DONGENG MBOK SRI SEDANA

Sunday 13 November 2011
Mbok Sri Sedana itu seorang perempuan tidak mempunyai suami, tetapi bisa hamil dan mempunyai anak। Jadi orang jawa kalau mempunyai hajat dan di doai atau istilahnya di kajatkan itu sebenarnya hanya mengenang Mbok Sri Sedana tidak bersama Joko Sedana; jadi Jaka Sedana itu tidak ada sebenarnya.
Zaman dahulu mbok Sri Sedana itu seorang perempuan sejati; mau dinikahi orang yang kaya, bagus, tinggi besar, gagah perkasa tidak mau. Maunya nikah kalau yang menikahi itu orang sedunia. Terus orang yang mau menikahi tersebut benci, mau tidak mau harus mau dipersunting. Mbok Sri Sedana lalu pergi berlari- lari sampai hutan, namun tetap tidak mau dinikahi. Kemudian orang yang suka terhadap mbok Sri tadi mau membunuh mbok Sri Sedana, akhirnya tewas di hutan.
Setelah tewas rambutnya mbok Sri sedana tumbuh jadi tumbuhan gembili, susunya tumbuh jadi padi, perutnya tumbuh jadi ubi merah, ubi putih. Pahanya tumbuh jadi ketela; setelah keprawananya tumbuh jadi gadhung. Kemudian orang yang makan gadhung pasti ketagihan sebabnya meskipun suka atau kecanduan gadhung tadi rasanya nikmat baget………

=====================

Ki Ageng Selo

Friday 11 November 2011



Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja – raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki – laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkimpoian antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kimpoi dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja – raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 – 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja – raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek – kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kimpoi dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja – raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja – raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja – raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak – arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing – masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data – data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja – raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa – sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber – sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam – makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam – makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata – rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

