KERAJAAN MENDANG KAMULAN

Wednesday, 30 May 2012
Melalui mulut Pak Sondong, Buta Locaya meneruskan ceritannya, “Setelah tujuh kali pengertian raja, menjadi raja di suitu ialah Raja Sindula. Raja ini moksa lalu diganti Raja Prabu Dewata Cengkar, putranya sendiri. Kemudian diganti oleh AJISAKA, raja yang tidak berasal dari dinasti raja terdahulu. Ajisaka, memerintah di Mendang Kamulan hanya tiga tahun. Kerajaan itu kemudian direbut oleh Raden Daniswara, putra raja Dewata Cengkar, yang kemudian bergelar Prabu Kaskaya atau Prabu Maha Punggung. Lalu diganti oleh puteranya yang bernama Prabu Klapa Gading. Pengganti Prabu Klapa Gading ialah Prabu Mundingwangi, diganti lagi pleh penerusnya, Prabu Mundingsari. Ketika itu umur Kerajaan Mendang Kamulan 120 tahun. Lalu ditaklukkan oleh Prabu Prawatasari, raja dari Prambanan, yang masih ada hubungan keluarga dengan Prabu Mundingwangi sendiri. Kerajaan dipindahkan ke Prambanan. Di Mamenang hanya ada adipati yang bermukim di Panjer. Mengenai cerita kerajaan lain, antara lain Purwacarita, Mendang Kamulan dan Prambanan saya tak dapat menceritakan karena saya tak menyaksikan sendiri. Selanjutnya yang akan saya ceritakan hanya kerajaan Kadhiri atau Panjer seperti yang anda kehendaki semula.” Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya, “Apa sebabnya kerajaan Mamenang taka da bekas-bekasnya?” Pak Sondong menjawab, “Sebabnya ialah karena kerajaan itu tertimbun oleh lahar yang berasal dari gunung Kelud. Karena seringnya tertimpa lahar lama-lama keratin tersebut tertimbun lalu terpendam dan tidak tampak lagi. Kalau ada yang tampak, maka yang kelihatan itu adalah hasil karya Sang Prabu Jayabaya, yakni empat buah candi. Pertama candi di desa Prundung. Kedua candi di desa Tegowangi, ketiga candi di desa Surawan. Ketiganya terletak di sebelah timur laut kota Mamenang. Dan yang keempat adalah candi Arcakuda, di desa Bogem. Ki Dermakanda meneruskan pertanyaan, “Prabu Jayabaya membuat patung kuda berbingkai dengan kepala dua buah di letakkan di desa Bogem, mempunyai arti apa dan maksud apa?”. Pak Sondong (Buta Locaya) menjawab, “Dulu sang Prabu bersabda begini, ‘Maksud saya membuat patung kuda di Desa Bogem merupakan perlambangan Negara Jawa. Bogem berarti tempat perhiasan atau logam mulia dan intan permata. Diberi bingkai bulatan berarti terlarang. Kuda tanpa tapak kaki kuda berarti tanpa sarat. Berkepala dua saling bertolak belakang, artinya kelak orang-orang perempuan di sini tidak setia kepada suaminya. Mereka selalu menginginkan pria lain yang bukan suaminya. Demikian juga pihak lelaki. Mereka akan melakukan perbuatan yang terlarang dengan wanita yang belum menjadi istrinya apabila wanita itu cocok dengan seleranya, wanita itu akan dinikahi olehnya. Bila tak cocok ia tinggalkan’. Begitulah sabda sang Prabu Aji Jayabaya.” Pak Sondong (Buta Locaya) meneruskan penjelasannya, “Raden Mas Ngabei Purbawidjaja, perkenankan saya mencimpang sedikit dari pokok pembicaraan, sebab saya akan menceritakan tentang Adipati Panjer. Ketika Adipati Panjer pertama memerintah di Panjer, sang Adipati mempunyai kegemaran menyabung ayam. Pada suatu hari ketika di Pandapa ada permainan sabung ayam, banyak orang menonton permainan itu. Saat itu ada seorang penyabung ayam bernama Gendam Asmaradana ikut menonton bersama-sama orang