LEGENDA KEDIRI ( KADHIRI)

Wednesday, 29 February 2012
Ki Dermakanda lalu membakar dupa dan membaca mantra. Suasana menjadi hening. Beberapa saat kemudia, Ki Dermakanda berhenti membaca mantra dan berhadap-hadapan dengan Pak Sondong. Keduanya berpandang-pandangan. Sekejap kemudian Pak Sondong kehilangan kesadaran lalu terjatuh. Tak lama kemudian di bangun kembali dan duduk tegak. Pada saat yang sama Ki Dermakanda berpura-pura atau bertingkah seolah-olah dia adalah mas Ngabei Purbawidjaja yang sedang menyambut kedatangan tamunya sambil berkata, ”Selamat dating Ki Buta locaya.” Pak Sondong yang raganya sudah dimasuki jin Buta Locaya menjawab, ”Aada keperluan apa Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil saya ?” Ki Dermakanda yang berteriak dan bertingkah menjadi Mas Ngabei Purbawidjaja menjawab, “Iya Kyai Buto Locaya, mengapa saya mengundang tuan datang ke rumah saya karena ada dua tujuan. Yitu, pertama saya ingin bersahabat dengan tuan dan kedua karena saya mempunyai persoalan yang harus saya jawab atau saya selesaikan. Persoalan itu adalah, saya mendapat tugas dari pembesar untuk memperoleh keterangan tentang babad Nagari Kadhiri. Bagaimana asal mulanya menjadi kerajaan, kapan berdirinya dan siapa yang menjadi raja yang pertama? Juga siapa pengganti-penggantinya sampai pada saat ini? Bagaimana ceritanya semua itu? Saya sangat kesulitan karena tidak mengetahui cerita atau sejarah nagari Kadhiri ini. Selama ini yang saya ketahui hanya cerita Panji Kudarawisrengga atau Panji Inukarpati serta masa sesudahnya. Cerita sebelum masa Panji saya tidak tahu sama sekali. Menurut penurutan Ki Dermakanda, saya harus bertanya kepada tuan, Ki Buto Locaya. Untuk itulah saya mengundang tuan kerumah saya untuk menceritakan legenda itu sehingga saya menjadi tenang dan bias menjalankan tugas untuk memperoleh cerita legenda kota Keddhiri. Tuan pasti maklum tentang hal ini dan tuan pasti bias menceritakan legenda ini dengan benar dan baik, karena tuanlah yang menjadi raja atau pemimpin semua makhluk halus yang ada di Kediri.” Pak Sondong yang sudah kerasukan Buta Locaya langsung tertawa keras sekali sambil berkata,”Ha…ha…ha…,Mas Ngabei purbawidjaja, kalau hanya soal yang begitu, itu mudah sekali. Karena sesungguhnya sayalah cikal-bakal atau orang pertama yang membuka hutan dan yang pertama bertempat tinggal di Kadhiri. Semula saya ini adalah seorang manusia. Nama saya Kyai Daha. Saya mempunyai saudara bernama Kyai Daka. Ketika itu saya dan adik saya bersama-sama menebangi hutan di dekat sungai Kadhiri (Barntas) dengan maksud untuk dijadikan pemukiman. Waktu itu tempat tersebut masih merupakan hutan belantara yang lebat bahkan masih merupakan hutan perawan yang belum tersentuh tangan manusia, karena memang belum ada seorang manusiapun yang hidup di situ. Singkatnya, setelah kami selesai menebangi pohon-pohon yang besar-besae dan tinggi-tinggi, kemudian kami membersihkannya. Tempat itu kemudian kami jadikan tempat tinggal untuk kami berdua, saya dan adiksaya Kyai Daka. Ketika itu saya didatangi Syanghyang Wisnu yang bersabda kepada saya bahwa beliau menghendaki untuk mengejawantahkan atau turun dari kahyangan, menjadi manusia dan akan menjadi raja di permukiman yang kami buat. Saya tunduk dan berserah diri atas di kehendak Dewa Wisnu. Kemudian Batara Wisnu menjadi raja di Kadhiri dan bergelar Prabu Sri Aji Jayabaya. Saya sendiri lalu diberi nama Buta Locaya yang artinya: Orang bodoh tetapi lo kok dapat dipercaya. Sabda sang Prabu aji Jayabaya begini,”Engkau memang orang bodoh tetapi dapat dipercaya. Mengenai diriku aku hanya menjadi raja. Tetapi engkau berdua saya berii tugas untuk selalu memelihara anak cucumu kelak, walaupun engkau berdau sudah muksa (moksa) atau tidak berwujud manusia hidup.” Nama adik saya, Kyai Daka juga dipakai untuk memberi nama desa. Desa tersebut dinamakan Desa Daka. Adik saya juga diberi nama baru, yaitu Kyai Tunggul Wulung serta dijadikan senapati.”