Babad Mataram2

Di Jawa bagian tengah nama Mataram sama sekali bukan nama yang asing bagi masyarakatnya. Bahkan nama itu di di abadikan menjadi nama dua kerajaan besar di masanya masing-masing. Mataram-Hindu di abad kedelapan serta Mataram Islam diawal abad ke enam belas.
Walau terpisah rentang waktu yang cukup lama kedua kerajaan itu memberi warna yang sangat kenthal bagi perkembangan masyarakat kontemporer kita.
Mataram Islam
Cerita Mataram Islam dimulai dari kerajaan Demak diakhir masa Lintang Trenggana yang compang-camping akibat krisis politik. Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang berontak karena merasa lebih berhak atas tahta Demak dibanding Jaka Tingkir yang notabene hanya anak menantu Trenggana. Konflik itu akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir yang kemudian mendirikan kasultanan Pajang.
Kemenangan ini tak lepas dari peran Sutawijaya alias Karebet anak dari Ki Ageng Pemanahan. Dia berhasil membunuh Aria Panangsang, dan memantapkan posisi Jaka Tingkir yang kelak bernama Sultan Hadiwijaya.
Ada ubi ada talas ada budi ada balas, begitu peribahasanya. Atas jasanya Sultan Pajang menghadiahinya sebidang tanah luas, berupa kawasan yang disebut Hutan Mentaok/alas Mentaok (Kothagede). Kawasan ini kelak, setelah dibuka, dinamai Bumi Mataram dan masih merupakan wilayah Pajang.
Alas Mentaok atau hutan mentaok tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai hutan belantara, dan pembukaannya tidak semata-mata dilakukan dengan merubuhkan pohon dan meratakan tanah saja. Karena sejatinya di Mentaok masih ada sebuah kedaton, atau kerajaan kecil yang justru tunduk pada sisa-sisa Majapahit yang jelas-jelas Hindu dan bukan tunduk ke Pajang yang Islam. Kedaton itu sendiri memang sudah bernama Mataram.
Jadi pemberian alas Mentaok kepada Sutawijaya bukan dimaknai pemberian gratis. Tetapi lebih merupakan perintah Hadiwijaya untuk melebarkan kekuasaaanya ke selatan yang selama itu telah gagal dilakukan Demak dan Pajang.
Waktu itu, singgasana kedaton Hutan Mataram ini diduduki seorang ratu, yang bergelar Lara Kidul Dewi Nawangwulan. Dia adalah lahir dari dinasti Buda Kalacakra (Tantrayana), Maharani (Kaisarina) Suhita dengan suami sang Aji Ratna Pangkaja, raja Tanah Malayu.
Si Lara Kidul diambil menantu Brawijaya (Bre Wengker: 1456-66), dan dijodohkan dengan Raden Bondan Kejawan alias Kidang Telangkas, putra hasil perkimpoian nya dengan Wandan Bodricemara. Ratu Kedaton Mataram berikut nya ialah Dewi Nawangsih, putri Dewi Nawangwulan dengan Bondan Kejawan. Ratu penerus Nawangsih yaitu Ni Mas Ratu Angin Angin.
Atas kemauan Sultan Adiwijaya, Ni Mas Ratu Angin Angin diperistrikan dengan Sutawijaya, putra angkat nya itu. Adiwijaya berharap Sutawijaya dan keturunan nya kelak dapat menjadi penerus Pajang, dan kuat mengemban “Wahyu Majapahit”. Mengingat bahwa darah Majapahit mengalir dalam diri Ni Mas Ratu Angin Angin.
Apakah suksesi Majapahit-Hindu ke Pajang-Islam dengan model ini cukup dan bisa diterima?
Legitimasi formal Sutawijaya memang menjadi mantap ketika di Pajangpun konflik politik pecah. Anak Hadiwijaya, Pangeran Benowo yang merupakan pewaris Pajang di kudeta oleh Aryo Pangiri adipati Demak. Merasa terdesak Benowo meminta bantuan Sutawijaya di Mataram. Setelah berhasil mengalahkan Aryo Pangiri Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya.
Bagaimana dengan masyarakat awam Mataram-Hindu? Apakah mereka mau begitu saja menerima dominasi orang utara yang nota bene Islam? Awam hanya akan menerima sebuah penundukan bila panakluk bisa membunuh keinginan awam untuk berontak. Dan lazimnya penakluk kemudian menampilkan kengerian dan ketakutan untuk melegitimasi kekuasaanya.
Bagi masyarakt agraris jawa seperti daerah Mataram waktu itu, laut selatan mengambil bentuk yang sangat berbeda dengan laut utara jawa. Bila laut utara tenang dengan ombak yang sepoi-sepoi dan pantainya yang datar. Maka laut selatan sama sekali mengambil bentuk yang berbeda. Dengan ombak yang bahkan bila musim barat datang tingginya bisa mencapai dua meter atau lebih. Di beberapa tempat seperti pantai Gunungkidul atau Karangbolong pantainya berupa tebing karang yang curam. Hingga sepanjang sejarah jawa laut selatan selalu mejadi cermin ketakutan bawah sadar masyarakat Jawa dan merupakan pembatasnya dengan dunia luar.
