Asal-Usul Nama-Nama Daerah di Tulungagung

Saturday 21 August 2010



PERGURUAN PACET
Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
v Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
v Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
v Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
v Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.
v Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang.
v Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
v Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).

Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai Kasan Besari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.

KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Bedalem dan Pangeran Kalang, Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya. Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyiai Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi di situ. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “ngideri pari”. Kyai Becak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, yaitu Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan bala tentaranya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jasad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.

PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.

PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Roro Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Roro Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorang pun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Roro Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.

RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus melarikan diri ke gunung cilik.

MBOK RONDO DADAPAN
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama Mbok Rondo dadapan. Mbok Rondho mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantikan Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika Mbok Rondho sedang bepergian, Roro Kembangsore menyetujui ajakan Joko Bodho, asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui persyaratan tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh mBok Rondho Dadapan.
Roro Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika Mbok Rondho pulang, ia mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah barat. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya Mbok rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu (Indonesia: anak dipanggil kok diam seperti batu)” . Seketika itu juga karena sabda Mbok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. Mbok Rondho menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.

RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya adalah Roro Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringin sehingga daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok, tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cantrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugas Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek

DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Roro Mursodo. Maka saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula tentang kematian Roro Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Mojopahit.

PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan Cuwiri. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Roro Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.

SITUS CANDI GAYATRI

Wednesday 11 August 2010


SITUS CANDI BOYOLANGU CANDI GAYATRI / CANDI GILANG

Candi Boyolangu merupakan kom,pleks percandian yang terdiri daritiga bangunan perwara. Masing – masing bangunan menghadap kebarat, candi diketumakan kemabali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar disbanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainya.
Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar dengan panjang dan lebar 11,40 M dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30M ( dengan mengambil sisi selatan ).
Didalambangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara ( Singhosari ) yang kemudian diwakili Raden Wijaya ( Majapahit ). Masa hidupnya Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi ) masa kerajaan majapahit dengan gelar Rajapadmi.
Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan rcaadalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah unpack pada bangunan perwara ini, sebanyak tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C ( 1369 M ) dan 1322 C ( 1389 M ). Dengan adanya umpak – umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpakpada umumnya sebagai penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak bangunan induk ( 1369 M, 1380 M ) maka diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ( 1359 M, 1389 M ). Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.
Banguan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.
Latar Belakang Sejarah
Candi ini ditemukan kembali padatahun 1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 1389 M ). Sumber lainya menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun padazaman majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk ( 1359 1389 M) dengan nama Prajnaparamitaputri ( Slametmulyana, 1979 ).
Menurut keterangan para ahli bangunan inimerupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat ikatakan sejaman. Sekitar 1km disebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.
Latar Belakang Budaya
Situs ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit.melihat pada Arca Pantheon Dewa dan wahananya,dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno,candi dikenal sebagai tempat pemujaan,temapat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai temnpat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Raja /Penguasa.
Fungsi candi persinggahan itu cukup menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiapbulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah – olah melingkarinya, terdapat situs – situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis disebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs – situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing – masing situs berkisar antara 2 – 4 km.

Masjid Tiban, Makam Aulia Sunan Kuning



Tidak banyak yang tahu siapa Sunan Kuning. Nama ini lebih dikenal sebagai tempat nista di Semarang. Sunan Kuning sebenarnya adalah Raden Mas Garendi, a.k.a Sunan Amangkurat III, salah satu raja dalam trah Kerajaan Mataram dan pecahan-pecahannya. Sunan Kuning termasuk murid Sunan Kalijaga, satu angkatan dengan Sultan Hadiwijaya (Pajang), Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Penjawi, dan Ki Juru Martani.
Tidak banyak yang tahu juga di mana makamnya. Ternyata makam Sunan Kuning ada di Ds. Macanbang, Kabupaten Tulungagung. Makamnya ada di belakang masjid yang dikenal orang sebagai Masjid Tiban. Namun demikian — tanpa bermaksud berprasangka buruk — seperti halnya makam-makam tua, tempat ini lebih banyak digunakan sebagai kegiatan syirik seperti pencarian nomor togel, wangsit, pusaka, dll.

Asal-Usul Nama-Nama Daerah di Tulungagung

Tuesday 10 August 2010
PERGURUAN PACET
Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
v Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
v Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
v Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
v Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.
v Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang.
v Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.
v Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).

Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai Kasan Besari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat pesamuan.
Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Pangeran Lembu Peteng.

KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Bedalem dan Pangeran Kalang, Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.
Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya. Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyiai Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.
Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang berlari itu. Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara kandung ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi di situ. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Becak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “ngideri pari”. Kyai Becak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.
Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, yaitu Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Majapahit. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Majapahit bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan bala tentaranya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jasad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Majapahit diberi nama Kali Lembu Peteng.

PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran Kalang.
Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.

PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT
Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Roro Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Roro Inggit dan Retno Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya itu membahayakan dirinya.
Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorang pun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke belakang. Roro Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.Ia. dimakamkan di dsn. Kudusan desa Plosokandang. Tempatnya seltan balai desa Plosokandang kurang lebih 200 m, timur jalan. Warga sekitar biasa menyebut nama makam itu dengan sebutan makam Mbah Agung.

RORO INGGIT BUNUH DIRI
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus melarikan diri ke gunung cilik.

MBOK RONDO DADAPAN
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama Mbok Rondo dadapan. Mbok Rondho mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantikan Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak dengan halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka pada suatu hari ketika Mbok Rondho sedang bepergian, Roro Kembangsore menyetujui ajakan Joko Bodho, asalkan Joko Bodho mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui persyaratan tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh mBok Rondho Dadapan.
Roro Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika Mbok Rondho pulang, ia mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah barat. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya Mbok rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu (Indonesia: anak dipanggil kok diam seperti batu)” . Seketika itu juga karena sabda Mbok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. Mbok Rondho menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.

RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya adalah Roro Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO.
Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut! Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringin sehingga daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok, tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.
Setelah cantrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugas Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.
Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.
Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek

DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Roro Mursodo. Maka saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula tentang kematian Roro Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya. Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Mojopahit.

PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan Cuwiri. Meskipun telah terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada kembali ke Majapahit.
Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas pertapaan Roro Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.