(Catatan: Menurut karangan atau kitab Aji Pamasa, yang pertama menjadi raja Memang ialah Prabu Gendrayana lalu berputra Prabu aji jayabaya, penjelmaan Batara Wisnu, jadi bukan Wisnu Ngajawantah). Selanjutnya Ki Dermakanda bertanya,”Selama berapa tahun Prabu Jayabaya menjadi raja di Kediri dan dimanakah letak kerajaanny?” Pak Sondong pun menjawab, ”Letak kerajaannya disebelah Timur Bengawan dan disebut Mamenang atau Daha. Memenang adalah nama kerajaan. Sedangkan Daha adalah nama daerah ( nagarai). Dinamakan Memenang sebab pada waktu itu kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang utama (pemenang) dalam hal. Nama Prabu jayabaya terkenal di seluruh Jawa dan besar pengaruhnya. Raja-raja dari negeri asing banyak yang takhluk di bawah duli paduka Sang Prabu Aji Jayabaya tanpa diperangi terlebih dahulu. Kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa menghaturkan upeti yang berupa mas, intan, berlian, hasilbumi, hasil kerajinan tangan dan segala macam harta benda yang berharga serta puteri-puteri untuk dijadikan dayang-dayang. Raja-raja di luar kekuasaan kerajaan Kediri bersatu dan bersujud di bawah raja Kadhiri. Mereka melakukan ibadahnya dengan baik sungguh-sungguh, mempelajari segala macam ilmu, seperti ilmu duniawi dan ilmu batin. Pengetahuan itu mereka kuasai dan mereka amalkan dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka sangat taat dalam hal ambatar atau melakukan ibadahnya. Semua diyu, danawa sangat ketakutan. Raksasa yang jahat dan jail tak mampu menggoda ketentraman di Kadiri. Karena itulah, pada waktu itu tanah Jawa sangat tentram dan taka da yang berani menggangu, merusak atau membuat keonaran. Semua penghalang yang ada dimusnahkan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.” Melalui Pak Sondong, Kyai Buta Locaya meneruskan penjelasannya,”Karena itu sang Prabu dan balatentaranya, yang berpangkat tinggi atau rendah selalu menghibur diri dan saling bertatap muka. Jika malam hari sang Prabu seringkali pergi ke pesanggrahan Wanacatur bersama putrinya yang bernama Mas Ratu Pangedhongan. Dan yang mendapat tugas untuk mengiringi dan mengawal Sang Prabu dan puterinya adalah hamba sendiri dan adik hamba Ki Tunggulwulung. Biasanya sesudah sampai di pesanggrahan, Sang Prabu duduk di halaman memandang orang lalu-lalang dan seringkali membicarakan hal-hal yang penting, antara lain tentang pemerintahan agar kerajaan tetap tentram damai dan maju serta hal-hal penting lainya. Karenanya pesanggrahan itu dinamakan Wanacatur yang artinya hutan tempat merembug atau berunding. Jika ada hal yang perlu dipecahkan, saya dan Tunggulwulung ditugaskan untuk mengiringi baginda raja pergi ke Wanacatur, diajak membicarakan dan memecahkan segala persoalan yang dihadapi Sang Prabu. Menurut pengamatan saya sang Prabu Aji Jayabaya dan puterinya Mas Ratu Pagedhongan apabila sedang di Wanacatur tak pernah bersantap(makan nasi). Beliau hanya menyantap bubur pati kunyit dan temulawak, meskipun beliau dan puterinya berhari-hari, bahkan sampai tujuh atau sepuluh hari di Wanacatur. Pengikutnya atau para abdi dalem makan nasi jagung atau ayam. Sang Prabu sendiri tak pernah makan daging binatang jenis apapun, tidak juga daging ikan sungai maupun laut. Karena itu pula di sebelah tenggaranya kota Mamenang ada desa