Sebagai seorang pemimpin yang telah kenyang berkonflik Sutawijaya –yang setelah menjadi sultan menyebut dirinya Panembahan Senopati- tahu betul kondisi psikologi itu. Dan penaklukanya terhadap pikiran jawa di mulai dengan cerita-cerita babad yang menampilkan superioritas dirinya dan anak keturunannya di kemudian hari.
Dari sinikah kemudian dongeng tentang Ratu Kidul di mulai. Laut selatan dengan wajah kejam pengambilnya di identikan dengan seorang ratu jin yang berkuasa di kedalam laut, lengkap dengan kemegahan istana dan semua struktur pemerintahannya. Ratu kidul secara tepat di gambarkan dalam dongeng-dongeng itu sebagai sebuah kekuasaan yang berada di luar dimensi awam jawa. Dan Sutawijaya secara cerdik memanfaatkan ketakutan-ketakutan awam akan Ratu Kidul ini menjadi kekuatan legitimasi terhadap pemerintahannya terhadap Mataram.
Babad Alas Mentaok
Periode babat alas Mentaok adalah periode paling rawan dalam proses legitimasi ini. Sehingga Sutawijaya mesti mengadopsi cerita babad alas Wanamarta oleh Pandawa dan di modifikasi sesuai kepentingannya. Untuk masyarakat hindu waktu itu cerita ini sudah di hapal luar kepala. Dalam babad alas Wanamarta Pandawa harus menghadapi sekeluarga raja Jin. Ketika para jin itu bisa dikalahkan dan manjing/menyatu dengan Pandawa, Pandawa mempunyai modal menghadapi Kurawa. Modal itu berupa negara Atmartha.
Dalam babad alas Mentaok itu yang dihadapi oleh Pandawa juga di hadapi oleh Sutawijaya. Mentaok di huni oleh Raja Jin bernama Jalumampang alias Jathamamrang. Merasa kesulitan mengalahkannya, Sutawijaya lalu mesuraga/semedhi di laut selatan. Dalam semedhinya dia lalu di datangi oleh Ratu Kidul yang terpikat oleh ketampanannya. Lalu deal politikpun tercapai, Ratu Kidul akan membantu melawan Jalumampang asal Sutawijaya dan keturunannya mau menjadi suami dari si Ratu. Ibarat pucuk dicinta ulampun tiba, Sutawijaya lansung deal dan kontrakpun di teken. Singkat cerita Jalumamphang kalah dan terusir ke puncak Merapi dan Sutawijaya sukes membuka hutan Mentaok.
Dengan cerita tersebut praktis bawah sadar Majapahit-Hindu telah di kalahkan secara permanen. Karena Ratu Kidul juga merupakan istri bagi raja-raja Mataram berikutnya. Dan cerita tersebut sangat efektif untuk mengancurkan keinginan berontak awam jawa terhadap penguasanya. Bagaimana mungkin awam jawa akan berani berontak bila Tuhan dan Jin bahkan bersekutu dibelakang penguasa. Dengan gelarnya yang panotogomo Panembahan Senapati telah berhasil memikat Tuhan.
Mataram Hindu
Peninggalan terbesar kerajaan Mataram-Hindu yang sampai sekarang tidak bisa dinilai harganya adalah toleransi antar umat beragama. Diperintah oleh dua wangsa yang berbeda wangsa Sanjaya yang Hindu dan wangsa Syailendra yang Budha perbedaan keyakinan tak membuat keduanya saling bunuh. Keduanya berkuasa dan berdampingan secara damai.
Berbicara tentang Mataram kuno tidak akan afdol tanpa membicarakan Borobudur. Borobudur memberikan kepada kita potret yang utuh akan kemajuan arsitektur di masa itu. Borobudur sebagai sebuah nama mungkin tak akan ditemui padanannya sekarang ini. Tetapi dulu nama itu diyakini berasal dari kata Sambharabhudhara, yang kurang lebihnya berarti “gunung” (bhudara) dengan lerengnya yang berteras. Atau lengkapnya Bhumisambharabhuddhara yang berarti “Gunung himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva“.
Arti yang lebih dekat juga bisa di runut dari kata “bara” dan “beduhur”. Bara berasal dari kata vihara, atau menurut bahasa sanksekerta bara berarti kompleks candi atau biara dan beduhur berarti “tinggi”. Para ahli boleh bersilang pendapat soal nama itu, tetapi menurut etimologi rakyat borobudur berasal dari lafal “para Budha” yang karena sering terpelesetnya lidah Jawa kata itu berubah menjadi borobudur.
