MENGENANG SERUAN SANG NASIONALISME

Sunday 12 December 2010


BUNG TOMO

Suetomo, lahir di Surabaya, Jawa Timur,3 Oktober 1920. Lebih di kenal dengan nama BUNG TOMO. Adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitakn semangat rakyat Surabaya untuk melawan penjajah Belanda melalui tentara NICA. Berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakjat Baru yang diponsori Jepang, hampir tak seorangpun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Suetomo untuk peranannya yang sangat penting. Ketika pada Oktober dan November




CANDI TIKUS

Monday 6 December 2010
Candi tukus terletak di dukuh Dinuk Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter. Nama candi tikus diambil dari sejarah penemuannya yang ketika itu pertama kali ditemukan di sana ditemukan banyak sekali tikus, dan hama tikus ini menyerang pertanian desa di sekitarnya. Pertama kali ditemukan pada tahun 1914 kemudian baru dilakukan pemugaran pada tahun 1983-1986.



Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.
Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan.
Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
Gunung meru merupakan gunung suci yang dianggap sebagai pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia dunia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut konsepsi Hindu, alam semesta terdiri atas suatu benua pusat yang bernama Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan semuanya dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Jadi Sangat mungkin Candi Tikus merupakan sebuah petirtaan yang disucikan oleh pemeluk Hindu dan Budha, dan juga sebagai pengatur debit air di jaman Majapahit.

UPAYA PENANGGULANGAN PENCEMARAN TANAH

Monday 8 November 2010



Limbah domestik yang berjumlah sangat banyak memerlukan penanganan khusus agar tidak mencemari tanah. Pertama sampah tersebut kita pisahkan ke dalam sampah organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (biodegradable) dansampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme (nonbiodegradable). Oleh karena itu, sangatlah bijaksana jika setiap rumah tangga dapat memisahkan sampah atau limbah atas dua bagian yakni organik dan anorganik dalam dua wadah yang berbeda sebelum diangkut ketempat pembuangan akhir.

Sampah organik yang terbiodegradasi dapat diolah, misalnya dijadikan bahan urukan, ke-mudian kita tutup dengan tanah sehingga terdapat permukaan tanah yang dapat kita pakai lagi; dibuat kompos; khusus kotoran hewan dapat dibuat biogas dll.


Sampah anorganik yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme. Cara penanganan yang terbaik dengan pendaur-ulangan sampah.
Mengurangi penggunaan pupuk sintetik dan berbagai bahan kimia untuk pemberantasan hama seperti pestisida


Mengolah limbah industri dalam pengolahan limbah, sebelum dibuang kesungai atau kelaut.
Mengurangi penggunaan bahan-bahan yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme (nonbiodegradable). Misalnya mengganti plastik sebagai bahan kemasan/pembungkus dengan bahan yang ramah lingkungan seperti dengan daun pisang atau daun jati.


Langkah penanggulangan

Apabila pencemaran telah terjadi, maka perlu dilakukan penanggulangan terhadap pencemara tersebut. Tindakan penanggulangan pada prinsipnya mengurangi bahan pencemar tanah atau mengolah bahan pencemar atau mendaur ulang menjadi bahan yang bermanfaat. Tanah dapat berfungsi sebagaimana mestinya, tanah subur adalah tanah yang dapat ditanami dan terdapat mikroorganisme yang bermanfaat serta tidak punahnya hewan tanah. Langkah tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan antara lain dengan cara:

1) Sampah-sampah organik yang tidak dapat dimusnahkan (berada dalam jumlah cukup banyak) dan mengganggu kesejahteraan hidup serta mencemari tanah, agar diolah atau dilakukan daur ulang menjadi barang­barang lain yang bermanfaat, misal dijadikan mainan anak-anak, dijadikan bahan bangunan, plastik dan serat dijadikan kesed atau kertas karton didaur ulang menjadi tissu, kaca-kaca di daur ulang menjadi vas kembang, plastik di daur ulang menjadi ember dan masih banyak lagi cara-cara pendaur ulang sampah.

2) Bekas bahan bangunan (seperti keramik, batu-batu, pasir, kerikil, batu bata, berangkal) yang dapat menyebabkan tanah menjadi tidak/kurang subur, dikubur dalam sumur secara berlapis-lapis yang dapat berfungsi sebagai resapan dan penyaringan air, sehingga tidak menyebabkan banjir, melainkan tetap berada di tempat sekitar rumah dan tersaring. Resapan air tersebut bahkan bisa masuk ke dalam sumur dan dapat digunakan kembali sebagai air bersih.

3) Hujan asam yang menyebabkan pH tanah menjadi tidak sesuai lagi untuk tanaman, maka tanah perlu ditambah dengan kapur agar pH asam berkurang.

Dengan melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran lingkungan hidup (pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran tanah) berarti kita melakukan pengawasan, pengendalian, pemulihan, pelestarian dan pengembangan terhadap pemanfaatan lingkungan) udara, air dan tanah) yang telah disediakan dan diatur oleh Allah sang pencipta, dengan demikian berarti kita mensyukuri anugerah-Nya.

PENGARUH KEKUASAAN KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN BARAT DI INDONESIA

Monday 18 October 2010
Memamsuki aba ke-20 boleh dikatakan bahwa pemerintah Kolonial Belanda telah berhasil mengatasi hampir seluruh perlawanan di Nusantara. Keadaan in tidak berarti berhenti total Perlawanan pejuang Indonesia akan tetapi pejuang Indonesia merubah taktik perjuangan dari cara menggunakan kekuatan fisik menuju ara ber organisasi.



Pelaksanaan Politik Etis yang dimulai sejak tahun 1900 lambat laun mengakibatkan pendidikan semakin berkembang. Sekolah - sekolah didirikan baik oleh pemerintah kolonial maupun swasta. Tujuan sekolah didirikan untuk memenui penisian pekerjaan pemerintah kolonial,terutama tenaga kerja rendahan dan kasar.
pemerintahan kolonial mula-mula mendirikan Sekolah Daasar. Aa dua jenis Sekolah Dasar yaitu:
  1. Sekolah Dasar "Kelas Dua", adalah sekolah yang di peruntukan bagi anak- anak pribumi terutama golongan masyarakat bawah.
  2. Sekolah Dasar " Kelas Satu", adalh sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak pegawai negri. Orang-orang yang punya kedudukan atau bangsawan, dan orang-oarang kaya.

SANG PRABU di CEMPA

Sunday 19 September 2010


Sang Nata di Cempa bernama Prabu Kuntara. Sang Nata berputra 3 orang putra –putr1 1.Dewi Murdaningrum
2. Dewi Tjondro Woelan
3. Raden Tjingkara Dewi Murdaningrum dipersunting oleh Prabu Kartowidjojo, Majapahit.
Dewi Tjondro Woelan dipersunting oleh Maulana Malik Ibrahim dan berputra Raden Rachmad ( SUNAN NGAMPEL DENTA ).



