NEGARI PRAMBANAN

Monday, 11 June 2012
Beberapa saat kemudian, Pak Sondong (Ki Buto locaya) meneruskan ceritannya,”Beginilah ceritera tentang Negari Prambanan. Yang menjadi raja di Prambanan adalah Prabu Dewatasari.Sang raja berputra lima orang. Kelima-limanya lelaki semua dan menjadi raja semua. Yang tertua bernama: Prabu Among Tani.Kedua,Prabu Sandang Garba.Ketiga, Prabu Karung Kala. Keempat Prabu petung Malaras dan yang kelima (bungsu) adalah Sri Sendayu. Prabu aamong tani menjadi pemimpin atau raja orang tani atau petani.Prabu Sandang garba menjadi raja orang yang berdagang atau kaum pedagang.kerajaannya di daerah Jepara. Sampai sekarang pedagang dari jepara tetap memuja Prabu Sendang Garba sambil memohon agar perdagangannya lancer selamat dan berhasil. Prabu Karung Kala menjadi raja kaum pembantai ternak (pemburu).Prabu Petung Malaras menjadi raja orang yang menyadap nira,atau penyadap nira. Prabu Sri Sendayu diperintahkan untuk menggantikan ayahnya menjadi raja di Prambanan. Kakak-kakaknya berada di bawah pemerintahan Sri Sendayu raja Prambanan, atau raja Sri Jentayu. Raja Prawatasari lalu moksa.” Ki Dermakanda bertanya,”Apakah raja Prambanan itu raja yang bernama Prabu Baka yang suka makan daging manusia?” Pak Sondong (Buta Locaya) langsung menjawab,”Ya.” Kemudian Ki Dermakanda bertanya lagi.”Mengapa sang raja suka makan rakyatnya, pada hal sama-sama manusiannya?” Pak sondong (Ki Buta Locaya) menjawab,”YA”,beginilah asal mula ceritannya. Sesungguhnya yang disebut Prabu Baka itu seorang wanita,permaisuri raja Prambanan yang tua, yaitu prabu Prawatasari, yang sudah saya ceritakan tadi. Permaisuri itu titisan Buta Nyai yang melamar Prabu Jayabaya yang kemudian tewas dikeroyok oleh penduduk di Kadhiri. Sabda Prabu Jayabaya terjadi sungguh-sungguh.Mengapa suka memangsa manusia? Karena Sang permaisuri titisan raksasa wanita yang bernama Ratu Baka.Kemudian Ratu Baka itu disebut juga Rara Jonggrang. Diberi nama Rara Jongggrang karena ia sangat tinggi. Tingginya melebihi tinggi rata-rata orang lain. Wajahnya sangat cantik. Ia merupakan wanita tercantik di Pulau Jawa pada saat itu. Ia berputra seorang pria. Setelah mempunyai putera, Rara Jonggrang lalu suka makan manusia. Itulah asal mula timbulnya sebutan Prabu Baka. Perbuatannya itu kemudian diketahui oleh sang Prabu, Rara Jonggrang lalu diusir. Rara Jonggrang lalu pergi ke hutan Ponorogo dan kemudian menetap di sana. Setelah Rara jonggrang pergi, raja memerintahakan untuk membuat patung Rara Jonggrang yang terbuat dari batu. Gunanya untuk mengenang hadirnya Rara Jonggrang di situ dan sempat menjadi permainsuri raja. Disamping itu patung tersebut digunakan untuk menghibur putera sang raja yang masih kecil apabila menangis dan menannyakan ibunya. Sampai sekarang wanita suku bangsa Jawa yang pantas dihormati diberi sebutan Nyai sebab meniru sebutan Rara Jonggrang atau ratu Baka tersebut diatas.” Ki Dermkanda kemudian bertanya, “Ratu Baka itu berputra berapa orang?” Pak Sondong menjawab, “hanya seorang putra laki-laki, seprti setelah uraikan terdahulu. Setelah Prabu Prawatasari (ayah Prabu Sri Jentayu) mangkat, ia menggantikan ayahnya menjadi raja di Prambanan dan bergelar Prabu Sri Gentayu. Ia berputra lima orang.yang tertua seorang putri bernama Rara Suciwanungsanya, bersumpah tiada mau kawin, (wadat,bahasa Jawa). Kesukaannya bertapa. Yang kedua, laki-laki bernama Raden Lembu Amiluhur. Ketiga,laki-laki bernama Raden Lembu Amerdadu. Yang keempat, laki-laki yang bernama Raden Lembu Pangarang dan yang bungsu juga laki-laki bernama Raden Lembu Amerjaya. Atas kehendak sang Prabu keempat puteranya dijadikan raja. Masing-masing ditetapkan untuk menjadi raja. Raden Lembu Amiluhur menjadi raja di Jenggala bergelar Prabu Dewa Kusuma. Raden Lembu Amerdadu menjadi raja di Daha bergelar Prabu Pujaningrat. Raden Lembu Pangarang menjadi raja di Ngurawan dan bergelar Prabu Pujadewa.Raden Lembu Amerjaya di angkat menjadi raja di Panaraga,bergelar Prabu Puja Kusuma. Dari keempat raja yang tertinggi kekuasaanya ialah raja di Jenggala. Kerajaan Prambanan lalu musnah, dan tak pernah menjadi kerajaan lagi sampai sekarang. Mengenal pendeta Rara Suciwanungsanya, dia selalu mendatangi dan menengok saudara-saudaranya. Jika kebetulan datang di Jenggala beliau bermalam di padepokan Desa Kandairen.”