Bentuk dasar candi berukuran 123×123 meter, bertingkat 6 berbentuk bujur sangkar dan 3 tingkat ke atasnya berbentuk lingkaran dan ditutup dengan sebuah stupa besar. Bahan dasar batu diambil dari sungai, dipahat, dibentuk kubus dengan sistem kunci coakan dan sengkedan. Sebagai struktur sebuah bukit –katanya puncak bukit– menjadi tempat penyusunan batu-batu tersebut. Total batu struktur dan termasuk reliefnya –seluas 2.500m2– menghabiskan sekitar 55.000m3. Sistem drainase menjadi penting, terutama saat musim hujan di mana curah hujan daerah tropis sangat tinggi, tetesan air hujan bisa mengalir deras dari puncak hingga ke bawah. Di tiap tingkat, di setiap sudutnya dibuat 100 lubang air dalam bentuk patung-patung yang unik.
Borobudur menjadi di kenal dijaman kontemporer tak lepas dari peran Raffess. Tahun 1814 ketika tanah Jawa masih berupa perawan molek yang diperebutkan Inggris dan Belanda, Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles yang saat itu kebetulan berkunjung ke Semarang mendapat laporan ada bukit yang penuh dengan relief.
Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-susunan batu candi yang berserakan.
Pekerjaan membersihkan dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.
Tapi jauh sebelum itu, ditempat yang persis sama Samaratungga anak Indra dari wangsa Syalendra memerintahkan kepada arsiteknya, Gunadarma untuk membangun sebuah candi besar candi yang kelak akan mengabadikan namanya dan nama wangsanya. Ya..Samaratungga keturunan Syailendra si pembuat candi yang agung.
Yang akan di buat oleh Gunadharma bukan hanya sebuah candi raksasa umtuk ritual-ritual Mahayana saja, tetapi juga sebuah maha kitab dari batu yang akan membuat untuk membuat ajaran-ajaran Buddha tersajikan secara visual, dan di pelajari sepanjang masa. Selain itu, Gunadarma juga ingin memberi sugesti tentang kehadiran Budha Sakyamuni di Borobudur karena hanya dengan kesaktiannya orang baru mampu melihat bangunan ini.
Ya.. Gunadharma dengan bijak menggambarkan secara jelas sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Sebagai sebuah tingkat paling dasar sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu sekaligus digunakan oleh Gunadarma untuk memperkuat konstruksi candi. Disini Gunadarma sekaligus juga menempatkan 120 panel cerita Kammawibhangga.
Empat lantai diatasnya Rupadhatu, dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Inilah Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Lantainya sudah berbentuk lingkaran dan dipralambangkan sebagai alam atas. di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang bak kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Polos tanpa lubang-lubang. Didalamnya oleh Gunadarma diletakanlah penggambaran sang Adibuddha.
Membandingkan dua peninggalan dari kedua Mataram itu tidaklah lengkap bila tidak ditambah dengan satu peninggalan lagi dari Mataram-Islam, yakni penjajahan kolonial. Setelah Panembahan Senopati mangkat penggantinya adalah Mas Jolang alias Panembahan Hanyokrowati yang kemudian mati ketika sedang berburu di Krapyak. Tahta beralih tangan anak ke empatnya Adipati Martoputra yang ditenggarai gila. Hingga tak lama kemudian tahta diambil alih oleh Mas Rangsang anak tertua Hanyokrowati. Mas Rangsang ini lah yang kemudian di kenal sebagai Sultan Agung Hanyokrowati. Bila Mas Rangsang ini dikenal dengan keberaniannya melawan VOC maka penggantinya Amangkurat I dan Amamngkurat II tak lebih dari para penjilat pantat VOC yang patuh. Di tangan merekalah kemudian Mataram diserahkan kepada VOC. Hingga akhirnya perjanjian Giyanti akhirnya menamatkan riwayat Mataram dengan dipecahnya Mataram menjadi dua negara kecil.
Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Jogja, kasunanan dan Kasultanan bukanlah kerajaan dalam arti yang sesungguhnya karena secara militer dan politik mereka mandul dan lebih banyak di gunakan sebagai kepanjangan tangan Hindia Belanda. Melalui berbagai macam kapitulasi pemimpinnya akhirnya dua kerajaan tersebut tak lebih dari sekedar pertunjukan akan romantisme kebesaran jawa dimasa lalu. Dan rakyatnya di umpankan kepada perihnya imperialisme dan kapitalisme dikemudian hari sampai sekarang.
Warisan terbesar Mataram-Islam adalah sistem pemerintahan yang feodal yang dibelakang hari kemudian di praktekan oleh penguasa jawa kontemporer seperti Sukarno dan Suharto. Mereka berdua menerapkan sistem patron-klien dalam hirarki pemerintahannya. Bahkan Suharto mencontoh persis kelakuan Panembahan Senopati yang gemar membangun mitos-mitos di sekitarnya.

