas kertas” walaupun tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan orang Sumatera, “Orang Jawa (Maha Patih Gajah Mada) datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.”
Hayam wuruk yang beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding. Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan dan sangat pantas menjadi menantunya.
Dan segera urusan ini dipercepat, dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu jemputan dari Majapahit.
Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai. Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh, Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang sederajat, sekutu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan. Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai tradisi pengantin waktu itu, melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada, tapi Gajah Mada adalah orang yang sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya insting kenegaraan saja, dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi mereka berbeda, dan tak mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama. Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu, ialah yang harus mundur. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa yang penting. Pada negara atau pada raja?
Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya, diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu dilegendakan riwayat kelahirannya. Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya. Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Hayam Wuruk kemudian memilih enam Maha Mantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Ke enam Maha Mantri Agung ini bukanlah dari kalangan yang dibina oleh Sang Gajah Mada karena semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, dikisahkan pada tahun 1329 M, Patih Majapahit Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk.
Terngiang kembali dalam kesendiriannya beberapa percakapannya di pendopo agung kepatihan antara dirinya (Gajah Mada) dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri.
“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”
Dikeuzurannya Sang Gajah Mada sepi tanpa istri dan dalam kesendiriannya pula mantan Maha Patih Agung itu mangkat….. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
KERAJAAN MENDANG KAMULAN
Melalui mulut Pak Sondong, Buta Locaya meneruskan ceritannya, “Setelah tujuh kali pengertian raja, menjadi raja di suitu ialah Raja Sindula. Raja ini moksa lalu diganti Raja Prabu Dewata Cengkar, putranya sendiri. Kemudian diganti oleh AJISAKA, raja yang tidak berasal dari dinasti raja terdahulu. Ajisaka, memerintah di Mendang Kamulan hanya tiga tahun. Kerajaan itu kemudian direbut oleh Raden Daniswara, putra raja Dewata Cengkar, yang kemudian bergelar Prabu Kaskaya atau Prabu Maha Punggung. Lalu diganti oleh puteranya yang bernama Prabu Klapa Gading. Pengganti Prabu Klapa Gading ialah Prabu Mundingwangi, diganti lagi pleh penerusnya, Prabu Mundingsari. Ketika itu umur Kerajaan Mendang Kamulan 120 tahun. Lalu ditaklukkan oleh Prabu Prawatasari, raja dari Prambanan, yang masih ada hubungan keluarga dengan Prabu Mundingwangi sendiri.
Kerajaan dipindahkan ke Prambanan. Di Mamenang hanya ada adipati yang bermukim di Panjer. Mengenai cerita kerajaan lain, antara lain Purwacarita, Mendang Kamulan dan Prambanan saya tak dapat menceritakan karena saya tak menyaksikan sendiri. Selanjutnya yang akan saya ceritakan hanya kerajaan Kadhiri atau Panjer seperti yang anda kehendaki semula.”
Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya, “Apa sebabnya kerajaan Mamenang taka da bekas-bekasnya?”
Pak Sondong menjawab, “Sebabnya ialah karena kerajaan itu tertimbun oleh lahar yang berasal dari gunung Kelud. Karena seringnya tertimpa lahar lama-lama keratin tersebut tertimbun lalu terpendam dan tidak tampak lagi. Kalau ada yang tampak, maka yang kelihatan itu adalah hasil karya Sang Prabu Jayabaya, yakni empat buah candi.
Pertama candi di desa Prundung. Kedua candi di desa Tegowangi, ketiga candi di desa Surawan. Ketiganya terletak di sebelah timur laut kota Mamenang. Dan yang keempat adalah candi Arcakuda, di desa Bogem.
Ki Dermakanda meneruskan pertanyaan, “Prabu Jayabaya membuat patung kuda berbingkai dengan kepala dua buah di letakkan di desa Bogem, mempunyai arti apa dan maksud apa?”.
Pak Sondong (Buta Locaya) menjawab, “Dulu sang Prabu bersabda begini, ‘Maksud saya membuat patung kuda di Desa Bogem merupakan perlambangan Negara Jawa. Bogem berarti tempat perhiasan atau logam mulia dan intan permata. Diberi bingkai bulatan berarti terlarang. Kuda tanpa tapak kaki kuda berarti tanpa sarat. Berkepala dua saling bertolak belakang, artinya kelak orang-orang perempuan di sini tidak setia kepada suaminya. Mereka selalu menginginkan pria lain yang bukan suaminya. Demikian juga pihak lelaki. Mereka akan melakukan perbuatan yang terlarang dengan wanita yang belum menjadi istrinya apabila wanita itu cocok dengan seleranya, wanita itu akan dinikahi olehnya. Bila tak cocok ia tinggalkan’. Begitulah sabda sang Prabu Aji Jayabaya.”