JOKO PEGADUNG (Asal Mula Harimau Penjelmaan Manusia)

Pak Sondong (Ki Buta locaya) meneruskan kisahnya, “Pada waktu itu ada seorang yang bernama Joko pegadung yang bertempat tinggal di Desa Gadung. Joko Pegadung mempunyai dua orang saudaranya laki-laki. Keduanya bernama Joko Basawa dan Joko Medada. Mereka bertempat tinggal di lereng gunung Kelud, di sebelah barat daya gunung Arjuna. Menurut kabar, Joko Pegadung sesaudara tak dapat mati sebab mereka mempunyai Aji-aji Pancasona dan mempunyai binatang peliharaan, harimau. Karena itu Joko Pegadung bersaudara sangat ditakuti dan dihormati oleh penduduk desa hingga ke wilayah lain. Joko Pegadung juga termasyhur di wilayah Panjer. Joko Pegadung tiga bersaudara sangat kaya raya. Mereka mempunyai kerbau dan sapi yang jumlahnya ribuan ekor dan dibiarkan lepas di dalam hutan rimba. Tidak seorang pun berani mengusik atau mencuri ternak milik Jaka Pegadung bersaudara karena takut pada kesaktian mereka. Joko pegadung beristrikan wanita dari Desa Morangan. Pada suatau hari Joko Pegadung bertengkar dengan isterinya karena Joko Pegadung pulang membawa wanita lain ke rumahnya. Isterinya marah dan pergi meningglakan rumah,kemudian pulang ke rumahnya sendiri di Desa Morangan. Joko pegadung menyusul isterinya ke Desa Morangan dengan maksud akan mengajak pulang ke rumah mereka. Tetapi setelah Joko Pegadung tiba di desa tersebut dan mencari isterinya di rumahnya, rumah itu sepi. Joko Pegadung lalu balik kembali ke Desa Gadung. Ketika tiba di Desa Prundung,Joko Pegadung singgah ke rumah temannya yang bersama Singanyeta, seorang penabuh gamelan.Singanyeta sedangmembunyikan rebab (alat music tradisional Jawa yang mirip biola),sedang isteri Joko Pegadung duduk di sisi Singanyeta. Seketika itu juga Joko Pegadung bangkit kemarahannya, Singanyeta di pegang kakinya lalu ditarik ke luar rumah. Tetapi Singanyeta bertahan lalu berusaha melepaskan diri dan berhasil. Mereka lalu berkelahi mati-matian. Keduanya sama-sama saktinya. Mereka saling sepak, tarik-menarik,membanting dan saling dorong.Namun hingga berhari-hari tak ada yang kalah atau menang. Akhirnya, kaki Singanyeta terpegang oleh Joko Pegadung lalu dipatahkan. Tetapi Singanyeta masih dapat memegang kepala Joko Pegadung. Rambut Jokopegadung yang panjang dililitkan di tangan Singanyeta lalu dipelintir dan keplanya ditarik sehingga terlepas dari badan Joko Pegadung.Singanyeta ingat bahwa Joko pegadung mempunyai aji-aji Pancasona.Aji-aji itu memiliki kelebihan selama kepala dan badan Joko Pegadung itu berdekatan,walaupun sudah terpisah dari kepalanya dan mati, Joko Pegadung akan dapat hidup lagi karena kepala dan badannya akan bersatu kembali. Itulah sebabnya, ketika kepala Joko Pegadung sudah terpisah dari raganya, kepala itu dilemparkan jauh-jauh.Kepala itu jatuh di daerah Singkal, yakni sebuah desa di sebelah barat sungai Brantas. Akhirnya Joko Pegadung mati dan tak dapat hidup lagi, sebab kepalanya terjatuh di sebelah barat sungai Brantas,sedangkan badannya tergeletak di sebelah timur sungai Brantas. Di akhir pertempuran,kedua orang itu sama-sama binasa. Saudara Singanyeta yang bernama Joko Baya setelah mendengar bahwa Singanyeta berkelahi dan sama-sama tewas lalu menahan napasnya sampai mati, karena paru-parunya kekurangan zat asam.Sedangkan saudara Joko Pegadung yang bernama Joko Besawa dan Joko Medada setelah mendengar berita bahwa kakaknya berkelahi kemudian mati sampyuh (kedua orang yang berkelahi hingga akhirnya sama-sama mati, jadi tak ada yang kalah atau menang),maka kedua orang saudara Joko Pegadung itu bela muksa (membela dengan cara ikut mati). Kalau disebutkan bahwa Joko Pegadung dan saudara-saudaranya memiliki harimau, maksud sebenarnya ialah,Joko Pegadung bersaudara dapat berubah rupa menjadi harimau (harimau siluman).Ia menjadi guru dalam ilmu mengubah diri manusia menjadi harimau.Demikian pula kedua orang adiknya.Murid-muridnya banyak sekali.Mereka dapat pula mengubah diri mereka menjadi harimau.Harimau jadi-jadian ini disebuat harimau gadungan. Sampai sekarang Dukuh Gadungan masih tetap bernama dukuh Gadungan.Dukuh ini terletak disebelah timur gunung Kelud.Inilah asalmulanya ada harimau jadi-jadian atau harimau gadungan. Setelah kejadian itu Joko Pegadung dan Singanyeta masing-masing dibuat patungnya.Sampai sekarang patung Singanyeta dan Joko Pegadung masih ada.Juga sesajen Joko Pegadung bersaudara, semuannya diletakkan di sanggar-sanggar desa Gadungan,sampai saat ini masih ada.”

SITUS CANDI AMPEL

Wednesday, 30 May 2012


Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman di wilayah Dusun Joho,Desa Ngampel.Lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekitar candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya beraspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman diwilayah Dusun Joho, Desa Ngampel.lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekeliling candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya ber raspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Candi mengarah kebarat dan berukuran 19,7 x 15m. Keadaan candi sudah hancur sehingga yang tampak sekarang hanyalah tumpulan bata setinggi 1,65m. Walaupun demikian pada sisa kaki candi di sisi selatan masih terlihat ornament sulur – suluran dalam motif flora. Kerusakan candidisebabkan adanya tujuh pohon besar yang tumbuh di tengah sisa bangunan tersebut. Yaitu pohon Joho, Winong, Aren, Kendal, serut, Ingas dan Leran. Tinggalan lain yang terdapat disekitar halaman candi adalah dua buah Arca Dwarapala, sebuah Yoni dan beberapa balok bata andesit.
Latar Belakang Sejarah
Sangat menarik untuk diamati bahwa candi ini terdapat padadataran rendah di sekitar kaki perbukitan Walikukun. Sebagaian besar percandian yang berada dilokasi lain padadataran rendah yang sama diketahui berasal dari Masa Majapahit. Berdasarkan keletakan maupun maupun rancang bangunanya dapat dipastikan bahwa candi Ampel juga dibangun padawaktu yang sama, yaitu suatu periode di mana cukupbanyak dibangun percandian dengan menggunakan bahan bata.
Latar Belakang Budaya
Walaupun hanya berupa tumpukan bata yang saat ini “diikat” oleh akar – akar pohon besar,kekuatan situs ini tetap dapat dikenali. Pada diding kaki candi,antara lain, masih tampak adanya ornament berupa sulur – suluran. Selain arca Dwarapala dan Yoni,di sana terdapat pula tujuh umpak batu.
Keberadaan Yoni jelas menunjukan bahwa bangunan candi itu berlatar belakang keagamaan Hindu. Adapun tujuh buah umpak yang terdapat di sana menunjukkan adanya manfaat bangunan terbuat dari bahan lain yang digunakan untuk menaungi bagian atas candi tersebut.
Sebagaiman kebanyakan candi di Nusantara, candiAmpel dahulu dugunakan pula sebagai tempat pemujaan. Sekarang hanya berfungsi sebagai obyekwisata saja. Walaupun tidak lagi digunakan sebagai tempat pemujaan bagiumat Hindu,dalamkasus tertentu situs ini masih dijadikan tempat nyuwun donga oleh sementara penduduk sekitar.