bernama si Kunir dan si Lawak, sebab desa itu menghasilkan hasil bumi kunyit dan temulawak, yang menjadi santapan sang Prabu. Hati, pikiran dan jiwa sang Prabu menjadi bersih dan mampu mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah ataua sidik ing paningal,bahasa Jawa), karena itu beliau bertapa dan Manahan hawanafsu. Apalagi sang Prabu itu titisan Wisnu.” Kemudian Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya, “Apakah Prabu Jayabaya yang membuat ramalan jaman yang belum terjadi lebih terkenal dengan Jangka Jayabaya yang kemudian disebut Serat Jayabaya?” Pak Sondong langsung menjawab, “Iya benar. Tetapi Serat Jayabaya itu ada tiga. Yang pertama karangan atau ciptaan Syeh Sebaki (Syech Subakir), utusan Sang Prabu Ngerum (Handramaut) yang memberi tumbal tanah Jawa dan di pasang di gunung Tidar, Magelang. Atau dipasang di tanah Pacitan yang kelak di kemudian hari melahirkan orang Jawa Baru, yang membuat angka satu atau membuat angka berkepala satu, sampai sekarang angka tahunya sudah mencapai tahun 1761(*). Yang kedua Serat Jayabaya karangan Prabu Jayabaya bernama Serat Jayabaya atau Jangka Jaybaya (**). Yang ketiga Pangeran Banjarsari, ratu Jenggala yang kemudian pindah ke Kerajaan Galuh. Karangan Pangeran Banjarsari disebut juga dengan Surat Jayabaya, sebab antara Prabu Jayabaya dan Pangeran Banjarsari itu sebenarnya sama. Jelasnya Pangeran Banjarsari titisan Prabu Jayabaya. Karena itu pula kesaktian kedua raja itu sama. Kedua-duannya merajai semua makhluk halus.” Pak Sondong yang masih kerasukan Buta locaya meneruskan kisahnya, “Pada jaman pemerintahan Prabu Jayabaya, datanglah seorang raksasa perempuan di Kadhiri. Seluruh penduduk Kadhiri kacau-balau karena ketakutan. Mereka mengira raksasa perempuan itu akan mengacau dan melakukan kejahatan. Karena itu raksasa tersebut dikroyok oleh penduduk. Saya dan adik saya di Tunggulwulung ikut mengkroyok juga. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh tetapi belum mati. Lalu saya bertanya kepadanya. ‘Apa maksudmu masuk ke daerah kami?’ Raksasa itu menjawab, ‘Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk aku jadikan junjunganku atau suamiku.’ Lalu saya bertanya lagi, ‘Dimana tempat tinggalmu?’ Dia menjawab, ‘Rumahku di Lodoyong (lodaya, blitar?), di tepi laut selatan.’ Semua perkataan raksasa perempuan itu kemudian saya sampaikan kepada sang Prabu Aji Jayabaya. Selanjutnya Sang Prabu mendatangi tempat raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu bertanya apakah benar semua berita yang di sampaikan oleh Tunggulwulung dan saya? Sang raksasa menjawab, ‘Benar.’ Lalu Prabu Aji Jayabaya berkata, ‘Jika memang benar demikian kehendakmu dewata tak mengijinkan. Tetapi saya akan memberitahu kepadamu, kelak setelah aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat kerajaan Kadhiri ada seorang yang mengangkat diri menjadi raja, Kerajaan itu beribukota di Prambanan Nama raja itu Prabu Prawatasari, raja itulah yang akan menjadi jodohmu.’ Sebelum Prabu Jayabaya menyelesaikan sabdanya, raksasa itu menghembuskan napasnya penghabisan. Sang Prabu merasa keheranan dalam hatinya. Beliau kemudian memberi dua perintah kepada saya. Pertama desa di sebelah selatan Mamenang di berinama GUMURAH ( yang kemudian dikenal menjadi Girah dan sekarng menjadi wilayah kecamatan Gurah). Diberinama Gumurah karena ketika kami bersama penduduk desa itu mengeroyok raksasa perempuan itu, rakyat bersorak-sorak dan berteriak-teriak sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk, (gumurah = gumerah,bahasa Jawa). Ke dua, raja memerintahakan agar dibuat patung yang berupa dengan