Kisah MBAH KUMBANG PENGUKIR MASJID AGUNG DAN PENDOPO TULUNGAGUNG

Monday 9 August 2010

MBAH KUMBANG PENGUKIR MASJID AGUNG DAN PENDOPO TULUNGAGUNG



Di setiap kabupaten, tak terkecuali Kabupaten Tulungagung, pasti memiliki tokoh- tokoh lokal yang mempunyai jasa tertentu terhadap daerahnya. Tokoh tersebut biasanya diuri- uri (dilestarikan) keberadaannya oleh masyarakat sekitar dimana tokoh tersebut dimakamkan. Cara masyarakat melestarikan sang tokoh biasanya membangun, menjaga dan membersihkan makamnya. Ada kalanya mengenang semua peristiwa yang pernah dilakukan oleh sang tokoh kemudian diceriterakan secara lesan kepada generasi berikutnya. Bahkan tidak sedikit yang membuat cerita- cerita baru sekedar untuk meyakinkan kehebatan sang tokoh kepada orang lain.
Kalau kita sedang berada di lapangan Pasar Pahing (Lapangan Wira Mandala), barat terminal Tulungagung, di barat lapangan ada jalan ke utara. Berjalan ke utara sekitar 300 meter kemudian belok ke kanan 100 meter (ke timur) akan kita temukan sebuah makam kuno di dalam bangunan kecil di sebelah utara jalan. Makam tersebut adalah makamnya Mbah Kumbang.
Mbah Kumbang yang memiliki nama asli Imam Hambali tidak diketahui secara jelas asal usulnya dari mana. Nama Jawa beliau adalah Ki Mulyono. Beliau dimakamkan di Kelurahan Karangwaru Kecamatan Kota Tulungagung. Sampai saat ini makam Mbah Kumbang banyak dikunjungi oleh peziarah yang melakukan dzikir dan bacaan kalimat thoyyibah lainnya untuk mendoakan beliau. Sudah barang tentu kalau akan masuk ke makam Mbah Kumbang harus minta izin dahulu kepada Kaur Kesra (Modin) Kelurahan Karangwaru, karena yang memiliki tanggung jawab pemeliharaan makam Mbah Kumbang adalah Kelurahan Karangwaru yang secara teknis perawatannya diserahkan kepada Kaur Kesra dan Kaur Kesralah yang membawa kuncinya makam.
Mbah Kumbang oleh masyarakat Karangwaru dipercayai sebagai orang yang awal mula babat alas Karangwaru dan mengajar ngaji serta dakwah Islamiyah di Karangwaru dan sekitarnya sehingga Islam berkembang di Karangwaru sampai saat ini. Oleh sebab jasa beliau inilah makam Mbah Kumbang pernah dibangun oleh bapak H. Yamani dan sampai sekarangpun jika ada perbaikan makam keluarga bapak H. Yamani selalu dilibatkan. Beliau mendapat julukan (panggilan) Mbah Kumbang karena kalau tadarus (membaca) Al Qur’an atau berdoa suaranya gembremeng ( berdengung) seperti suara kumbang yang sedang terbang. Namun ada juga yang menyatakan beliau mendapat julukan Mbah Kumbang karena keahliannya membuat ukir- ukiran kayu. Mbah Kumbang kalau mengukir kayu , dalam membuat lekuk-an- lekuk-an (lengkung) , kedalaman pahatan, kerumitan, kehalusa dan tipenya mirip bagaikan se-ekor kumbang.
Sesuai daftar silsilah yang terdapat di makam Mbah kumbang, beliau keturunan ke 9 dari Ibrahim Asmarakundi. Silsilah tersebut lebih lengkapnya sebagai berikut:
1. Ibrahim Asmarakundi.
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel).
3. Syarifuddin (Raden Kosim/ Sunan Drajad)
4. Umayah
5. Anim
6. Djamus
7. Ma’ruf
8. Dja’far
9. Rohmat
10. Imam Hambali (Mbah Kumbang)
Jasa- jasa beliau disamping telah babat alas di Karangwaru dan berdakwah Islamiyah, beliaulah yang telah membuat hiasan berupa ukir- ukiran masjid Agung Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1847 pada masa kadipaten Ngrowo dijabat oleh RMT. Djajaningrat, Adipati (bupati) Ngrowo ke 5 (1831- 1855). Sekarang masjidnya dipindah di Dusun Gleduk Desa Gedangsewu Tulungagung, tepatnya di pondok pesantren almarhum bapak H. Mashuri. Mbah Kumbang, disamping telah membuat ukir- ukiran masjid Agung Tulungagung, beliaulah yang telah membuat ukir- ukiran pendopo Kabupaten Tulungagung yang dibangun tahun 1824 pada masa Kadipaten Ngrowo dijabat oleh RMT. Pringgodiningrat, Adipati (Bupati) Ngrowo ke 4 (1824- 1830) . Pendopo Kabupaten Tulungagung tersebut sekarang sudah mengalami beberapa kali renovasi dan diberi nama “ Kongas Arum Kusumaning Bongso”. Nama tersebut menunjukkan suryo sengkolo tahun pembuatan/ renovasi pendopo, yaitu kongas= 0, arum= 9, kusuma= 9 dan bomngso=1. Dibaca terbalik menjadi 1990 .M. Yang memberi nama pendopo dan alun- alun Tulungagung adalah Bapak Ema Kusmadi, budayawan Jawa Tulungagung.
Walaupun masa kehidupan Mbah Kumbang tidak dapat ditelusuri secara pasti; kapan lahir, kapan meninggal , kapan babat alas dan dengan siapa saja, siapa istrinya dan siapa anaknya, namun karena beliau orang yang telah membuat ukir- ukiran masjid dan pendopo Kabupatena Tulungagung, maka dapat dipastikan beliau hidup pada abad 18, antara tahun 1824 -1855 . Menurut penuturan Kaur Kesra Karangwaru yang diperoleh dari berita – berita masyarakat sebelumnya, semua alat- alat pertukangan dalam membuat ukir- ukiran pendopo maupun masjid ditanam dekat makam beliau, tepatnya di timurnya.
Ada cerita yang menyatakan bahwa Mbah Kumbang sangat akrab dengan Mbah Langkir yang makamnya ada di dekat masjid Desa Winong. Kalau dilihat tahun kehidupan antara Mbah Kumbang dengan Mbah Langkir memang berdekatan. Mbah langkir hidup di Kadipaten Ngrowo setelah perang Diponegoro ( 1825- 1830 ). Mbah Langkir salah seorang mantan prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Kadipaten Ngrowo setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar. Apalagi domisili Mbah Langkir ketika masih hidup di sekitar perempatan selatan alun- alun Tulungagung, dekat dengan desa Karangwaru tempat domisili Mbah Kumbang. Disamping itu keduanya sama- sama terkenal sebagai tokoh spiritual pada masanya.
mailto:dmosisboy@yahoo.co.id?subject=MBAHKUMBANG PEMBANGUN MASJID AGUG TULUNGAGUNGhttp://www.dmosisboy.blogspot.comNew Microsoft Office Word Document.docx
Powered by Blogger.