Ki Ageng Selo



Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja – raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki – laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkimpoian antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kimpoi dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja – raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 – 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja – raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek – kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kimpoi dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja – raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja – raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja – raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak – arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing – masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data – data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja – raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa – sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber – sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam – makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam – makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata – rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

SOSOK GAJAH MADA



Gajah Mada sosok kontroversi negeri ini. Ia telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam literature sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya. Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan Negara yang ia bela.
Tulisan ini coba memberikan gambaran dari sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan merupakan sosok Dewa ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!
menjelang ajalnya, Gadjah Mada diketahui menyepi ke daerah Madakaripura, Probolinggo, yang menjadi salah satu bagian dari lereng Gunung Semeru. Sang Maha Patih tiba-tiba ia merasa sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan semua kebesarannya. Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit sudah sebesar yang diimpikannya. Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya. Oleh Hayam wuruk, ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai Brantas yang dibebaskan dari pajak dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan Patih yang sudah tua itu.
Dalam kesendirian dan ketuaannya terbayang kembali saat Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya, sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia telah berhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah salah satu jalan yang diplih untuk memperkuat negara itu. Apalagi dalam perjalanannya, negara yang baru tumbuh itu, harus mengalami berbagai macam pemberontakan, yang terutama dari sahabat dekat sang raja sendiri, seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada yang siap beregenerasi. Maka sekolah militer untuk perwira dimasa depan disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu produknya. Menghabiskan masa muda dalam pendidikan kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya. Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia lemah. Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder), yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada. Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat, apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat. Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakang sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang raja kembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah. Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah. Bagi Gajah mada kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana, punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.
Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti, menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Akhirnya, pada tahun 1334 M, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah yang dikenal sebagai Amukti Palapa :
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktI palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan untuk mewujudkan sumpah itu. Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi, karena Hayam wuruk masih kecil.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda. Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai.
Gajah Mada memang telah menjadikan urusan kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia tidak memiliki perhatian terhadap Negara. Namun di balik semua itu, ia hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang lainnya yang memujinya setinggi langit, Suara Tantular tidak pernah diperhitungkan!”
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multi dimensi yang mendera Majapahit.
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk! Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai Datuk, dan “di atas kertas” walaupun tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan orang Sumatera, “Orang Jawa (Maha Patih Gajah Mada) datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.”
Hayam wuruk yang beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding. Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan dan sangat pantas menjadi menantunya.
Dan segera urusan ini dipercepat, dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu jemputan dari Majapahit.
Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai. Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh, Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang sederajat, sekutu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan. Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai tradisi pengantin waktu itu, melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada, tapi Gajah Mada adalah orang yang sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya insting kenegaraan saja, dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi mereka berbeda, dan tak mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama. Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu, ialah yang harus mundur. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa yang penting. Pada negara atau pada raja?
Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya, diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu dilegendakan riwayat kelahirannya. Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya. Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Hayam Wuruk kemudian memilih enam Maha Mantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Ke enam Maha Mantri Agung ini bukanlah dari kalangan yang dibina oleh Sang Gajah Mada karena semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, dikisahkan pada tahun 1329 M, Patih Majapahit Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk.
Terngiang kembali dalam kesendiriannya beberapa percakapannya di pendopo agung kepatihan antara dirinya (Gajah Mada) dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri.
“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”
Dikeuzurannya Sang Gajah Mada sepi tanpa istri dan dalam kesendiriannya pula mantan Maha Patih Agung itu mangkat….. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