Sang Prabu Kartowidjojo Majaphit yang di beristrikan Dewi Murdaningrum berputra Raden Patah Sultan Bintara Demak .
Raden Patah Sultan Bintara Demak adalah saudra sepupu (Nak Sederek) dengan Raden Rachmad Sunan NGAMPEL Denta Surabaya.

KISAH MAULANA MALIK IBRAHIM

Saturday 18 September 2010



Maulana Malik Ibrahim adalah putra dari Syeh Djumadil Qubra. Syeh Djumadil Qubra adalah putra dari R. Imam Ja’far Shadiq. Putra dari Ali Dhahir sampai Kanjeng Nabi Mohammad S.A.W sudah 11 keturunan.
Ketika tahun 1.300 M. Maulana Malik Ibrahim menyiarkan ( syiar ) Agama Islam di Negri Cempa . Lama kemudian Maulana Malik Ibrahim mempersunting dan menikahi Putri Cempa, putra putri Sang Ratu yang bernama Dewi Tjondro Woelan. Tidak lama kemudian setelah pernikahan. Dewi Tjondro Woelan mengandung ( hamil ). Dewi Tjondro Woelan melahirkan seorang putra, di beri nama Raden Racmahad yang akhirnya berdiri sebagai Sunan Ngampel Denta di Surabaya.

Sunan Ngampel Denta berputra berputra Raden Satmoto, atau yang bernama Kyai Ngarobi. Raden Satmoto berputra Putri Ny. Anom Besari yang wafat dimakamkan di pemakaman Kuncen, Caruban Madiun. Ny. Anom Besar Kuncen , berputra 3 Orang:
1. Kyai Chatib Anom yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Kalambret desa Srigading Tulungagung.
2. Kyai Mohammad Besari yang wafat dan di makamkan di pemakaman Tegalsari, Jetis Ponorogo.
3. Kyai Noer Sodiq yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Tegalsari, Ponorogo dan berputra Kyai Mukmin yang wafat dan di makamkan di pemakaman Nglawu Mlarak.

Kisah KH. ABU MANSUR PENGIKUT PANGERAN MANGKUBUMI

Wednesday 15 September 2010


masih keturunan KH Abu Mansur, beliau keturunan adipati Cakraningrat dari Madura yang belajar Agama Islam (menjadi santri) kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau mempunyai 4 putra, yaitu; Kyai Yusuf ( Martontanu / Abu Mansur 2), Kyai Ilyas Winong, Nyai H. Muhsin dan Nyai Djodikromo.

Dalam geger Pecinan semula Sunan Pakubuwono 2 (1727-1749) membantu orang- orang Cina melawan VOC. Setelah orang- orang Cina dapat dikalahkan VOC, Pakubuwono 2 berbalik memihak VOC. Melihat sikap Pakubuwono 2 berbalik kepada VOC, Mas Garendi (cucu Sunan Mas) dengan didukung oleh rakyat memberontak dan berhasil menguasai Keraton Surakarta kemudian diangkat menjadi Sunan Kuning. Pakubuwono 2 terpaksa menyingkir mencari perlindungan kepada Kyai Ageng Mohammad Besyari di Ponorogo. Dengan mendapat bantuan dari Kompeni dan Kyai Ageng Muhammad Besyari beserta murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur, Pakubuwono 2 dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1668 Jawa / 1743 Masehi.

Atas jasanya mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari , Jetis Ponorogo dan KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi

Pada waktu Sunan Pakubuwono 3 memerintah Kerajaan Mataram (1749-1788) menggantikan ayahnya, Sunan Pakubuwono 2, mendapat perlawanan kuat dari pamannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said . Karena pemberontakan sulit di padamkan, maka diadakan perjanjian Giyanti (1755) yang salah satu isinya adalah Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Raja di Yogyakarta dengan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono 1.

Perjuangan Pangeran Mangkubumi mendapatkan tahta Kerajaan di Yogyakarta tersebut mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari (Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur. Karena Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC. Karena jasanya dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1770 Masehi.

Layang kekancingan (surat tugas) dari Pangeran Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut sebagai berikut:

“Ingkang dihin salam ingsun marang siro Abu mansur.

Pakeniro ingsun maringi panguwoso merdiko marang siro, yoiku tanah iro sarehiro kanggo sak turun- turun iro.

Ingkang dihin ingsun maringi panguwoso marmane, lan ingsun maringi nawolo ingsun paparentahan kang mardiko.

Sing sopo nora angestokno, amaido, iku banjur hunjukno marang ingsun, bakal ingsun palaksono hono alun- alun ingsun, sakehing nayokoningsun.

Asmo dalem Mangkubumi dawuh pangandiko dalem sinangkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi”.

Terjemahan bebas dari layang kekancingan tersebut adalah

“Pertama- tama salamku kepada Abu Mansur.

Atas perintahku kuberi kamu kekuasaan tanah merdeka, yaitu tanah dan daerah yang kamu kuasai semua untuk kamu dan semua keturunanmu.

Itulah sebabnya aku memberi kekuasaan lebih dahulu dan kuberikan suratku (sebagai penguat) pemerintahan yang merdeka

Barang siapa tidak melaksanakan, mencela, laporkan kepadaku akan kuberi hukuman di alun- alun saya (disaksikan) oleh semua pejabat- pejabatku.

Atas nama perintah Mangkubumi, dengan diberi tanda waktu Buto Ngerik Mongso jalmi”.

Surat tersebut ditulis dengan huruf Jawa, bersetempel merah, atas nama Pangeran Mangkubumi dan aslinya disimpan oleh keturunan KH. Abu Mansur. Sengkalan “Buto Ngerik Mongso Jalmi” tersebut menunjukkan tahun pembuatan atau dikeluarkannya surat. Namun ada beberapa penafsiran terhadap sengkalan tersebut, terutama pada kata “Ngerik”. Buto= 5, Ngerik jika diberi makna “lar” (bulu)= 2, jika diberi makna “muni” (bersuara)= 7, jika diberi makna “nggangsir” (jangkrik)= 9, Mongso= 6 dan Jalmi= 1. Jika dibaca dari belakang, sengkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi tersebut menunjuk tahun 1625 / 1675 / 1695 tahun Jawa. Kemudian jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tahun 1700/ 1750/ 1770. Dalam sejarah disebutkan Pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Yogyakarta (Hamengkubuwonbo.1)antara tahun 1755- 1792, maka penafsiran atas sengkalan tersebut lebih tepat menunjuk tahun 1770 Masehi, lima belas tahun setelah mendapat kedudukan sebagai Hamengkubuwono 1. Karena sebelum Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta, Kadipaten Ngrowo di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Dengan adanya perjanjian Gianti (1755) ada pembagian wilayah kekuasaan dan Kadipaten Ngrowo menjadi wilayah kekuasaannya Kasultanan Yogyakarta.

Sedangkan layang kekancingan (surat) dari/ atas nama Sunan/ Keraton Surakarta isinya sebagai berikut:

“Tetedakan nawolo dalem , asmo dalem.