raksasa perempuan yang baru meninggal itu, namun wajahnya hendak di pahat serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Nyai.Desa tempat patung itu dinamakan Desa Nyaen. Desa itu sampai sekarang masih ada, terletak di sebelah selatan bekas kota Mamenang. Tinggi patung itu 14 kaki. Bola matanya sebesar alas cawan (lepek, bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Tidak lama setelah memberi dua perintah itu kemudian Sri Aji Jayabaya muksa. Saya dan Tunggulwulung ikut muksa mengikuti sang Prabu. Namun sebelum muksa Sang Prabu Aji Jayabaya memberi perintah lagi. Saya ditugaskan untuk bertempat tinggal di GOA SELOBALE yang terletak di sebelah barat Banawi atau kali Brantas. Saya dijadikan pemimipin kaum makhluk halusyang bermukim di situ. Sedangkan Tunggulwulung ditugaskan untuk bertempat tinggal di gunung Kelud, menjadi raja makhluk halus yang ada di situ. Tetapi saya dibawah kekuasan Tunggulwulung juga. Prabu Jayabaya juga bersabda kepada saya ‘Engkau jangan salah terima. Mengapa engkau orang yang lebih tua dari pada adikmu saya tempatkan di sebelah barat sungai Brantas? Sebabnya adalah karena tanah di sebelah barat sungai bernuansa dingin, maksudnya taka da perkara atau hanya sedikit persoalan yang harus dihadapai dan dicari penyelesaiannya. Engkau hanya bertugas menjaga. Tunggulwulung saya beri tugas di sebelah timur sungai Brantas, sebab tanah disitu bernuansa panas. Banyak sekali perkara atau kesulitan yang harus diatasi dan diselesaikan. Di tempat itu sering terjadi lahar yang merusak desa-desa, juga terdapat hutan-hutan yang hasilnya bisa dipakai menghidupi rakyat di sekitarnya. Jadi si Tunggulwulung saya tugaskan untuk mengawasi aliran lahar. Aliran hendaknya tetap melalui aliran yang lama, tidak boleh melalui jalan baru atau membuat aliran baru. Jika hendaknya menerjang desa-desa, penduduk desa hendaknya engkau beritahu terlebih dahulu dengan jalan orang-orang desa diberi wisik atau ilham yang jelas terlebih dahulu, sehingga mereka bisa mengungsi ke tempat yang aman dan selamat. Hasil hutan, hasil pertanian pokoknya semua hasil bumi yang menjadi makanan penduduk hendaknya kau jaga baik-baik jangan sampai terkena lahar. Apalagi bila ada orang-orang yang berani merusak hutan atau menebangi pohon-pohon besar yang buahnya dapat dimakan manusia hendaknya si perusak itu kau hokum, kau ganggu, agar dia tidak jadi melaksanakan niatnya. Gunanya apabila ada orang asing yang mengungsi atau dating ke tempat itu dan membutuhkan pertolongan, hasil hutan atau bumi yang dapat dimakan dapat disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Akan tetapi cegahlah mereka yang ingin membawa barang-barang itu ke negerinya. Dia. Pokonya orang asing tidak boleh membawa pulang barang-barang dari Kadhiri ke negerinya.” Melalui Pak Sondong, Ki Buta Locaya meneruskan ceritanya, “Saya dan Tunggulwulung melaksanakan sabda sang Prabu dengan sungguh-sungguh. Setelah bersabda demikian Sang Prabu lalu pergi ke kahyangan. Sedangkan saya sendiri lalu menjadi siluman, menjaga tanah di sebelah barat sungai Brantas dan Tunggulwulung menjaga tanah di sebelah timur sungai Brantas. Sampai sekarang saya dan Tunggulwulung masih tetap setia menjalankan tugas yang di sabdakan oleh Sang Prabu Aji Jayabaya. Karena, sampai sekarang apabila ada penduduk yang bertempat tinggal di sekitar gunung Kelud yang mau menebangi pohon-pohon besar (yang selama ini sesungguhnya yang memberi nafkah kepada mereka), pastilah yang bersangkutan akan menderita sakit atau gila karena sebenarnya mereka itu diganggu oleh si Tunggulwulung. Orang-orang yang berbuat zina (mesum) di tempat