KERAJAAN MENDANG KAMULAN

Melalui mulut Pak Sondong, Buta Locaya meneruskan ceritannya, “Setelah tujuh kali pengertian raja, menjadi raja di suitu ialah Raja Sindula. Raja ini moksa lalu diganti Raja Prabu Dewata Cengkar, putranya sendiri. Kemudian diganti oleh AJISAKA, raja yang tidak berasal dari dinasti raja terdahulu. Ajisaka, memerintah di Mendang Kamulan hanya tiga tahun. Kerajaan itu kemudian direbut oleh Raden Daniswara, putra raja Dewata Cengkar, yang kemudian bergelar Prabu Kaskaya atau Prabu Maha Punggung. Lalu diganti oleh puteranya yang bernama Prabu Klapa Gading. Pengganti Prabu Klapa Gading ialah Prabu Mundingwangi, diganti lagi pleh penerusnya, Prabu Mundingsari. Ketika itu umur Kerajaan Mendang Kamulan 120 tahun. Lalu ditaklukkan oleh Prabu Prawatasari, raja dari Prambanan, yang masih ada hubungan keluarga dengan Prabu Mundingwangi sendiri. Kerajaan dipindahkan ke Prambanan. Di Mamenang hanya ada adipati yang bermukim di Panjer. Mengenai cerita kerajaan lain, antara lain Purwacarita, Mendang Kamulan dan Prambanan saya tak dapat menceritakan karena saya tak menyaksikan sendiri. Selanjutnya yang akan saya ceritakan hanya kerajaan Kadhiri atau Panjer seperti yang anda kehendaki semula.” Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya, “Apa sebabnya kerajaan Mamenang taka da bekas-bekasnya?” Pak Sondong menjawab, “Sebabnya ialah karena kerajaan itu tertimbun oleh lahar yang berasal dari gunung Kelud. Karena seringnya tertimpa lahar lama-lama keratin tersebut tertimbun lalu terpendam dan tidak tampak lagi. Kalau ada yang tampak, maka yang kelihatan itu adalah hasil karya Sang Prabu Jayabaya, yakni empat buah candi. Pertama candi di desa Prundung. Kedua candi di desa Tegowangi, ketiga candi di desa Surawan. Ketiganya terletak di sebelah timur laut kota Mamenang. Dan yang keempat adalah candi Arcakuda, di desa Bogem. Ki Dermakanda meneruskan pertanyaan, “Prabu Jayabaya membuat patung kuda berbingkai dengan kepala dua buah di letakkan di desa Bogem, mempunyai arti apa dan maksud apa?”. Pak Sondong (Buta Locaya) menjawab, “Dulu sang Prabu bersabda begini, ‘Maksud saya membuat patung kuda di Desa Bogem merupakan perlambangan Negara Jawa. Bogem berarti tempat perhiasan atau logam mulia dan intan permata. Diberi bingkai bulatan berarti terlarang. Kuda tanpa tapak kaki kuda berarti tanpa sarat. Berkepala dua saling bertolak belakang, artinya kelak orang-orang perempuan di sini tidak setia kepada suaminya. Mereka selalu menginginkan pria lain yang bukan suaminya. Demikian juga pihak lelaki. Mereka akan melakukan perbuatan yang terlarang dengan wanita yang belum menjadi istrinya apabila wanita itu cocok dengan seleranya, wanita itu akan dinikahi olehnya. Bila tak cocok ia tinggalkan’. Begitulah sabda sang Prabu Aji Jayabaya.” Pak Sondong (Buta Locaya) meneruskan penjelasannya, “Raden Mas Ngabei Purbawidjaja, perkenankan saya mencimpang sedikit dari pokok pembicaraan, sebab saya akan menceritakan tentang Adipati Panjer. Ketika Adipati Panjer pertama memerintah di Panjer, sang Adipati mempunyai kegemaran menyabung ayam. Pada suatu hari ketika di Pandapa ada permainan sabung ayam, banyak orang menonton permainan itu. Saat itu ada seorang penyabung ayam bernama Gendam Asmaradana ikut menonton bersama-sama orang banyak. Ia berasal dari Desa Jalas. Raut muka Gendam Asmaradana sangat tampan, gagah, berkulit kuning langsat dan dia adalah pemuda paling tampan di seluruh negeri, selalu berpakaian rapi serta indah. Dia memang orang berada atau kaya-raya.Karena wajahnya yang seperti Dewa Kamajaya itulah maka wanita di seluruh negeri banyak yang tergila-gila dan melamar igin di peristri oleh Gendam Asmaradana. Mereka menyerahkan kekayaannya antara lain intan permata, logam emas dan perak yang dibentuk atau dijadikan bermacam-macam perhiasan. Seluruh miliknya diserahkan kepada Gendam Asmaradana. Karena itulah Gendam Asmaradana hidupnya cukup bahkan berlebih-lebihan tidak kekurangan suatu apapun. Seperti suadah diceritakan di atas, Gendam Asmaradan ikut melihat permainan menyabung ayam. Gendam Asmaradana maju lalu duduk di atas muka. Sang Adipati duduk bersanding dengan Nyonya Adipati. Ketika Nyai Adipati melihat ketampanan Gendam Asmaradana, darahnya mengalir deras dan langsung jatuhcinta dengan sang perjaka. Ia lupa bahwa dia sedang duduk bersanding dengan Ki Adipati Panjer. Pandangannya selalu tertuju kepad Gendam Asmaradana. Sang Adipati tahu dan mengerti bahwa hati istrinya sangat tertarik kepada ketampanan Gendam Asmaradana. Dia sangat marah lalu mengambil kerisnya. Keris itu langsung ditusukkan kedada lelaki yang menarik perhatian isterinya. Gendam Asmaradana terkejut dan terlonjak. Seketika itu dia beusaha diri dengan mencabut pedang dari sarungnya. Senjata itu dibacokkan ke pinggang Sang Adipati. Darah segar mengalir dari lukannya. Adipati Panjer lari ke sumber atau mata air miliknya, sendang Kalasan. Mata air itu mempunyai kasiat dapat menyembuhkan luka-luka. Sebelum sampai ke tempat tujuan, Asmaradana lari menyusul musuhnya sambil berteriak, ‘Hoi, jangan lari, kalau anda memang berwatak kesatria berhentilah,jangan lari.’ Sang Adipati setelah tahu bahwa dia dikejar dan tantang oleh Gendam Asmaradana lalu berhenti. Tetapi tak lama kemudian di roboh dan langsung mangkat (meninggal dunia). Ketika Gendam Asmaradana melihat Sang Adipati mangkat, ia lari dan dikejar oleh orang banyak. Ia lari menuju ke rumahnya, tetapi masih terus dikejar. Asmaradana lalu larilagi kearah mata air di telaga Kalasan dan langsung melompat menceburkan dirinya ke dalam telaga tersebut. Walaupun sudah masuk ke dalam air telaga, dia masih dikejar juga oleh pengikut Adipati Panjer. Seluruh dasar telaga di salami dan di aduk untuk mencari Asmaradana. Namun yang dicari tidak juga ditemukan. Mungkin Gendam Asmaradana menjadi siluman atau demit di telaga Kalasan. Orang-orang lalu bubar.” Ki Dermakanda bertanya, “Saya pernah mendengar ada aji-aji atau mantera yang bernama aji-aji Gendam Asmaradana yang gunanya utuk memantrai perempuan agar jatuh cinta ke pada yang mengucapkan mantera itu. Apakah asalnya dari Gendam Asmaradana itu?” Pak Sondong (Ki Buta Locaya) menjawab, “Benar, untuk melestarikan aji atau mantera yang di miliki oleh Gendam Asmaradana yang ceritakan tadi, setelah Adipati Panjer mangkat Gendam Asmaradana dibuat patungnya. Arca tersebut dibuat dan di berinama patung Smarandana di tempat kan di Desa Panjer. Waktu itu pemerintahan di Panjer kosong, taka da orang yang memegang pucuk pimpinan sampai selama satu tahun.”