Ingsun maringi bumi marang Kyai Abu Mansur, siji- sijining deso Majan, Winong, Tawangsari.

Marmane ingsun paringi gegadhuhan bumi, dene ingsun dhawuhi andedongo nyuwunake slamet kagunganingsun keraton ing Surokarto.

Marmane sapungkuringsun sopo kang nyekel tanah Jowo darah ingsun kang jumeneng noto nglestarekno peparing ingsun marang Kyai Abu Mansur tumeko saturun- turune.

Pepacuhan- pepacuhan kawulaningsun kabeh podo angestokno saunining nawoloningsun.

Sing sopo ora angestokno tanapi amaido kalaksono sakehing nayakaningsun ono alaun- aluningsun.

Ingsun dhawuh pangandiko dalem.

Kaping, 15 Mulud 1672”.

Terjemahan bebas layang kekancingan dari keraton Surakarta tersebut :

“Surat dari saya atas nama saya.

Saya memberi tanah kepada Kyai Abu Mansur, masing- masing desa Majan, Winong dan Tawangsari.

Makanya saya memberi hak guna tanah, dan saya perintah berdoa memintakan keselamatan keraton saya di Surakarta.

Setelah saya, siapa yang memerintah tanah Jawa (hendaknya) melestarikan pemberian saya kepada Kyai Abu Mansur sampai keturunannya.

Segenap aturanku, semua pejabatku hendaklah mentaati bunyi surat saya.

Barang siapa tidak mentaati atau mencela mendapat hukuman dari pejabat- pejabatku di alun- alun.

Saya ucapkan ucapan saya.

Pada, 15 Mulud 1672.

Layang kekancingan tersebut aslinya disimpan oleh Kyai Komaruz Zaman, imam masjid Tawangsari sekarang. Ditulis dengan huruf Jawa, tidak distempel dan tidak ditanda tangani. Tahun yang tertera di surat tersebut (15 Mulud 1672) menunjukkan tahun Jawa. Jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tanggal, 15 Mulut 1747 Masehi.

Ada dua layang kekancingan (surat) yang pernah diterima KH. Abu Mansur, namun tahunnya berbeda. Yang atas nama Kerajaan Surakarta, Pakubuwono 2, pada 15 Mulud 1672 Jawa/ 1747 Masehi dan atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1695 Jawa/ 1770 Masehi. Ada kemungkinan surat pertama (1672.J/ 1747.M) diberikan oleh Pakubuwono 2 yang menjabat sebagai raja tahun 1727-1749 sebelum Keraton Surakarta dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada waktu perjanjian Gianti tahun 1755. Sedang surat kedua 1695 Jawa/ 1770 Masehi diberikan oleh Mangkubumi setelah 15 tahun menjadi Sultan Yogyakarta. Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta tahun 1755- 1792 Masehi.

Namun ada juga kemungkinan penafsiran yang berbeda. Bahwa layang kekancingan (surat) dari Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut ditafsirkan tahun 1675 Jawa/1750 Masehi. Dengan alasan surat tersebut atas nama Mangkubumi, bukan atas nama Hamengkubuwono 1. Dengan demikian Mangkubumi mengeluarkan surat tersebut sebagai wakil/ sekretaris raja yang membidangi masalah administrasi kerajaan menguatkan surat pertama yang dikeluarkan tahun 1672 jawa/ 1747 Masehi oleh Pakubuwono 2 yang belum ditanda tangani dan belum distempel yang dikeluarkan 4 tahun setelah menduduki tahta kembali dari kekuasaan Sunan Kuning pada tahun 1743 Masehi.

Dengan adanya perjanjian Gianti tahun 1755 M, wilayah kekuasaan kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua atas dasar jumlah penduduk dan tingkat kesuburan wilayah. Pembagian tersebut sebagai berikut;

Kasunanan Surakarta dengan raja Sunan Pakubuwono 3 mendapat bagian wilayah; daerah Djagaraga, Ponorogo, separonya (setengahnya) Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo, Pace, Nganjuk, Brebek, Wirosobo (Modjoagung), Blora, Banyumas dan Keduang. Sedangkan jumlah penduduk di Kasunanan Surakarta 85.350 jiwa.

Kasultanan Yogyakarta dengan raja Mangkubumi (Hamengkubuwono 1) mendapat bagian wilayah; Daerah Madiun, Magetan, Caruban, setengahnya Pacitan, Kertosono, Kalangbret (Ngrowo), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras, Keras, Ngawen dan Grobogan. Sedangkan jumlah penduduk Kasultanan Yogyakarta 87.050 jiwa.

Jasa- jasa KH. Abu Mansur terhadap kadipaten Ngrowo/ Tulungagung diantaranya adalah:

.1. Beliau telah berdakwah di Kadipaten Ngrowo, khususnya Desa Tawangsari, Majan dan Winong. Ke tiga desa tersebut sejak dahulu hingga sekarang lebih dikenal sebagai daerah santri. Benda- benda purbakala peninggalan beliau berupa masjid Tawangsari, Winong dan Majan sampai saat ini masih bisa kita saksikan walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi.

2. Beliau telah melatih ilmu kanuragan kepada masyarakat ketiga desa tersebut. Di tahun enam puluhan, ke-tiga desa tersebut terkenal pencak silatnya. Setiap ada lomba pencak silat, pemuda- pemuda ke- tiga desa tersebut selalu ambil bagian. Bahkan banyak pondok pesantren yang ada di pelosok desa se- Tulungagung banyak yang mendatangkan guru bela diri/ pencak silat dari ke-tiga desa tersebut.

3. Di dalam buku “Babat dan Sejarah Tulungagung” disebutkan bahwa ketika Kadipaten Ngrowo hendak membangun alun- alun, KH. Abu Mansur ikut andil dalam pembangunan tersebut. Pada waktu itu tempat yang rencananya akan dibangun alun- alun masih berupa rawa- rawa. Di rawa- rawa tersebut ada sumber air yang terus mengeluarkan air dan sulit dibendung. Ternyata, atas jasa KH. Abu Mansur , sumber air tersebut dapat dihentikan hingga seperti alun- alun yang sekarang ini.

4. KH. Abu Mansur telah berhasil menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat pada rakyat ke- tiga desa tersebut. Ke-tiga desa tersebut sangat membenci terhadap penjajah Belanda maupun Jepang. Rasa nasionalisme yang ditanamkan oleh KH. Abu Mansur kepada rakyat Ngrowo dilandasi oleh semangat ajaran Agama Islam. Mungkin, karena semangat mempertahankan ajaran Islam inilah ketika terjadi peristiwa G.30. S, banyak sakerah- sakerah (pendekar Muslim yang berpakaian ala Madura) yang gagah berani dari masyarakat ke-tiga desa tersebut.