banyak. Ia berasal dari Desa Jalas. Raut muka Gendam Asmaradana sangat tampan, gagah, berkulit kuning langsat dan dia adalah pemuda paling tampan di seluruh negeri, selalu berpakaian rapi serta indah. Dia memang orang berada atau kaya-raya.Karena wajahnya yang seperti Dewa Kamajaya itulah maka wanita di seluruh negeri banyak yang tergila-gila dan melamar igin di peristri oleh Gendam Asmaradana. Mereka menyerahkan kekayaannya antara lain intan permata, logam emas dan perak yang dibentuk atau dijadikan bermacam-macam perhiasan. Seluruh miliknya diserahkan kepada Gendam Asmaradana. Karena itulah Gendam Asmaradana hidupnya cukup bahkan berlebih-lebihan tidak kekurangan suatu apapun. Seperti suadah diceritakan di atas, Gendam Asmaradan ikut melihat permainan menyabung ayam. Gendam Asmaradana maju lalu duduk di atas muka. Sang Adipati duduk bersanding dengan Nyonya Adipati. Ketika Nyai Adipati melihat ketampanan Gendam Asmaradana, darahnya mengalir deras dan langsung jatuhcinta dengan sang perjaka. Ia lupa bahwa dia sedang duduk bersanding dengan Ki Adipati Panjer. Pandangannya selalu tertuju kepad Gendam Asmaradana. Sang Adipati tahu dan mengerti bahwa hati istrinya sangat tertarik kepada ketampanan Gendam Asmaradana. Dia sangat marah lalu mengambil kerisnya. Keris itu langsung ditusukkan kedada lelaki yang menarik perhatian isterinya. Gendam Asmaradana terkejut dan terlonjak. Seketika itu dia beusaha diri dengan mencabut pedang dari sarungnya. Senjata itu dibacokkan ke pinggang Sang Adipati. Darah segar mengalir dari lukannya. Adipati Panjer lari ke sumber atau mata air miliknya, sendang Kalasan. Mata air itu mempunyai kasiat dapat menyembuhkan luka-luka. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Asmaradana lari menyusul musuhnya sambil berteriak, ‘Hoi, jangan lari, kalau anda memang berwatak kesatria berhentilah,jangan lari.’ Sang Adipati setelah tahu bahwa dia dikejar dan tantang oleh Gendam Asmaradana lalu berhenti. Tetapi tak lama kemudian di roboh dan langsung mangkat (meninggal dunia). Ketika Gendam Asmaradana melihat Sang Adipati mangkat, ia lari dan dikejar oleh orang banyak. Ia lari menuju ke rumahnya, tetapi masih terus dikejar. Asmaradana lalu larilagi kearah mata air di telaga Kalasan dan langsung melompat menceburkan dirinya ke dalam telaga tersebut. Walaupun sudah masuk ke dalam air telaga, dia masih dikejar juga oleh pengikut Adipati Panjer. Seluruh dasar telaga di salami dan di aduk untuk mencari Asmaradana. Namun yang dicari tidak juga ditemukan. Mungkin Gendam Asmaradana menjadi siluman atau demit di telaga Kalasan. Orang-orang lalu bubar.” Ki Dermakanda bertanya, “Saya pernah mendengar ada aji-aji atau mantera yang bernama aji-aji Gendam Asmaradana yang gunanya utuk memantrai perempuan agar jatuh cinta ke pada yang mengucapkan mantera itu. Apakah asalnya dari Gendam Asmaradana itu?” Pak Sondong (Ki Buta Locaya) menjawab, “Benar, untuk melestarikan aji atau mantera yang di miliki oleh Gendam Asmaradana yang ceritakan tadi, setelah Adipati Panjer mangkat Gendam Asmaradana dibuat patungnya. Arca tersebut dibuat dan di berinama patung Smarandana di tempat kan di Desa Panjer. Waktu itu pemerintahan di Panjer kosong, taka da orang yang memegang pucuk pimpinan sampai selama satu tahun.”

0 comments:

Powered by Blogger.