LEGENDA KEDIRI ( KADHIRI)

Wednesday, 29 February 2012
Ki Dermakanda lalu membakar dupa dan membaca mantra. Suasana menjadi hening. Beberapa saat kemudia, Ki Dermakanda berhenti membaca mantra dan berhadap-hadapan dengan Pak Sondong. Keduanya berpandang-pandangan. Sekejap kemudian Pak Sondong kehilangan kesadaran lalu terjatuh. Tak lama kemudian di bangun kembali dan duduk tegak. Pada saat yang sama Ki Dermakanda berpura-pura atau bertingkah seolah-olah dia adalah mas Ngabei Purbawidjaja yang sedang menyambut kedatangan tamunya sambil berkata, ”Selamat dating Ki Buta locaya.” Pak Sondong yang raganya sudah dimasuki jin Buta Locaya menjawab, ”Aada keperluan apa Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil saya ?” Ki Dermakanda yang berteriak dan bertingkah menjadi Mas Ngabei Purbawidjaja menjawab, “Iya Kyai Buto Locaya, mengapa saya mengundang tuan datang ke rumah saya karena ada dua tujuan. Yitu, pertama saya ingin bersahabat dengan tuan dan kedua karena saya mempunyai persoalan yang harus saya jawab atau saya selesaikan. Persoalan itu adalah, saya mendapat tugas dari pembesar untuk memperoleh keterangan tentang babad Nagari Kadhiri. Bagaimana asal mulanya menjadi kerajaan, kapan berdirinya dan siapa yang menjadi raja yang pertama? Juga siapa pengganti-penggantinya sampai pada saat ini? Bagaimana ceritanya semua itu? Saya sangat kesulitan karena tidak mengetahui cerita atau sejarah nagari Kadhiri ini. Selama ini yang saya ketahui hanya cerita Panji Kudarawisrengga atau Panji Inukarpati serta masa sesudahnya. Cerita sebelum masa Panji saya tidak tahu sama sekali. Menurut penurutan Ki Dermakanda, saya harus bertanya kepada tuan, Ki Buto Locaya. Untuk itulah saya mengundang tuan kerumah saya untuk menceritakan legenda itu sehingga saya menjadi tenang dan bias menjalankan tugas untuk memperoleh cerita legenda kota Keddhiri. Tuan pasti maklum tentang hal ini dan tuan pasti bias menceritakan legenda ini dengan benar dan baik, karena tuanlah yang menjadi raja atau pemimpin semua makhluk halus yang ada di Kediri.” Pak Sondong yang sudah kerasukan Buta Locaya langsung tertawa keras sekali sambil berkata,”Ha…ha…ha…,Mas Ngabei purbawidjaja, kalau hanya soal yang begitu, itu mudah sekali. Karena sesungguhnya sayalah cikal-bakal atau orang pertama yang membuka hutan dan yang pertama bertempat tinggal di Kadhiri. Semula saya ini adalah seorang manusia. Nama saya Kyai Daha. Saya mempunyai saudara bernama Kyai Daka. Ketika itu saya dan adik saya bersama-sama menebangi hutan di dekat sungai Kadhiri (Barntas) dengan maksud untuk dijadikan pemukiman. Waktu itu tempat tersebut masih merupakan hutan belantara yang lebat bahkan masih merupakan hutan perawan yang belum tersentuh tangan manusia, karena memang belum ada seorang manusiapun yang hidup di situ. Singkatnya, setelah kami selesai menebangi pohon-pohon yang besar-besae dan tinggi-tinggi, kemudian kami membersihkannya. Tempat itu kemudian kami jadikan tempat tinggal untuk kami berdua, saya dan adiksaya Kyai Daka. Ketika itu saya didatangi Syanghyang Wisnu yang bersabda kepada saya bahwa beliau menghendaki untuk mengejawantahkan atau turun dari kahyangan, menjadi manusia dan akan menjadi raja di permukiman yang kami buat. Saya tunduk dan berserah diri atas di kehendak Dewa Wisnu. Kemudian Batara Wisnu menjadi raja di Kadhiri dan bergelar Prabu Sri Aji Jayabaya. Saya sendiri lalu diberi nama Buta Locaya yang artinya: Orang bodoh tetapi lo kok dapat dipercaya. Sabda sang Prabu aji Jayabaya begini,”Engkau memang orang bodoh tetapi dapat dipercaya. Mengenai diriku aku hanya menjadi raja. Tetapi engkau berdua saya berii tugas untuk selalu memelihara anak cucumu kelak, walaupun engkau berdau sudah muksa (moksa) atau tidak berwujud manusia hidup.” Nama adik saya, Kyai Daka juga dipakai untuk memberi nama desa. Desa tersebut dinamakan Desa Daka. Adik saya juga diberi nama baru, yaitu Kyai Tunggul Wulung serta dijadikan senapati.”(Catatan: Menurut karangan atau kitab Aji Pamasa, yang pertama menjadi raja Memang ialah Prabu Gendrayana lalu berputra Prabu aji jayabaya, penjelmaan Batara Wisnu, jadi bukan Wisnu Ngajawantah). Selanjutnya Ki Dermakanda bertanya,”Selama berapa tahun Prabu Jayabaya menjadi raja di Kediri dan dimanakah letak kerajaanny?” Pak Sondong pun menjawab, ”Letak kerajaannya disebelah Timur Bengawan dan disebut Mamenang atau Daha. Memenang adalah nama kerajaan. Sedangkan Daha adalah nama daerah ( nagarai). Dinamakan Memenang sebab pada waktu itu kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang utama (pemenang) dalam hal. Nama Prabu jayabaya terkenal di seluruh Jawa dan besar pengaruhnya. Raja-raja dari negeri asing banyak yang takhluk di bawah duli paduka Sang Prabu Aji Jayabaya tanpa diperangi terlebih dahulu. Kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa menghaturkan upeti yang berupa mas, intan, berlian, hasilbumi, hasil kerajinan tangan dan segala macam harta benda yang berharga serta puteri-puteri untuk dijadikan dayang-dayang. Raja-raja di luar kekuasaan kerajaan Kediri bersatu dan bersujud di bawah raja Kadhiri. Mereka melakukan ibadahnya dengan baik sungguh-sungguh, mempelajari segala macam ilmu, seperti ilmu duniawi dan ilmu batin. Pengetahuan itu mereka kuasai dan mereka amalkan dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka sangat taat dalam hal ambatar atau melakukan ibadahnya. Semua