Demikianlah sekilas sejarah tentang kehidupan KH. Abu Mansur pada masa lalu. Semoga amal beliau dalam membimbing masyarakat Majan, Winong dan Tawangsari khususnya dan Kadipaten Ngrowo pada umumnya diterima oleh Allah dan mendapat balasan yang setimpal. Khusus masyarakat ke-tiga desa tersebut tidak ada jeleknya jika senantiasa mengenang jasa- jasa beliau dan berupaya melanjutkan perjuangannya. Sekalipun sekarang ke-tiga desa tersebyt sudah bukan lagi berstatus tanah perdikan, tidak ada jeleknya jika mengadakan kegiatan yang dapat mengenang jasa- jasa KH. Abu Mansur.

KHR. ABDUL FATTAH MANGUNSARI PENEMU MAKAM BEDALEM DAN TAMBAK

Monday 13 September 2010
Dalam bahasa Jawa ada pepatah “Kacang ora ninggalne lanjaran”. Sifat, jasmaniyah dan prilaku anak biasanya tidak jauh berbeda dengan sifat, jasmaniyah dan prilaku yang dimiliki orang tuanya. Kadang – kadang sifat, jasmaniyah dan prilaku anak itu diwarisi dari ibunya dan kadang dari ayahnya. Demikianlah yang terjadi pada sosok KHR. Abdul Fattah, pendiri pondok pesantren Al- Fattah Mangunsari Tulungagung, mempunyai daya juang yang tinggi sebagimana yang dimiliki ayah dan ibunya. Perjuangan dan pengabdian KHR. Abdul Fattah dalam menegakkan Agama Islam dapat dilihat pada buku “Wiroh KHR. Abdul Fattah”.
KHR. Abdul Fattah lahir pada Kamis Pon, 11 Syawal 1290 H./ 1872 M di Mangunsari Kedungwaru Tulungagung. Wafat pada hari Selasa Pon, 3 Robiul Akhir 1372 H ( 29 Nopember 1954 M) dan dimakamkan di barat masjid pondok Mangunsari, sehari setelah meninggalnya, pada hari Rabu Wage, 4 Robiul Akhir 1372 H (30 Nopember 1954 M).
Dari garis ayahnya, KHR. Abdul Fattah putra KH. Hasan Tholabi Mangunsari Tulungagung. Beliau keturunan ke 14 dari Sayyid Nawawi (Sunan Bayat/ Sunan Pandanaran/ Ihsan Nawawi, Solo) dan keturunan Rasulullah Saw ke 31. Sedangkan ibunya bernama Nyai Dokhinah, buyutnya Prawiro Projo, patih Ponorogo ke 5. Nama asli KHR. Abdul Fattah adalah Muhammad Ma’ruf. Sebenarnya nama Abdul Fattah itu adalah nama kecil teman akrabnya dari Popongan Jawa Tengah. Beliau berdua sangat akrab ketika masih belajar di pondok pesantren Jamsaren Solo. Untuk melestarikan hubungan tersebut beliau berdua saling tukar nama semenjak pergi menunaikan ibadah haji sebagi rukun Islam ke lima.
KHR. Abdul Fattah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu agama Islam yang diperoleh dari berbagai ulama. Beliau belajar ilmu tauhid kepada KH. Imam Bahri, PP Mangunsari, Pace Nganjuk. Belajar ilmu tasawwuf kepada K. Zaenuddin, PP Mojosari, Loceret Nganjuk. Belajar ilmu Fiqh kepada KH. Zaenuddin, PP Cempaka, Brebek Nganjuk. Belajar ilmu tafsir kepada KH. Idris, PP Jamsaren Solo. Belajar ilmu Hadits kepada KH. Hasyim Asy’ari, PP Tebuireng Jombang. Belajar ilmu Nahwu (Gramatika) kepada KH. Kholil, Bangkalan Madura. Belajar Al Qur’an kepada KH. Munawir, PP Krapyak Yogyakarta. Dan belajar berbagai bidang ilmu agama Islam kepada KH. Sayyid Zein dan KH. Mahfudz At- Turmusy di Masjidil Haram Makkah Saudi Arabia. Waktu yang dihabiskan KHR. Abdul fattah untuk belajar berbagai ilmu agama Islam di berbagai pondok pesantren tersebut selama 24 tahun.
Pada masa penjajahan Jepang, ulama- ulama di Tulungagung banyak yang ditangkap oleh Jepang. Diantaranya adalah KHR. Abdul Fattah (Mangunsari), Kyai Syarif (Majan), Kyai Mustaqim (Kauman) dan lainnya. Mereka disiksa dengan berbagai macam penganiayaan; dipukul, disetrum listrik, dimasukkan ke kandang ular, ditenggelamkan ke dalam bak air, disulut dengan api rokok dan berbagai penyiksaan lainnya. Mereka tetap tabah menjalani penyiksaan di dalam tahanan Jepang. Tidak henti- hentinya mereka selalu membaca kalimat thoyyibah; subhanallah, astaghfirullah, masya-Allah, la haula wala quwwata illa billah dsb. KHR.Abdul Fattah ditahan Jepang jam 8 pagi. Di dalam tahanan selama 9 bulan. Pulang dari tahanan hari Senin dan Selasanya sudah mulai mengajar santri- santrinya.
Karomah KHR. Abdul Fattah.
Karomah adalah keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba- hambanya yang dekat dengan Allah dan selalu digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kebalikan dari karomah adalah istijrod, yaitu kelebihan yang dimiliki hamba Allah yang jauh dari Allah dan biasanya selalu digunakan untuk tujuan- tujuan yang tidak baik. KHR. Abdul Fattah adalah termasuk hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu beliau mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah :
1. Setiap hari Senin dan Jum’at beliau biasanya membaca sholawat dziba’ rotibul hadad, tahlil dan dzikir bersama- sama dengan santri . Pada suatu ketika, setelah melakukan amal- amalan bersama santri, beliau membagi makanan dan minuman yang dipersiapkan sendiri. Yang membuat para santri heran adalah nasi yang disediakan hanya satu belanga dan satu kendi minuman, namun nasi dan minuman tersebut bisa mencukupi hadirin yang jumlahnya ratusan dan itupun masih tersisa.
2. Pada suatu hari Kyai Khobir bercerita: Kyai Khobir dan bapak Wardud mengantarkan makanan beserta lauk pauknya ke tempat KHR. Abdul Fattah. Beliau hanya mengambil setengah dari makanan yang dihidangkan dan yang setengah lagi disuruh membawa pulang. Setelah sampai di rumah, ternyata makanan yang tadinya tinggal separo kembali utuh seperti semula.
3 Menurut cerita H. Tholhah Josermo (Surabaya), disaat KHR. Abdul Fattah bermukim di pondok Mangunsari Pace Nganjuk, pada suatu malam Kyai Imam Bahri (ayah gus Mundir) melihat cahaya yang bersinar cemerlang dari kamar KHR. Abdul Fattah yang sedang tidur di dalamnya. Akhirnya disaat itu pula KHR. Abdul Fattah dibaiat sebagai thoriqoh kholwatiyah oleh Kyai Imam Bahri, pimpinan pondok Mangussari Pace Nganjuk.
4. Pada suatu hari ada orang melihat KHR. Abdul Fattah sedang sholat Jum’at di masjid Tawangsari, namun orang lain bercerita melihat beliau, pada hari Jum’at yang sama, sholat Jum’at di masjid tiban Sunan Kuning Macanbang Gondang. Sehingga keberadaan beliau tersebut menjadi pembicaraan para santri pondok.
5. KH. Hasyim Asy’ari Jombang (waktu itu sebagai ketua PB NU) ingin menemui KHR. Abdul Fattah yang sedang berkhalwat. Sebelumnya menemui Kyai Siroj untuk menanyakan bagaimana cara menemui KHR. Abdul Fattah. Oleh Kyai Siroj diminta menulis di sabak (papan kecil untuk menulis) nama dan keperluannya kemudian dimasukkan lewat pintu tempat berkhalwat. Jika KHR. Abdul Fattah berkenan menerima biasanya sabak diambil dan diberi jawaban “Salam dan doa semoga maksud dan tujuan dikabulkan dan diridhoi Allah”, dan jika belum berkenan menerima sabak tidak diambil. Ternyata sabak tidak diambil, kemudian KH Hasyim Asy’ari kembali meneruskan perjalanannya bersilaturrahmi kepada Kyai Zarkasyi dan Gus Qomaruddin Kauman Tulungagung. Diwaktu yang sama, KHR Abdul Fattah menemui Gus Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) di Jombang menyatakan ingin menemui ayahnya. Dikatakan oleh Gus wahid bahwa ayahnya pergi ke Tulungagung ingin bersilaturrahmi kepada Gus Ma’ruf (nama asli KHR. Abdul Fattah). KHR. Abdul Fattah tidak bersedia masuk rumah, tapi istirahat di masjid menunggu sampai KH. Hasyim Asy’ari datang dari Tulungagung. Selang beberapa waktu yang ditunggu datang dan menceritakan kisah perjalanannya dari Tulungagung. KHR. Abdul fattah menjawab: “Sebetulnya yang harus datang aku kepada Kyai, bukan malah kyai datang kepadaku”.
Jasa- jasa KHR. Abdul Fattah
1. Penemu Makam Bedalem.
KHR. Abdul Fattah sebagai perintis dan pelopor penggalian benda bersejarah, terutama makam- makam kuno. Beliaulah yang menemukan dan menggali makam Bedalem Campurdarat yang didalamnya dimakamkan pejuang- pejuang Islam, yaitu Pangeran Benowo, Raden Patah dan Dampu Awang. Setelah ditemukan makam Bedalem beliau menyuruh Kyai Maklum untuk merawat makam dan mempelopori dakwah Islamiyah di Campurdarat. Disamping itu beliau juga mendirikan masjid di Bedalem.