DAERAH TULUNGAGUNG PADA JAMAN PRA – SEJARAH

Menurut pengertian umum yang dimaksud dengan jaman pra – sedjarah adalah jaman di mana belum ada hasil – hasil kebudayaan yang berisikan tulisan yang dapat digunakan untuk pengetahuan sedjarah mengenai jaman itu. Dalam perbatasan waktu, zaman pra – sejarah ini terbentuknya bumi, mulai timbulnya tumbuh–tumbuhan, hewan dan manusia.
Dalam tulisanini sekedar akan kami petikkan kesimpulan-kesimpulan sedjarah terbentuknya bumi untuk mengetahui betapa tuanya sebagian dari daerah Tulungagung ini, dibedakan menjadi empat zaman, yaitu:
1. Zaman tertua ( Arcahaesum).
2. Zaman hidup tertua ( Pala cozoisum)- disebut juga jaman pertama (primair).
3. Zaman hidup pertengahan ( mesozeicum)- disebut pula jaman kedua ( sekundair).
4. Zaman hidup baru (neo zoisum) – jaman ini dibagi lagi menjadi dua yaitu, Jaman ketiga (tertier) dan jaman keempat (quartir).
Pada zaman ketiga (tertiair) bentuk kepulauan Indonesia hanya merupakan deretan pulau-pulau kecil yang sekarang merupakan pegunungan-pegunungan yang membujur dari Sumatra, Jawa, Musa tenggara, Maluku dan membelok ke Sulawesi. Di bagian tengah: dari semenanjung Malaka, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, melalui laut Jawa membelok ke Kalimantan Selatan.Dan sebagian yang paling utara berupa pegunungan-pegunungan Kwenlun di Kalimantan. Selama akhir jaman ketiga dan terus berlangsung pada sebagian jaman keempat, terjadi perubahan-perubahan yang hebat sekali. Di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi pula gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita.
Perubahan–perubahan tersebut di perkirakan mulai ½ juta tahun yang lalu.Dari uraian-uraian di atas dapatlah kami kemukakan bahwa terbentuknya daratan-daratan pegunungan gamping di bagian selatan Pulau Jawa yang membujur dari Jawa tengah sampai Jawa Timur,terjadi pada masa ± ½ juta tahun yang lampau.Hal ini berarti bahwa bagian selatan daerah Tulungagung,yang menjadi sebagian sumber perekonomian daerah ini,merupakan bagian tanah tyang cukup tua umumnya , dengan hasilnya batu kapur, batu marmer.Daerah ini dalam perkembanganya ternyata mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan sejarah Tulungagung.