diyu, danawa sangat ketakutan. Raksasa yang jahat dan jail tak mampu menggoda ketentraman di Kadiri. Karena itulah, pada waktu itu tanah Jawa sangat tentram dan taka da yang berani menggangu, merusak atau membuat keonaran. Semua penghalang yang ada dimusnahkan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.” Melalui Pak Sondong, Kyai Buta Locaya meneruskan penjelasannya,”Karena itu sang Prabu dan balatentaranya, yang berpangkat tinggi atau rendah selalu menghibur diri dan saling bertatap muka. Jika malam hari sang Prabu seringkali pergi ke pesanggrahan Wanacatur bersama putrinya yang bernama Mas Ratu Pangedhongan. Dan yang mendapat tugas untuk mengiringi dan mengawal Sang Prabu dan puterinya adalah hamba sendiri dan adik hamba Ki Tunggulwulung. Biasanya sesudah sampai di pesanggrahan, Sang Prabu duduk di halaman memandang orang lalu-lalang dan seringkali membicarakan hal-hal yang penting, antara lain tentang pemerintahan agar kerajaan tetap tentram damai dan maju serta hal-hal penting lainya. Karenanya pesanggrahan itu dinamakan Wanacatur yang artinya hutan tempat merembug atau berunding. Jika ada hal yang perlu dipecahkan, saya dan Tunggulwulung ditugaskan untuk mengiringi baginda raja pergi ke Wanacatur, diajak membicarakan dan memecahkan segala persoalan yang dihadapi Sang Prabu. Menurut pengamatan saya sang Prabu Aji Jayabaya dan puterinya Mas Ratu Pagedhongan apabila sedang di Wanacatur tak pernah bersantap(makan nasi). Beliau hanya menyantap bubur pati kunyit dan temulawak, meskipun beliau dan puterinya berhari-hari, bahkan sampai tujuh atau sepuluh hari di Wanacatur. Pengikutnya atau para abdi dalem makan nasi jagung atau ayam. Sang Prabu sendiri tak pernah makan daging binatang jenis apapun, tidak juga daging ikan sungai maupun laut. Karena itu pula di sebelah tenggaranya kota Mamenang ada desa bernama si Kunir dan si Lawak, sebab desa itu menghasilkan hasil bumi kunyit dan temulawak, yang menjadi santapan sang Prabu. Hati, pikiran dan jiwa sang Prabu menjadi bersih dan mampu mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah ataua sidik ing paningal,bahasa Jawa), karena itu beliau bertapa dan Manahan hawanafsu. Apalagi sang Prabu itu titisan Wisnu.” Kemudian Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya, “Apakah Prabu Jayabaya yang membuat ramalan jaman yang belum terjadi lebih terkenal dengan Jangka Jayabaya yang kemudian disebut Serat Jayabaya?” Pak Sondong langsung menjawab, “Iya benar. Tetapi Serat Jayabaya itu ada tiga. Yang pertama karangan atau ciptaan Syeh Sebaki (Syech Subakir), utusan Sang Prabu Ngerum (Handramaut) yang memberi tumbal tanah Jawa dan di pasang di gunung Tidar, Magelang. Atau dipasang di tanah Pacitan yang kelak di kemudian hari melahirkan orang Jawa Baru, yang membuat angka satu atau membuat angka berkepala satu, sampai sekarang angka tahunya sudah mencapai tahun 1761(*). Yang kedua Serat Jayabaya karangan Prabu Jayabaya bernama Serat Jayabaya atau Jangka Jaybaya (**). Yang ketiga Pangeran Banjarsari, ratu Jenggala yang kemudian pindah ke Kerajaan Galuh. Karangan Pangeran Banjarsari disebut juga dengan Surat Jayabaya, sebab antara Prabu Jayabaya dan Pangeran Banjarsari itu sebenarnya sama. Jelasnya Pangeran Banjarsari titisan Prabu Jayabaya. Karena itu pula kesaktian kedua raja itu sama. Kedua-duannya merajai semua makhluk halus.” Pak Sondong yang masih kerasukan Buta locaya meneruskan kisahnya, “Pada jaman pemerintahan Prabu Jayabaya, datanglah seorang raksasa perempuan di Kadhiri. Seluruh penduduk Kadhiri kacau-balau karena ketakutan. Mereka mengira raksasa perempuan itu akan mengacau dan melakukan kejahatan. Karena itu raksasa tersebut dikroyok oleh penduduk. Saya dan adik saya di Tunggulwulung ikut mengkroyok juga. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh tetapi belum mati. Lalu saya bertanya kepadanya. ‘Apa maksudmu masuk ke daerah kami?’ Raksasa itu menjawab, ‘Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk aku jadikan junjunganku atau suamiku.’ Lalu saya bertanya lagi, ‘Dimana tempat tinggalmu?’ Dia menjawab, ‘Rumahku di Lodoyong (lodaya, blitar?), di tepi laut selatan.’ Semua perkataan raksasa perempuan itu kemudian saya sampaikan kepada sang Prabu Aji Jayabaya. Selanjutnya Sang Prabu mendatangi tempat raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu bertanya apakah benar semua berita yang di sampaikan oleh Tunggulwulung dan saya? Sang raksasa menjawab, ‘Benar.’ Lalu Prabu Aji Jayabaya berkata, ‘Jika memang benar demikian kehendakmu dewata tak mengijinkan. Tetapi saya akan memberitahu kepadamu, kelak setelah aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat kerajaan Kadhiri ada seorang yang mengangkat diri menjadi raja, Kerajaan itu beribukota di Prambanan Nama raja itu Prabu Prawatasari, raja itulah yang akan menjadi jodohmu.’ Sebelum Prabu Jayabaya menyelesaikan sabdanya, raksasa itu menghembuskan napasnya penghabisan. Sang Prabu merasa keheranan dalam hatinya. Beliau kemudian memberi dua perintah kepada saya. Pertama desa di sebelah selatan Mamenang di berinama GUMURAH ( yang kemudian dikenal menjadi Girah dan sekarng menjadi wilayah kecamatan Gurah). Diberinama Gumurah karena ketika kami bersama penduduk desa itu mengeroyok raksasa perempuan itu, rakyat bersorak-sorak dan berteriak-teriak sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk, (gumurah = gumerah,bahasa Jawa). Ke dua, raja memerintahakan agar dibuat patung yang berupa dengan raksasa perempuan yang baru meninggal itu, namun wajahnya hendak di pahat serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Nyai.Desa tempat patung itu dinamakan Desa Nyaen. Desa itu sampai sekarang masih ada, terletak di sebelah selatan bekas kota Mamenang. Tinggi patung itu 14 kaki. Bola matanya sebesar alas cawan (lepek, bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Tidak lama setelah memberi dua perintah itu kemudian Sri Aji Jayabaya muksa. Saya dan Tunggulwulung ikut muksa mengikuti sang Prabu. Namun sebelum muksa Sang Prabu Aji Jayabaya memberi perintah lagi. Saya ditugaskan untuk bertempat tinggal di GOA SELOBALE yang terletak di sebelah barat Banawi atau kali Brantas. Saya dijadikan pemimipin kaum makhluk halusyang bermukim di situ. Sedangkan Tunggulwulung ditugaskan untuk bertempat tinggal di gunung Kelud, menjadi raja makhluk halus yang ada di situ. Tetapi saya dibawah kekuasan Tunggulwulung juga. Prabu Jayabaya juga bersabda kepada saya ‘Engkau jangan salah terima. Mengapa engkau orang yang lebih tua dari pada adikmu saya tempatkan di sebelah barat sungai Brantas? Sebabnya adalah karena tanah di sebelah barat sungai bernuansa dingin, maksudnya taka da perkara atau hanya sedikit persoalan yang harus dihadapai dan dicari penyelesaiannya. Engkau hanya bertugas menjaga. Tunggulwulung saya beri tugas di sebelah timur sungai Brantas, sebab tanah disitu bernuansa panas. Banyak sekali perkara atau kesulitan yang harus diatasi dan diselesaikan. Di tempat itu sering terjadi lahar yang merusak desa-desa, juga terdapat hutan-hutan yang hasilnya bisa dipakai menghidupi rakyat di sekitarnya. Jadi si Tunggulwulung saya tugaskan untuk mengawasi aliran lahar. Aliran hendaknya tetap melalui aliran yang lama, tidak boleh melalui jalan baru atau membuat aliran baru. Jika hendaknya menerjang desa-desa, penduduk desa hendaknya engkau beritahu terlebih dahulu dengan jalan orang-orang desa diberi wisik atau ilham yang jelas terlebih dahulu, sehingga mereka bisa mengungsi ke tempat yang aman dan selamat. Hasil hutan, hasil pertanian pokoknya semua hasil bumi yang menjadi makanan penduduk hendaknya kau jaga baik-baik jangan sampai terkena lahar. Apalagi bila ada orang-orang yang berani merusak hutan atau menebangi pohon-pohon besar yang buahnya dapat dimakan manusia hendaknya si perusak itu kau hokum, kau ganggu, agar dia tidak jadi melaksanakan niatnya. Gunanya apabila ada orang asing yang mengungsi atau dating ke tempat itu dan membutuhkan pertolongan, hasil hutan atau bumi yang dapat dimakan dapat disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Akan tetapi cegahlah mereka yang ingin membawa barang-barang itu ke negerinya. Dia. Pokonya orang asing tidak boleh membawa pulang barang-barang dari Kadhiri ke negerinya.” Melalui Pak Sondong, Ki Buta Locaya meneruskan ceritanya, “Saya dan Tunggulwulung melaksanakan sabda sang Prabu dengan sungguh-sungguh. Setelah bersabda demikian Sang Prabu lalu pergi ke kahyangan. Sedangkan saya sendiri lalu menjadi siluman, menjaga tanah di sebelah barat sungai Brantas dan Tunggulwulung menjaga tanah di sebelah timur sungai Brantas. Sampai sekarang saya dan Tunggulwulung masih tetap setia menjalankan tugas yang di sabdakan oleh Sang Prabu Aji Jayabaya. Karena, sampai sekarang apabila ada penduduk yang bertempat tinggal di sekitar gunung Kelud yang mau menebangi pohon-pohon besar (yang selama ini sesungguhnya yang memberi nafkah kepada mereka), pastilah yang bersangkutan akan menderita sakit atau gila karena sebenarnya mereka itu diganggu oleh si Tunggulwulung. Orang-orang yang berbuat zina (mesum) di tempat itu pasti dimakan harimau. Jadi orang-orang yang bertempat tinggal di situ harus jujur, baik budi pekertinya, tidak boleh berhati jahat. Sampai sekarang tanah Kadhiri yang di sebelah timur Bengawan (Brantas) biasa dijadikan tempat mengungsi orang-orang luar Keraton Kadhiri yang menderita kesengsaraan. Para pengungsi itu akhirnya hidupnya menjadi bahagia dan mendapat kemuliaan. Semua itu terjadi karena sabda Sang Prabu Aji Jayabaya. Tetapi apabila mereka sudah kaya, hidupnya sudah serba cukup, kemudiaan ke tumpah darahnya, mereka akan jatuh miskin lagi. Sampai sekarang saya masih tetap menjadi pemimpin atau raja makhluk halus di sebelah barat bengawan dan bertempat tinggal di goa Selabale. Sedangkan Tunggulwulung bertempat tinggal di gunung Kelud. Waktu itu ada seorang abdi raja Prabu Jayabaya bernama Ki Krama Taruna yang ikut muksa menjadi siluman, lalu diperintahkan bertempat tinggal di Sendang (mata air) Desa Kalasan. Tempat tersebut terletak di barat daya kota Mamenang, di sebelah barat gunung Kelud dan menjadi dhanyang atau datu di situ. Namanya tetap Kyai Krama Taruna. Dia berada di bawah kekuasaan Tunggulwulung juga. Sampai sekarang para petani yang mempunyai sawah di situ, apabila sawahnya kekurangan air lalu mengadakan upacara dengan jalan menyediakan sesaji, air sendhang atau mata air di situ diaduk. Taklama kemudian air yang keluar dari mata air itu kian nampak banyak, permukaanya tampak naik lalu airnya mengalir ke sawah lading. Setelah Sang Prabu Jayabaya muksa, beberapa waktu kemudian di Kadhiri ada banjir besar. Kraton Mamenang musnah dan pindah ke Purwacarita asalmulanya menjadi hutan kembali. Sedang kerajaan Mamenang kemudian pindah ke Medang Kamulan.”