BUMI LAWADAN

Adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten Tulungagung dibatasi oleh Kabupaten Blitar di sebelah timur, Kabupaten Trenggalek disebelah barat, Kabupaten Kediri di sebelah utara dan Samudra Hindia di sebelah selatan. Secara administratif, Kabupaten Tulungagung terbagi dalam 19 kecamatan, 257 desa, dan 14 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat, Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut, Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol, Tanggung Gunung, Tulungagung.
Bagian barat laut Kabupaten Tulungagung merupakan daerah pegunungan yang merupakan bagian dari pegunungan Wilis-Liman-Limas. Bagian tengah adalah dataran rendah; dan bagian selatan adalah pegunungan yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Kidul. Tulungagung adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia, yakni di daerah campurdarat & besole. Pantai Popoh, merupakan obyek wisata pantai di Laut Selatan yang cukup terkenal.
Dahulu kala Tulungagung terkenal dengan daerah rawa-rawa, yang lebih dikenal dengan nama Bonorowo/ngrowo (rowo=rawa). Bekas rawa-rawa tersebut kini menjadi wilayah kecamatan Campurdarat, Boyolangu, Pakel, Besuki, Bandung, Gondang. Dalam prasasti Lawadan,terletak di sekitar Desa Wates Kecamatan Campurdarat, yang dikeluarkan pada Jum’at Pahing 18 Nopember 1205 disebutkan bahwa Raja Daha yang terakhir yaitu Sri Kretajaya merasa berkenan atas kesetiaan warga Thani Lawadan terhadap raja ketika terjadi serangan musuh dari sebelah timur Daha. Tanggal tersebut kemudian digunakan sebagai hari jadi tulungagung. Pada Prasasti Lawadan dijelaskan juga tentang anugrah Raja Kertajaya berupa pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan penerimaan berbagai hak istimewa kepada DWAN RI LAWADAN TKEN WISAYA, atau dikenal dalam cerita sebagai DANDANG GENDHIS. Di jaman majapahit, Bonorowo dipimpin oleh seorang Adipati yang bernama adipati kalang. Adipati kalang tidak mau tunduk pada kekuasaan majapahit, yang berujung pada invasi mojopahit ke bonorowo. Adipati kalang dan pengikutnya yang berjuang dengan gagah berani akhirnya tewas dalam pertempuran didaerah yang sekarang disebut kalangbret dikecamatan Kauman.
Di Jaman penjajahan jepang, tulungagung dijadikan base pertahanan jepang untuk menangkal serangan sekutu dari australia serta sebagai benteng pertahanan terakhir untuk menghadapi serangan dari arah utara. Pada masa itu ratusan ribu romusa dikerahkan untuk mengeringkan rawa-rawa tulungagung membuangnya ke pantai selatan dengan membuat terowongan air menembus dasar gunung Tanggul, salah satu gunung dari rangkaian pegunungan yang melindungi Tulungagung dari dasyatnya ombak pantai selatan, yang terkenal dengan sebutan terowongan ni yama. Terowongan tersebut sekarang dijadikan PLTA Tulungagung.
Tulungagung sekarang terkenal dengan kerajinan Marmer dan onyx, di Kecamatan Campurdarat, Batik di Tulungagung, Majan dan Kauman. Tenun Perlengkapan Militer dengan standart NATO di Kecamatan Ngunut. Konveksi dan Bordir Garmen, busana muslim, sprei, sarung bantal, rukuh dsb. Ikan Hias yang memenuhi pasar nasional dan eksport. ikan konsumsi ( Perikanan darat dan laut ). Makanan khas tulunguagung antara lain Lodho Ayam, Nasi Pecel, sompil, jajanan seperti kacang Shanghai, giti, jongkong, ireng-ireng, sredeg, cenil, plenggong. Minuman khas seperti kopi cethe, Wedang jahe sere, dawet caon, rujak uyub, beras kencur. Tulungagung adalah base camp ketoprak “Siswo Budoyo”, kesenian kentrung, jaranan, dan reog tulungagung.

Asal-Usul Nama-Nama Daerah di Tulungagung

Saturday 21 August 2010



PERGURUAN PACET
Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
v Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
v Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
v Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
v Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.
v Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang.
v Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
v Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).

Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai Kasan Besari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.

KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Bedalem dan Pangeran Kalang, Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya. Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyiai Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi di situ. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “ngideri pari”. Kyai Becak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, yaitu Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan bala tentaranya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jasad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.

PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.

PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Roro Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Roro Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorang pun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Roro Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.

RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus melarikan diri ke gunung cilik.

MBOK RONDO DADAPAN
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama Mbok Rondo dadapan. Mbok Rondho mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantikan Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika Mbok Rondho sedang bepergian, Roro Kembangsore menyetujui ajakan Joko Bodho, asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui persyaratan tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh mBok Rondho Dadapan.
Roro Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika Mbok Rondho pulang, ia mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah barat. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya Mbok rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu (Indonesia: anak dipanggil kok diam seperti batu)” . Seketika itu juga karena sabda Mbok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. Mbok Rondho menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.

RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya adalah Roro Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringin sehingga daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok, tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cantrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugas Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek

DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Roro Mursodo. Maka saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula tentang kematian Roro Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Mojopahit.

PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan Cuwiri. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Roro Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.

SITUS CANDI GAYATRI

Wednesday 11 August 2010


SITUS CANDI BOYOLANGU CANDI GAYATRI / CANDI GILANG

Candi Boyolangu merupakan kom,pleks percandian yang terdiri daritiga bangunan perwara. Masing – masing bangunan menghadap kebarat, candi diketumakan kemabali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar disbanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainya.
Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar dengan panjang dan lebar 11,40 M dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30M ( dengan mengambil sisi selatan ).
Didalambangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara ( Singhosari ) yang kemudian diwakili Raden Wijaya ( Majapahit ). Masa hidupnya Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi ) masa kerajaan majapahit dengan gelar Rajapadmi.
Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan rcaadalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah unpack pada bangunan perwara ini, sebanyak tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C ( 1369 M ) dan 1322 C ( 1389 M ). Dengan adanya umpak – umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpakpada umumnya sebagai penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak bangunan induk ( 1369 M, 1380 M ) maka diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ( 1359 M, 1389 M ). Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.
Banguan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.
Latar Belakang Sejarah
Candi ini ditemukan kembali padatahun 1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 1389 M ). Sumber lainya menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun padazaman majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk ( 1359 1389 M) dengan nama Prajnaparamitaputri ( Slametmulyana, 1979 ).
Menurut keterangan para ahli bangunan inimerupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat ikatakan sejaman. Sekitar 1km disebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.
Latar Belakang Budaya
Situs ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit.melihat pada Arca Pantheon Dewa dan wahananya,dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno,candi dikenal sebagai tempat pemujaan,temapat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai temnpat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Raja /Penguasa.
Fungsi candi persinggahan itu cukup menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiapbulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah – olah melingkarinya, terdapat situs – situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis disebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs – situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing – masing situs berkisar antara 2 – 4 km.

Masjid Tiban, Makam Aulia Sunan Kuning



Tidak banyak yang tahu siapa Sunan Kuning. Nama ini lebih dikenal sebagai tempat nista di Semarang. Sunan Kuning sebenarnya adalah Raden Mas Garendi, a.k.a Sunan Amangkurat III, salah satu raja dalam trah Kerajaan Mataram dan pecahan-pecahannya. Sunan Kuning termasuk murid Sunan Kalijaga, satu angkatan dengan Sultan Hadiwijaya (Pajang), Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Penjawi, dan Ki Juru Martani.
Tidak banyak yang tahu juga di mana makamnya. Ternyata makam Sunan Kuning ada di Ds. Macanbang, Kabupaten Tulungagung. Makamnya ada di belakang masjid yang dikenal orang sebagai Masjid Tiban. Namun demikian — tanpa bermaksud berprasangka buruk — seperti halnya makam-makam tua, tempat ini lebih banyak digunakan sebagai kegiatan syirik seperti pencarian nomor togel, wangsit, pusaka, dll.

Asal-Usul Nama-Nama Daerah di Tulungagung

Tuesday 10 August 2010
PERGURUAN PACET
Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
v Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
v Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
v Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
v Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.
v Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang.
v Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
v Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).

Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai Kasan Besari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.

KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Bedalem dan Pangeran Kalang, Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya. Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyiai Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi di situ. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “ngideri pari”. Kyai Becak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, yaitu Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan bala tentaranya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jasad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.

PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.

PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Roro Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Roro Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorang pun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Roro Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.Ia. dimakamkan di dsn. Kudusan desa Plosokandang. Tempatnya seltan balai desa Plosokandang kurang lebih 200 m, timur jalan. Warga sekitar biasa menyebut nama makam itu dengan sebutan makam Mbah Agung.

RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus melarikan diri ke gunung cilik.

MBOK RONDO DADAPAN
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama Mbok Rondo dadapan. Mbok Rondho mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantikan Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika Mbok Rondho sedang bepergian, Roro Kembangsore menyetujui ajakan Joko Bodho, asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui persyaratan tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh mBok Rondho Dadapan.
Roro Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika Mbok Rondho pulang, ia mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah barat. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya Mbok rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu (Indonesia: anak dipanggil kok diam seperti batu)” . Seketika itu juga karena sabda Mbok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. Mbok Rondho menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.

RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya adalah Roro Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringin sehingga daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok, tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cantrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugas Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek

DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Roro Mursodo. Maka saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula tentang kematian Roro Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Mojopahit.

PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan Cuwiri. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Roro Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.