itu pasti dimakan harimau. Jadi orang-orang yang bertempat tinggal di situ harus jujur, baik budi pekertinya, tidak boleh berhati jahat. Sampai sekarang tanah Kadhiri yang di sebelah timur Bengawan (Brantas) biasa dijadikan tempat mengungsi orang-orang luar Keraton Kadhiri yang menderita kesengsaraan. Para pengungsi itu akhirnya hidupnya menjadi bahagia dan mendapat kemuliaan. Semua itu terjadi karena sabda Sang Prabu Aji Jayabaya. Tetapi apabila mereka sudah kaya, hidupnya sudah serba cukup, kemudiaan ke tumpah darahnya, mereka akan jatuh miskin lagi. Sampai sekarang saya masih tetap menjadi pemimpin atau raja makhluk halus di sebelah barat bengawan dan bertempat tinggal di goa Selabale. Sedangkan Tunggulwulung bertempat tinggal di gunung Kelud. Waktu itu ada seorang abdi raja Prabu Jayabaya bernama Ki Krama Taruna yang ikut muksa menjadi siluman, lalu diperintahkan bertempat tinggal di Sendang (mata air) Desa Kalasan. Tempat tersebut terletak di barat daya kota Mamenang, di sebelah barat gunung Kelud dan menjadi dhanyang atau datu di situ. Namanya tetap Kyai Krama Taruna. Dia berada di bawah kekuasaan Tunggulwulung juga. Sampai sekarang para petani yang mempunyai sawah di situ, apabila sawahnya kekurangan air lalu mengadakan upacara dengan jalan menyediakan sesaji, air sendhang atau mata air di situ diaduk. Taklama kemudian air yang keluar dari mata air itu kian nampak banyak, permukaanya tampak naik lalu airnya mengalir ke sawah lading. Setelah Sang Prabu Jayabaya muksa, beberapa waktu kemudian di Kadhiri ada banjir besar. Kraton Mamenang musnah dan pindah ke Purwacarita asalmulanya menjadi hutan kembali. Sedang kerajaan Mamenang kemudian pindah ke Medang Kamulan.”

DIALOG DENGAN KI BUTA LOCAYA

Sunday, 19 February 2012
Pada tahun 1832,ketika kota Kediri diperintah oleh Gupermen (pemerintahan pada jaman Hindia Belanda), pembesar Belanda bertanya tentang legenda kota Kediri. Saat itu yang ditanya adalah Mas Ngabei Purbawidjaja, seorang beskal atau Jaksa Ageng di kota Kediri yang pertama. Raden Mas Ngabei Purbawidjaja adalah canggah atau cicit Pangeran Katawengan yang berkuasa di kota Kediri.
Pada suatu hari Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil dalang wayang klithik bernama Ki Dermakanda yang bertempat tinggal di kawasan Kandairen, Mojoroto, Kediri. Dalang itu sudah amat tua, tetapi masih mampu berbicara jelas, dapat bercerita dengan baik dan sangat pandai berkisah. Setelah sang dalang tiba di rumah Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung diberi tahu tentang perlunya di panggil oleh Mas Ngabei Purbawidjaja.
“Ki Dermakanda, karena ada pertanyaan dari Gupermen tentang legenda atau riwayat tentang bagaimana asal mula terjadinya nagari Kadhiri atau kota Kediri, maka saya berpendapat hanya engkau yang dapat menjawab pertanyaan Gupermen tersebut.Mengapa? Karena engkau adlah seorang dalang kuno. Dan kisah yang engkau ceritakan ketika mendalang adalah tentang nagari Kadhiri, Janggala, Ngurawan dan Singasari. Jadi engkau pasti dapat menceritakan sejarah Kediri. Ceritakanlah bagaimana lahirnya kota Kediri, asal mulanya sampai menjadi nagari dan siapa yang mula–mula melakukan hal itu? Karena pengetahuanku mengenai cerita itu hanya terbatas pada cerita Panji Inu Karpati dan masa sesudah Panji Inu Karpati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kartapati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kertapati tidak aku ketahui sama sekali. Untuk itu cobalah ceritakan masa sebelum Panji Inu Kertapati. Aku akan mencatat kisahmu,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja kepada Ki Dermakanda.