DIALOG DENGAN KI BUTA LOCAYA

Sunday, 19 February 2012
Pada tahun 1832,ketika kota Kediri diperintah oleh Gupermen (pemerintahan pada jaman Hindia Belanda), pembesar Belanda bertanya tentang legenda kota Kediri. Saat itu yang ditanya adalah Mas Ngabei Purbawidjaja, seorang beskal atau Jaksa Ageng di kota Kediri yang pertama. Raden Mas Ngabei Purbawidjaja adalah canggah atau cicit Pangeran Katawengan yang berkuasa di kota Kediri.
Pada suatu hari Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil dalang wayang klithik bernama Ki Dermakanda yang bertempat tinggal di kawasan Kandairen, Mojoroto, Kediri. Dalang itu sudah amat tua, tetapi masih mampu berbicara jelas, dapat bercerita dengan baik dan sangat pandai berkisah. Setelah sang dalang tiba di rumah Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung diberi tahu tentang perlunya di panggil oleh Mas Ngabei Purbawidjaja.
“Ki Dermakanda, karena ada pertanyaan dari Gupermen tentang legenda atau riwayat tentang bagaimana asal mula terjadinya nagari Kadhiri atau kota Kediri, maka saya berpendapat hanya engkau yang dapat menjawab pertanyaan Gupermen tersebut.Mengapa? Karena engkau adlah seorang dalang kuno. Dan kisah yang engkau ceritakan ketika mendalang adalah tentang nagari Kadhiri, Janggala, Ngurawan dan Singasari. Jadi engkau pasti dapat menceritakan sejarah Kediri. Ceritakanlah bagaimana lahirnya kota Kediri, asal mulanya sampai menjadi nagari dan siapa yang mula–mula melakukan hal itu? Karena pengetahuanku mengenai cerita itu hanya terbatas pada cerita Panji Inu Karpati dan masa sesudah Panji Inu Karpati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kartapati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kertapati tidak aku ketahui sama sekali. Untuk itu cobalah ceritakan masa sebelum Panji Inu Kertapati. Aku akan mencatat kisahmu,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja kepada Ki Dermakanda.
Mendapat pertanyaan dan perintah seperti itu, Ki Dermakanda menjawab. ”Bendara ( yang dipertuan), mengenai cerita Nagari Kadhiri, sesungguhnya pengetauhan hamba sama dengan pengetauan tuan hamba, yaitu mulai Panji sampai sesudah masa kehidupan Panji. Masa sebelum Panji hamba juga tidak mengerti. Namun demikian, bila ada pembesar yang menghendaki keterangan tentang babad Kadhiri, rasanya hamba dapat memberikan keterangan. Karena hamaba bersahabat dengan jin bernama Kyai Buta Locaya yang bersemayam di Gua Sela Bale, Gunung Klothok. Dia adalah raja jin di seluruh wilajah Kadhiri, menguasai gunung Kelud,gunung Wilis hingga ke wilayah utara sampai perbatasan Japan (Japanan—sekarang daerah Mojosari, Mojokerto). Sebelum daerah ini menjadi kota, Kyai Buta Locaya sudah tinggal di kayangan hutan gunung wilis. Untuk iyu hamba berpendapat bahwa Kyai Buta Locaya mengetahui babad atau legenda kota Kediri ini.”
“Jika demikian, bagus sekali. Pertemukan saja aku dengan Kyai Buta LOcaya dan aku akan bertanya sendiri kepadanya,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja.
Ki Dermakanda langsung menjawab,”Baiklah tuan, asalkan dia mau bertemu dengan tuan hamba. Tetapi walaupun dia mau bertemu dengan tuan hamba, hambalah yang akan menjadi peantara.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung menyahuti,”Ya, sekehendakmu sajalah. Tetapi bila kamu yang dijadikan perantara, jangan berbicara yang bukan-bukan atau asal omong saja seperti kebiasaan orang yang kemasukan setan atau seperti orang kesetanan dan berbicara ngawur. Karena perkara ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan permintaan orang berkuasa di negeri ini. Jadi kamu harus mengatakan yang sebenarnya. Kyai Buta LOcaya hendaknya juga engkau beri tahu bahwa dia diminta untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Ki Dermakanda menjawab, “Daulat tuanku, asal lengkap sesajennya tentu dia mau mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Keterangan dari Kyai Buta Locaya bias ditulis atau dicatat kemudian dipersembahkan kepada raja atau pembesar. Karena hamba kira sudah cukup, perkenankan hamba mohon pamit pulang dulu. Besk hari Jum’at Kliwon hamba akan menghadap lagi. Hamba mohon agar tuan hamba menyediakan sesajen yang lengkap, seperti layaknya orang hendak menyewa atau memainkan wayang krucil.”
Kemudian Ki Dermakanda mohon diri dan setelah diijinkan oleh Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung pulang.
Pada hari Jum’at Kliwon yang ditentukan, Mas Ngabei Purbawidjaja sudah menyiapkan sarat-sarat dan sesajen lengkap, tidak kurang satupun. Semua sesajen itu diatur dan ditata di atas tikar pandan yang masih baru di kamar tamu.
Kira-kira menjelang tengah malam, Ki Demakanda dating menghadap mas Ngabei Purbawidjaja serta membawa temannya seorang nayaga ( pemukul gamelan atau pemukul alat music Jawa) bernama Pak Sondong yang sudah lanjut usianya. Dia kemudian dipanggil untuk masuk ke kamar yang sudah disiapkan.
Setelah mereka duduk menghadap Mas Ngabei Purbawidjaja, ia bertanya kepada tamunya,”Mana Wayangnya?”
Ki Dermakanda menjawab,”Tidak usah menggunakan wayang, yang menjadi wayang adalah hamba berdua. Hamba mewakili tuan hamba sedangkan Pak Sondong yang akan dimasuki(dirasuki)jin Kyai Buta Locaya.Nanti jika hamba sudah membakar dupa, Ki Buta Locaya akan segera masuk ke dalam raga Pak Sondong dan hamba menjadi wakil tuan hamba.Hamba bertanya kepadanya dan dia akan menjawbnya. Untuk itu hamba mohon agar tuan hamba mencatat semua yang di katakana Pak Sondong.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung berkata,”Baiklah, coba segera laksanakan semua apa yang kamu inginkan, saya akan mencatatnya.”
Powered by Blogger.