Kisah MBAH KUMBANG PENGUKIR MASJID AGUNG DAN PENDOPO TULUNGAGUNG

Monday 9 August 2010

MBAH KUMBANG PENGUKIR MASJID AGUNG DAN PENDOPO TULUNGAGUNG



Di setiap kabupaten, tak terkecuali Kabupaten Tulungagung, pasti memiliki tokoh- tokoh lokal yang mempunyai jasa tertentu terhadap daerahnya. Tokoh tersebut biasanya diuri- uri (dilestarikan) keberadaannya oleh masyarakat sekitar dimana tokoh tersebut dimakamkan. Cara masyarakat melestarikan sang tokoh biasanya membangun, menjaga dan membersihkan makamnya. Ada kalanya mengenang semua peristiwa yang pernah dilakukan oleh sang tokoh kemudian diceriterakan secara lesan kepada generasi berikutnya. Bahkan tidak sedikit yang membuat cerita- cerita baru sekedar untuk meyakinkan kehebatan sang tokoh kepada orang lain.
Kalau kita sedang berada di lapangan Pasar Pahing (Lapangan Wira Mandala), barat terminal Tulungagung, di barat lapangan ada jalan ke utara. Berjalan ke utara sekitar 300 meter kemudian belok ke kanan 100 meter (ke timur) akan kita temukan sebuah makam kuno di dalam bangunan kecil di sebelah utara jalan. Makam tersebut adalah makamnya Mbah Kumbang.
Mbah Kumbang yang memiliki nama asli Imam Hambali tidak diketahui secara jelas asal usulnya dari mana. Nama Jawa beliau adalah Ki Mulyono. Beliau dimakamkan di Kelurahan Karangwaru Kecamatan Kota Tulungagung. Sampai saat ini makam Mbah Kumbang banyak dikunjungi oleh peziarah yang melakukan dzikir dan bacaan kalimat thoyyibah lainnya untuk mendoakan beliau. Sudah barang tentu kalau akan masuk ke makam Mbah Kumbang harus minta izin dahulu kepada Kaur Kesra (Modin) Kelurahan Karangwaru, karena yang memiliki tanggung jawab pemeliharaan makam Mbah Kumbang adalah Kelurahan Karangwaru yang secara teknis perawatannya diserahkan kepada Kaur Kesra dan Kaur Kesralah yang membawa kuncinya makam.
Mbah Kumbang oleh masyarakat Karangwaru dipercayai sebagai orang yang awal mula babat alas Karangwaru dan mengajar ngaji serta dakwah Islamiyah di Karangwaru dan sekitarnya sehingga Islam berkembang di Karangwaru sampai saat ini. Oleh sebab jasa beliau inilah makam Mbah Kumbang pernah dibangun oleh bapak H. Yamani dan sampai sekarangpun jika ada perbaikan makam keluarga bapak H. Yamani selalu dilibatkan. Beliau mendapat julukan (panggilan) Mbah Kumbang karena kalau tadarus (membaca) Al Qur’an atau berdoa suaranya gembremeng ( berdengung) seperti suara kumbang yang sedang terbang. Namun ada juga yang menyatakan beliau mendapat julukan Mbah Kumbang karena keahliannya membuat ukir- ukiran kayu. Mbah Kumbang kalau mengukir kayu , dalam membuat lekuk-an- lekuk-an (lengkung) , kedalaman pahatan, kerumitan, kehalusa dan tipenya mirip bagaikan se-ekor kumbang.
Sesuai daftar silsilah yang terdapat di makam Mbah kumbang, beliau keturunan ke 9 dari Ibrahim Asmarakundi. Silsilah tersebut lebih lengkapnya sebagai berikut:
1. Ibrahim Asmarakundi.
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel).
3. Syarifuddin (Raden Kosim/ Sunan Drajad)
4. Umayah
5. Anim
6. Djamus
7. Ma’ruf
8. Dja’far
9. Rohmat
10. Imam Hambali (Mbah Kumbang)
Jasa- jasa beliau disamping telah babat alas di Karangwaru dan berdakwah Islamiyah, beliaulah yang telah membuat hiasan berupa ukir- ukiran masjid Agung Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1847 pada masa kadipaten Ngrowo dijabat oleh RMT. Djajaningrat, Adipati (bupati) Ngrowo ke 5 (1831- 1855). Sekarang masjidnya dipindah di Dusun Gleduk Desa Gedangsewu Tulungagung, tepatnya di pondok pesantren almarhum bapak H. Mashuri. Mbah Kumbang, disamping telah membuat ukir- ukiran masjid Agung Tulungagung, beliaulah yang telah membuat ukir- ukiran pendopo Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1824 pada masa Kadipaten Ngrowo dijabat oleh RMT. Pringgodiningrat, Adipati (Bupati) Ngrowo ke 4 (1824- 1830) . Pendopo Kabupaten Tulungagung tersebut sekarang sudah mengalami beberapa kali renovasi dan diberi nama “ Kongas Arum Kusumaning Bongso”. Nama tersebut menunjukkan suryo sengkolo tahun pembuatan/ renovasi pendopo, yaitu kongas= 0, arum= 9, kusuma= 9 dan bomngso=1. Dibaca terbalik menjadi 1990 .M. Yang memberi nama pendopo dan alun- alun Tulungagung adalah Bapak Ema Kusmadi, budayawan Jawa Tulungagung.
Walaupun masa kehidupan Mbah Kumbang tidak dapat ditelusuri secara pasti; kapan lahir, kapan meninggal , kapan babat alas dan dengan siapa saja, siapa istrinya dan siapa anaknya, namun karena beliau orang yang telah membuat ukir- ukiran masjid dan pendopo Kabupatena Tulungagung, maka dapat dipastikan beliau hidup pada abad 18, antara tahun 1824 -1855 . Menurut penuturan Kaur Kesra Karangwaru yang diperoleh dari berita – berita masyarakat sebelumnya, semua alat- alat pertukangan dalam membuat ukir- ukiran pendopo maupun masjid ditanam dekat makam beliau, tepatnya di timurnya.
Ada cerita yang menyatakan bahwa Mbah Kumbang sangat akrab dengan Mbah Langkir yang makamnya ada di dekat masjid Desa Winong. Kalau dilihat tahun kehidupan antara Mbah Kumbang dengan Mbah Langkir memang berdekatan. Mbah langkir hidup di Kadipaten Ngrowo setelah perang Diponegoro ( 1825- 1830 ). Mbah Langkir salah seorang mantan prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar. Apalagi domisili Mbah Langkir ketika masih hidup di sekitar perempatan selatan alun- alun Tulungagung, dekat dengan desa Karangwaru tempat domisili Mbah Kumbang. Disamping itu keduanya sama- sama terkenal sebagai tokoh spiritual pada masanya.
mailto:dmosisboy@yahoo.co.id?subject=MBAHKUMBANG PEMBANGUN MASJID AGUG TULUNGAGUNGhttp://www.dmosisboy.blogspot.comNew Microsoft Office Word Document.docx

TELAGA BURET

Thursday 29 July 2010
Telaga BURET,Ds. Sawo,Kec.CAMPURDARAT

Salah satu telaga yang masih mampu mengeluarkan sumber air dari sungai bawah tanah walau smakin menyusut debet air yang dikeluarkan karena pengaruh iklim dan penggundulan hutan namun masih bisa untuk mengairi sawah dari sebagian tiga desa,meski bergilir yaitu ds,sawo,ngentrong dan Gedangan
Menurut kepercayaan yang menguasai ( mbau rekso) di telaga Buret adalah MbahDjiigangdjojo. Dalam cerita sebetulnya mbah Djigangdjojo itu juga seorang pangeran tetapi oleh sebab termasuk pangeran yang sudah tua, maka lazimnya orang-orang lalu menyebutnya mbah Djigangdjojo begitu saja.
Mungkin pengeran Djigangdjojo itu juga seorang pelarian yang tujuannya sama dengan Pangeran Benowo di Bedalem hanya tempatnya menepi di telaga Buret.
Mbah Djigangdjojo kesenangannya adu jago. Sampai sekarang ini masih dipercayai kalu mbah Djigangdjojo itu kalah jagonya, maka keadaan ikan-ikan di rawa-rawa kelihatan banyak sekali.
Mbah Djigangdjojo mempunyai 2 orang anak yang seorang bernama Sekardjojo tempatnya masih menjadi satu ditelaga Buret berkumpul dengan mbah Djigangdjojo, sedang yang seorang bernama Kembangsore bertempat dibawah dawuhan/jempatan desa Gedangan.
Keadaan telaga Buret sampai sekarang seakan-akan masih tampak keangkerannya. Tak ada yang berani mengambil ikan dari sekitar Telaga itu, karena menurut kepercayan kalu ada yang berani mengambil, akhirnya tidak antara lama pasti menderita/mendapat halangan.
Kecuali kalau ikan tadi sudah berada di dawuhan Malang, biarpun asalnya dari telaga Buret tetapi sudah bisa diambil oleh siapapun saja.
Bagi desa Sawo, Gedangan dan Ngentrong telaga Buret merupakan tempat yang dianggap keramat.
Tiga desa tersebut tiap 1 tahun sekali tepat pada bulan Selo, hari Jum’at Legi bersama-sama mengadakan ulu-ulu/slamatan disitu.
Menurut cerita bapak Kepala desa Gedangan (Moedjono) kalau setiap tahun desa-desa tadi tidak mengadakan ulur-ulur (slametan) ke telaga Buret itu, maka banyak terjadi halangan didesanya. Oleh sebab itu hingga sekarang tidak berani meninggalkan kebiasaan tersebut.
Kecuali itu telaga buret masih menjadi tempat menepi bagi orang-orang yang akan magang lurah, kedatangannya kesitu untuk mencari timbul. Sewaktu-waktu sudah berhasil/tercapai cita-citanya lalu mengadakan slametan/nyadran ke telaga tersebut.