Salah satu Goa Manusia Purba di Tulungagung yang di eksplorasi
Pada zaman keempat terjadilah zaman empat kali zaman es,di mana saat-saat demikian sebagian air di lautan tertarik utara dan selatan .Akibatnya adalah laut-laut yang dangkal menjadi kering,termasuk pula laut Jawa.Jawa pada saat itu menjadi daratan yang luas,sehinga pulau Jawa,Sumatra,Semenanjung Malaka menjadi satu daratan asia.Selama zaman es ini daerah katulistiwa tidak mengalami adanya es,tetapi yang di alami adalah musim hujan yang lama sekali.Pada zaman es / zaman keempai ini pulalah mulai ada tanda-tanda makluk yang mempunyai sifat-sifat kemanusiaan,tetapi bentuk tubuhnya masih menyerupai kera-kera besar.Makluk-makluk semacam ini di sebut manusia kera ( pitecantropus).Dan para sarjana berpendapat bahwa pada saat-saat terjadinya zaman-zaman es,daerah itu dingin sekali hawanya,sehinga binatang-binatang dan manusia berpindah menuju kea rah selatan,ke daerah katulistiwa. Di antara manusia-manusia kera itu ada yang sampai di Indonesia. Dan terbukti situs-situs keramgkanya yang telah membatu banyak di temukan di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan menurut penyelidikan jenis manusia-kera yang tertua di dunia situsnya juga diketemukan di daerah ini. Di daerah Tulungagung, yaitu di daerah Wajak pada tahun 1989 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, yang oleh para ahli digolongkan jenis manusia cerdas (Homosapiens). Tengkorak “ manusia Wajak”(homowajakensis) ini ternyata ada persamaan-persamaannya dengan tengkorak suku bangsa asli di Australia. Karena itu di perkirakan homowajakensis ini merupakan nenek moyang suku bangsa asli di Australia.
Hal lain yang mencolok mengenai manusia wajak ini, bahwa jenis manusia ini sudah menunjukkan ketinggian peradapannya di banding jenis-jenis manusia sebelumnya, yaitu dia sudah ditanamkan (dikubukan). Pada hal dalam kehidupan prasejarah masa-masa berikutnya, sitem penguburan itu baru dikenal sesudah manusia mengalami proses perkembangan berates-ratus tahun lamannya, yaitu pada zaman batu muda (neoliticum) yang sudah lama lewatnya dari zaman Es-akhir
Dasar-dasar penguburan erat sekali dengan kepercayaan yaitu merupakan usaha melindungi roh-roh dari gangguan alam atau binatang buas. Maka dari itu kalau memang benar Homo-wajakensis itu sudah mengenal penguburan, berarti pula mereka sudah mengenal usaha melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan hidupnya, mendirikan tempat-tempat tinggal atau berlindung di dalam goa-goa untuk menghindari keganasan alam dan binatang buas. Dalam hubungan ini tidak mustahil bila goa-goa yang terdapat di daerah wajak dahulu juga merupakan tempat tinggal manusia-manusia seperti Homowajakensis itu.






Fosil Homowajakensis yang disimpan di muesium bandung Jawa Barat
Goa-goa tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sedjarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni-penghuni goa itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan.
Dareh Wajak relative tidak jauh dari rawa-rawa yaitu: Rawa Bening Bedalem.Kemungkinan besar memang rawa ini merupakan yang terjadisemasa tengah terjadinya Gunung Gamping didekatnya.
Mengenai rawa ini di dalam cerita-cerita rakyat banyak disebut dalam hubungannya dengan daerah wajak dan daerah sekitarnya.Hal ini juga merupakan bukti bahwa daerah ini adalah daerah penting yang sangat di kenal sehingga secara turun temurun namanya diabadikan dalam bentu dongeng atau cerita rakyat. Sudah jelas bahwa daerah Tulungagung selatan pernah dihuni manusia-manusia purba yang kemungkinan menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang masih hidup sampai sekarang. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia-manusia yang tinggal di daerah ini merupakan manusia-manusia keturunan Wajakensis. Bangsa Indonesia sekarang (termasuk penduduk kota Tulungagung) adalah bangsa-bangsa yang nenek moyangnya berasal dari daerah Cina Selatan dan sebelumnya pindah ke Indonesia mereka telah lama tinggal di daerah Indocina. Sejak ± tahun 2000 Sm barulah mereka berpindah ke Indonesia. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ±th. 500SM.
Bangsa ini di Indonesia kemudian menyebar ke berbagai kepulauan di tanah air kita yang berjauhan letaknya. Akibatnya terjadi adat kebiasaan, kebudayaan dan bahasa yang digunakannya beragam. Oleh sebab itu, lambing Negara yang ada semboyan adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini tepat sekali untuk menggambarkan keragaman bangsa kita yang sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang sama itu.