Pak Sondong (Buta Locaya) meneruskan penjelasannya, “Raden Mas Ngabei Purbawidjaja, perkenankan saya mencimpang sedikit dari pokok pembicaraan, sebab saya akan menceritakan tentang Adipati Panjer. Ketika Adipati Panjer pertama memerintah di Panjer, sang Adipati mempunyai kegemaran menyabung ayam. Pada suatu hari ketika di Pandapa ada permainan sabung ayam, banyak orang menonton permainan itu. Saat itu ada seorang penyabung ayam bernama Gendam Asmaradana ikut menonton bersama-sama orang banyak. Ia berasal dari Desa Jalas. Raut muka Gendam Asmaradana sangat tampan, gagah, berkulit kuning langsat dan dia adalah pemuda paling tampan di seluruh negeri, selalu berpakaian rapi serta indah. Dia memang orang berada atau kaya-raya.Karena wajahnya yang seperti Dewa Kamajaya itulah maka wanita di seluruh negeri banyak yang tergila-gila dan melamar igin di peristri oleh Gendam Asmaradana. Mereka menyerahkan kekayaannya antara lain intan permata, logam emas dan perak yang dibentuk atau dijadikan bermacam-macam perhiasan. Seluruh miliknya diserahkan kepada Gendam Asmaradana. Karena itulah Gendam Asmaradana hidupnya cukup bahkan berlebih-lebihan tidak kekurangan suatu apapun.
Seperti suadah diceritakan di atas, Gendam Asmaradan ikut melihat permainan menyabung ayam. Gendam Asmaradana maju lalu duduk di atas muka. Sang Adipati duduk bersanding dengan Nyonya Adipati. Ketika Nyai Adipati melihat ketampanan Gendam Asmaradana, darahnya mengalir deras dan langsung jatuhcinta dengan sang perjaka. Ia lupa bahwa dia sedang duduk bersanding dengan Ki Adipati Panjer. Pandangannya selalu tertuju kepad Gendam Asmaradana.
Sang Adipati tahu dan mengerti bahwa hati istrinya sangat tertarik kepada ketampanan Gendam Asmaradana. Dia sangat marah lalu mengambil kerisnya. Keris itu langsung ditusukkan kedada lelaki yang menarik perhatian isterinya. Gendam Asmaradana terkejut dan terlonjak. Seketika itu dia beusaha diri dengan mencabut pedang dari sarungnya. Senjata itu dibacokkan ke pinggang Sang Adipati. Darah segar mengalir dari lukannya. Adipati Panjer lari ke sumber atau mata air miliknya, sendang Kalasan. Mata air itu mempunyai kasiat dapat menyembuhkan luka-luka. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Asmaradana lari menyusul musuhnya sambil berteriak, ‘Hoi, jangan lari, kalau anda memang berwatak kesatria berhentilah,jangan lari.’
Sang Adipati setelah tahu bahwa dia dikejar dan tantang oleh Gendam Asmaradana lalu berhenti. Tetapi tak lama kemudian di roboh dan langsung mangkat (meninggal dunia). Ketika Gendam Asmaradana melihat Sang Adipati mangkat, ia lari dan dikejar oleh orang banyak. Ia lari menuju ke rumahnya, tetapi masih terus dikejar. Asmaradana lalu larilagi kearah mata air di telaga Kalasan dan langsung melompat menceburkan dirinya ke dalam telaga tersebut. Walaupun sudah masuk ke dalam air telaga, dia masih dikejar juga oleh pengikut Adipati Panjer. Seluruh dasar telaga di salami dan di aduk untuk mencari Asmaradana. Namun yang dicari tidak juga ditemukan. Mungkin Gendam Asmaradana menjadi siluman atau demit di telaga Kalasan. Orang-orang lalu bubar.”
Ki Dermakanda bertanya, “Saya pernah mendengar ada aji-aji atau mantera yang bernama aji-aji Gendam Asmaradana yang gunanya utuk memantrai perempuan agar jatuh cinta ke pada yang mengucapkan mantera itu. Apakah asalnya dari Gendam Asmaradana itu?”
Pak Sondong (Ki Buta Locaya) menjawab, “Benar, untuk melestarikan aji atau mantera yang di miliki oleh Gendam Asmaradana yang ceritakan tadi, setelah Adipati Panjer mangkat Gendam Asmaradana dibuat patungnya. Arca tersebut dibuat dan di berinama patung Smarandana di tempat kan di Desa Panjer. Waktu itu pemerintahan di Panjer kosong, taka da orang yang memegang pucuk pimpinan sampai selama satu tahun.”
Powered by Blogger.