PUSAKA KYAI UPAS

Friday 11 June 2010

Kyai Upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya ( kayu pegangannya) tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang di bawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat, putar dari Pangeran Notokoesomo di Pkalongan yang menjadi menanatu Sultan Jogyokarto kedua (Hamengku Buwono II) yang bertanda pada tahun 1792-1828, ialah ketika R.T. Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (tulungagung) sekarang. Di samping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam isltilah Jawa disebut "Kyai Jinggo Pengasih" berwujud 1 perangkat gamelan pelog-slendro yang diberi nama "Kyai Jinggo Pengasih" besrta satu kotak wayang purwa lenkap dengan kelirnya. Pusaka dan pengiring ini tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan di bekas rumah pensiunan bupati Pringgokoesomo, di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyrakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.
Sejak R.M. Tumenggung Pringgodaningrat pusaka tadi dipelihara baik-baik secara turun-temurun kepada R.M.Djajaningrat (Bupati ke V), lalu diturunkan kepada R.M. Adipati Somodiningrat (Bupati ke VI), kemudian diturunkan lagi kepada adiknya R.T. Gondokoesomo (Bupati Ngrowo VIII) dan selanjutnya diwariskan kepad adiknya ialah R.M. Tumenggung Pringgokoesomo (Bupati Ngrawo X). Setelah R.M. T Pringgokoesomo pensiun dalm tahun 1895 dan wafat tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Ayu ialah seorang janda, sedang hak temurunnya (hak waris) kepada putranya yang bernama R.M. Moenoto Notokosoemo seorang komesaris polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tanggan menantu R.M.T. Pringgokoesomo, yaitu R.P.A. Sosrodiningrat (Bupati Tulungagung XIII), dan sejak zaman Jepang di teruskan oleh saudaranya yang bernama R.A. Hadikoesomo. Setelah R.A. Hadikoesomo wafat, tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Moenoto Notokoesomo

RADEN JAYENG KUSUMO

Thursday 10 June 2010
Pada saat tahun 1878 Raden Mas Jayeng Kusumo bekerja menjadi Wedana di Srengat sebelah uataranya sungai Brantas. Karena ayah dan kakeknya pernah menjabat Bupati Ngarawa atau nama lain jaman dulu kabupaten Tulungagung.

BABAT DESA PECUK ,TULUNGAGUNG

Wednesday 9 June 2010



Daerah Pecuk dulu keadaannya rawa-rawa. DI sekitar rawa daratan berupa hutan belantara. Waktu masih rawa terdapat rombunan pohon yang banyak dihinggapi burung rawa-rawa. Burung tersebut berwarna hitam muali dari bulu, paruh, kaki dsb. Burung tersebut bernama burung Pecuk.. Burung Pecuk dikatakan sebagai burung rawa dikarenakan makanannya ikan yang berada di rawa-rawa. Beberapa selang waktu terus bergulir, daerah rawa dan hutan tersebut di babad atau di buka oleh beberapa orang dari luar daerah yaitu: 1. DREMO yang berasal dari BOGELAN Jawa Tengah ( sekarang MAGELANG) 2. DJOGOROTO yang bersal dari BAYAT Jawa Tengah 3. PAYIN yang berasal dari BOGELAN Jawa Tengah (sekarang MAGELANG) 4. DJOKRAPAK berasal dari PONOROGO Salah satu Pembabad tersebut yaitu PAYIN mendirikan langgar (mushola) yang sekarang tempat petilasan langgar tersebut menjadi tempat bangunan masjid jami’ dan madrasah IMAM MUCHYIDIN. Setelah PAYIN membangun langgar dan sudah jadi, malamnya kedatnagan seorang peria yang bernama IMAM MUCHYIDIN beliau adalah seorang prajurit dari kerajaan Mataram. Dan kedatnagan peria tersebut membuat PAYIN mendapatkan inisiatif untuk bermusyawarah degan teman-teman yang membabad dareah tersebut dan juga bersama IMAM mUCHYIDIN. Payin memusyawarhakan tentang situasi di daerah itu agar tidak sepi karena kanan kiri hutan dan rawa, dan Payin pun mempunyai ide untuk mengurangi kesepian di daerah itu melalui suatu kesenian yg bernuansa islami yang dinamakan SLAWATAN (sholawatan) atau Jedoran untuk menghilangkan rasa kantuknya. Kesenian tersebut sampai sekarang masih ada biasanya qt dpt menjumpai kesenian tersebut dimainkan pada saat bersih dasa atau maulud nabi di desa Pecuk. Pada bulan itulah kesenian jedoran harus diadakn bila mana kesenian itu diganti atau tidak diadakan hal yang terjadi secara langsung maupun tak langsung akan mendatangkan balak atau musibh malapetaka yang menimpa warga desa setempat. .

pelestarian sejarah kabupaten tulungagung

Sunday 18 April 2010

Di kabupaten Tulungagung banyak peninggalan bersejarah dan itu menceritakan sejarahnya kabupaten Tulungagung. Bangunan bersejarah itu sekarang keadaanya memprihatinkan dan tidak di perhatikan lagi oleh Pemkab Tulungagung, contohnya yaitu bangunan peninggalan masa belanda juga tak pernah terawat dan beda dengan kota-kota lainya meskipun peninggalan masa belanda bangunan itu sampai sekarang masih dipelihara dengan baik.Contoh yang tidak pernah mendapat perhatian dari pemkab Tulungagung antara lain : candi,goa dan museum dan tempat sejarah lainya. Daerah itu juga tak pernah di kunjungi dari pemkab setempat.
Powered by Blogger.