Pabrik Marmer di Tulungagung Selatan di Pegungungan gamping Wajak, Besole

Suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia ini dibedakan menjadi dua golongan, yaitu suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) dan Suku Bangsa Melayu Muda atau neo-Melayu. Yang termasuk suku bangsa-Melayu Tua antara lain Suku Batak Karo (sebagian),Dayak, Toraja. Sedangkan yang termasuk Suku bangsa Melayu Muda antara lain Suku Bangsa Jawa, Madura, Bali, Banjar dan sebagainya.
Bagaimana persebarannya lebih lanjut nenk moyang kita di daerah Tulungagung ini, kita tidak menemukan keterangan-keterangan sedikitpun. Tetapi jelas sisa-sisa kebudayaan rohaninnya, terutama mengenai kepercayaannya, sampai sekrang masih dapat kita lihat hidup kuat di daerah kita ini. Sisa-sisa keprcayaan itu yang di sebut Dinamisme dan Animisme.
Dinamisme:kepercayaan mengenai adanya kekuatan gaib serta pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat. Sedangkan
Animisme :
Kepercayaan terhadap adanya roh-roh dan peranannya di dalam kehidupan masyarakat. Sisa-sisa kepercayaan dinamisme dan animisme tidak hanya di Tulungagung saja, tetapi bias dikatakan masih hidup kuat di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, walaupun wujudnya sudah merupakan gabungan dengan kebudayaan/kepercayaan baru yang pernah berpengaruh pada masyarakat Indonesia pada sepanjang sejarahnya.
Contoh-contoh yang jelas mengenai sisa-sisa kepercayaan kuno semacam itu yang masih hidup di daerah Tulungagung, yaitu kepercayaan akan kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka yang berwujud Tombak. Tombak ini yang dikenal dengan nama atau sebutan “Kyai Upas”. Kini pusaka ini disimpan dan dipelihara di bekas rumah pensiunan salah seorang Bupati Tulungagung, tepatnya di desa Kepatihan. Pusaka ini menurut kepercayaan masyarakat Tulungagung umumnya, dapat menimbulkan malapetaka: banjir, wabah penyakit dan sebagainya bila dipindahkan dari Tulungagung atau kurang diperhatikan pemeliharanya. Kepercayaan terhadap pusaka tersebut tidak lain berkisar pada kesakitan yang ada pada benda itu. Kesaktian semacam ini di dalam Ilmu kebudayaan disebut “MANA”. Suatu benda yang ber “MANA” besar, dapat mempunyai kekuatan luar biasa dapat menghindari mala-petaka yang akan menimpa keluarga yang memiliki atau menyimpan pusaka tersebut.
Di dalam kepercayaan dinamisme ada anggpan bahwa semua benda, semua bagian-bagian anggota badan mempunyai MANA. Berkurangnya bagian benda atau bagian badan tertentu, menyebabkan berkurangnya MANA benda atau badan itu sendiri, bila bagian benda/badan yang berkurang itu memperoleh tambahan MANA. Sehubungan dengan kepercayaan inilah timbul Black Magic (Sihir Hitam) seperti jengges, tenung dan sebagainya yang menggunakan bagian-bagian dari benda/badan yang akan menjadi sasaran sihir tersebut sebagai alat untuk menjalankan tujuan-tujuan jahatnya. Di samping itu, pelaksanaan ilmu sihir tentu memerlukan bantuan roh-roh halus untuk menjalankannya.
Kepercayaan mengenai sihir ini di daerah Tulungagung juga masih hidup dalam tata kehidupan masyarakat. Bagi warga Tulungagung daerah yang dikenal sebagai daerah tukang sihir diantarannya adalah daerah Wajak.
Juga erat hubungannya dengan animisme ialah kepercayaan di daerah Tulungagung yang mempercayai kota ini dijaga oleh roh-roh halus yang dikenal dengan sebutan “Mbah DJIGANGJOJO” dan “Mbah TJLUNTJANGDJOJO”
Powered by Blogger.