Mendapat pertanyaan dan perintah seperti itu, Ki Dermakanda menjawab. ”Bendara ( yang dipertuan), mengenai cerita Nagari Kadhiri, sesungguhnya pengetauhan hamba sama dengan pengetauan tuan hamba, yaitu mulai Panji sampai sesudah masa kehidupan Panji. Masa sebelum Panji hamba juga tidak mengerti. Namun demikian, bila ada pembesar yang menghendaki keterangan tentang babad Kadhiri, rasanya hamba dapat memberikan keterangan. Karena hamaba bersahabat dengan jin bernama Kyai Buta Locaya yang bersemayam di Gua Sela Bale, Gunung Klothok. Dia adalah raja jin di seluruh wilajah Kadhiri, menguasai gunung Kelud,gunung Wilis hingga ke wilayah utara sampai perbatasan Japan (Japanan—sekarang daerah Mojosari, Mojokerto). Sebelum daerah ini menjadi kota, Kyai Buta Locaya sudah tinggal di kayangan hutan gunung wilis. Untuk iyu hamba berpendapat bahwa Kyai Buta Locaya mengetahui babad atau legenda kota Kediri ini.”
“Jika demikian, bagus sekali. Pertemukan saja aku dengan Kyai Buta LOcaya dan aku akan bertanya sendiri kepadanya,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja.
Ki Dermakanda langsung menjawab,”Baiklah tuan, asalkan dia mau bertemu dengan tuan hamba. Tetapi walaupun dia mau bertemu dengan tuan hamba, hambalah yang akan menjadi peantara.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung menyahuti,”Ya, sekehendakmu sajalah. Tetapi bila kamu yang dijadikan perantara, jangan berbicara yang bukan-bukan atau asal omong saja seperti kebiasaan orang yang kemasukan setan atau seperti orang kesetanan dan berbicara ngawur. Karena perkara ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan permintaan orang berkuasa di negeri ini. Jadi kamu harus mengatakan yang sebenarnya. Kyai Buta LOcaya hendaknya juga engkau beri tahu bahwa dia diminta untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Ki Dermakanda menjawab, “Daulat tuanku, asal lengkap sesajennya tentu dia mau mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Keterangan dari Kyai Buta Locaya bias ditulis atau dicatat kemudian dipersembahkan kepada raja atau pembesar. Karena hamba kira sudah cukup, perkenankan hamba mohon pamit pulang dulu. Besk hari Jum’at Kliwon hamba akan menghadap lagi. Hamba mohon agar tuan hamba menyediakan sesajen yang lengkap, seperti layaknya orang hendak menyewa atau memainkan wayang krucil.”
Kemudian Ki Dermakanda mohon diri dan setelah diijinkan oleh Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung pulang.
Pada hari Jum’at Kliwon yang ditentukan, Mas Ngabei Purbawidjaja sudah menyiapkan sarat-sarat dan sesajen lengkap, tidak kurang satupun. Semua sesajen itu diatur dan ditata di atas tikar pandan yang masih baru di kamar tamu.
Kira-kira menjelang tengah malam, Ki Demakanda dating menghadap mas Ngabei Purbawidjaja serta membawa temannya seorang nayaga ( pemukul gamelan atau pemukul alat music Jawa) bernama Pak Sondong yang sudah lanjut usianya. Dia kemudian dipanggil untuk masuk ke kamar yang sudah disiapkan.
Setelah mereka duduk menghadap Mas Ngabei Purbawidjaja, ia bertanya kepada tamunya,”Mana Wayangnya?”
Ki Dermakanda menjawab,”Tidak usah menggunakan wayang, yang menjadi wayang adalah hamba berdua. Hamba mewakili tuan hamba sedangkan Pak Sondong yang akan dimasuki(dirasuki)jin Kyai Buta Locaya.Nanti jika hamba sudah membakar dupa, Ki Buta Locaya akan segera masuk ke dalam raga Pak Sondong dan hamba menjadi wakil tuan hamba.Hamba bertanya kepadanya dan dia akan menjawbnya. Untuk itu hamba mohon agar tuan hamba mencatat semua yang di katakana Pak Sondong.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung berkata,”Baiklah, coba segera laksanakan semua apa yang kamu inginkan, saya akan mencatatnya.”
Powered by Blogger.