CANDI SANGGRAHAN

Friday, 6 May 2011
SITUS CANDI SANGRAHAN

candi sanggrahan



Komplek Lapangan



Komplek candi berada pada pemukiman yang cukup subur dan terdiri atas tiga bangunan, masing – masing tidakutuh lagi. Secara administrasi situs masuk dalam lingkungan Dusun Sangrahan, Desa Sanggrahan yang merupakan daerah rawan banjir.
Secara umum komplek percandian terdiri atas sebuah bangunan induk dan 2 buah sisa bangunan kecillainya. Bangunan induk berukuran panjang 12.60m lebar 9.05 m tinggi 5.86 cm. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing – masing berdenah bujur sangkar dengan arah atap menghadap ke barat. Bangunan kecil yang berada di sebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Bahan yang digunakan dalam pembangunanya adalah bata. Di tempat ini dulu terdapat lima buah Arca Budha yang masing – masing memiliki posisi mudra yang berbeda. Demi keamanan dari pencurian,sekarang arca tersebut di simpan di rumah juru pelihara.

Bangunan diatas berada padat teras/ undakan berukuran 51 m x 42.50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang daridua meter.
Berdekatan dengan komplek Candi Sangrahan ini terdapat Candi Boyolangu serta peninggalan kuno lain di perbukitan Walikukun. Seperti Gua Selomangkleng (sekitar 1 km) dan Goa Pasir. Dapat diduga bahwa kekunaan itu dibangun pada masa yang tidak berbeda. Saat ini fungsi dari situs tersebut sebagai obyek wisata,kebanyakan para pelajar baik dari daerah Tulungagung maupun dari luar daerah.


Latar Belakang Sejarah
Hingga saat ini dikenal cerita rakyat versi Sina Wijoyo Suyono berkenaan dengan Candi Sanggrahan, yang dikatakan sebagai tempat yang dipergunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapadmi),pendeta wanita Budha (Bhiksumi) masa kerajaan Majapahit Pemerintahan Hayam Wuruk. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat disekitar Boyolangu. Dalam versi tersebut, Candi Sanggrahan disebut Candi Cungkup, sedangkan candi Boyolangu dikenal dengan nama Candi Gayatri ( Anonim 1985 ) Sumber lain yang berhubungan dengan kekunaan itu belum dijumpai.



Latar Belakang Budaya
Tidak banyak yang dapat diungkapkan mengenai candi tersebut, disamping karena kurangnya bahan tersedia juga mengingat keletakanya yang berdekatan dengan situs lain yang sezaman. Secara umum pembicaraan tentang latar belakang budayanya dapat disejajarkan dengan Candi Boyolangu. Seperti halnya candi lain yang masih banyak dijumpai,fungsi utama sebuah candi adalah tempat pemujaan. Hal ini berlaku juga untuk Candi Sanggrahan, ditambah dengan keterangan lain yang menyebutkan sebagai sebuah tempat persinggahan sebelum diadakan upacara sekar di Candi Gayatri.
Berdasarkan padatemuan berupa arca – arca Budha dalam berbagai mudra-Nya,dapat dikatakan bahwa keagamaan Candi Sanggrahan ini adalah agama Budha. Namun halini bukanlah sesuatu yang mutlak,karena pada zaman kerajaan Singhasari Majapahit diketahui adanya perbauran antara kepercayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dan kepercayaan Siwa dan budha ( Slamet Mulyana 1979 )
Bila anda ingin video tenyang situs candi sanggrahan bisa klik link di bawah ini :

SITUS CANDI DADI

SITUS CANDI DADI
Kondisi Lapangan


Komplek candi ini berada padaketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di tengah areal kehutanan dilingkunganb RPH Kalidawir. Secara administratif candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Lokasi candi ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 40 menit dari DesaWajak kidul kea rah Selatan.
Candi inimerupakan candi tunggal yang tidakmemiliki tangga masuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.50m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan,pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.



Dalam perjalanan kelokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuna yang masing – masning disebut Candi Urung, Candi Buto, dan Candi Gemali. Candi – candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit itu pun sudah dalamjumlah yang sangat kecil yang memadai keberadaanya dahulu.
Saat ini situs dipergunakan sebagai obyek wisata dan pengenalan sejarah bagi siswa – siswa di lingkup Kabupaten Tulungagung,bahkan rombongan pelajar sering memanfatakan lingkungan sekitar untuk melakukan perkemahan.

Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan HayamWuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalamkondisi yang dermikian,penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak – puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan.
Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.



Latar Belakang Budaya
Selain sebagai temapat pemujaan dapatdiduga bahwacandu tersebut dahulu berfungsi juga sebagai tempatpengabuan, pembakaranjenazah tokoh penguasa.Sifatkeagamaan yang melatar belakangi pendiriannya secaratepat belumdiketahui.Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya datayang mampu menunjuang upaya pengenalannya secara langsung.Meskipundemikian sumuran yang terdapatdi bagiantengah bangunan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk darikarakter sebuah pencandian berlatar keagamaan hindu.
Keletakan pada puncak sebuah bukit yang cukup sulit untuk dijangkau, dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejakj aman prasejarah yang percaya bahwa arwah paraluluhur berada disana, masyarakat penganut budaya hindu juga memanfaatkan puncak-puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal itu bertalian dengan .Hal itu berkaitan dengan mitos keagamaan dengan mitos keagamaan Hindu yang menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah tempat yang tinggi. Bila tidak terdapat sebuah puncak gunung atau bukit, merekamenggunakan terasberundak yang secara fisik da[at menggambarkan keletakanya yang lebih tinggi, atau dapat pula dilakukan dengan mengadakan pembagian halaman. Halaman terakhir adalah tempat, yang dianggap paling tinggi dan di tempat itulah diletakkan sesuatu yang dianggap paling megah atau paling besar sebagai cerminan kahyangan.



Berkenaan dengan fahan yang demikian itu, lingkungan alam disekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Berada pada puncang bukit yang mengahadap kelembah utara ,karya arsitektur tersebut betul – betul mennggambarkan kemegahan. Sesuatu yang memang patut dipersembahkan kepada sesembahanya. Tidak mengherankan bila disekitarnya,padaradius kurang 1 km, dijumpai sisa/bekas bangunan suci lain yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai candi Urung,Candi Buto dan candi Gemali. Semuanya menempati puncak – puncak bukit yang langsung berhadapan dengan lembah Boyolangu disebelah utaranya.
Untuk kepentingan manusia masa kini, pengenalan akan pemahaman tentang kegungan sang pencipta memang dapat dipupuk dari situs dan lingkungan alam di sana. Mencitai keindahan alam yang terdampar disekitar Candi Dadi beserta kelompok candi lain didekatnya,juga sejalan dengan upaya mencintai karya budaya nenek moyangnya, dan itu semua adalah juga sama untuk mencintai Penciptanya.

SITUS CANDI MIRIGAMBAR

Thursday, 5 May 2011
SITUS CANDI MIRIGAMBAR

Kondisi Lapangan



Candi Mirigambar terletak di wilayah Dusun Mirigambar, Desa Mirigambar. Candi yang berada di perkampungan yang masih dipenuhi dengan lkahan luas untuk pertanian,merupakan sebuah candi tunggal, karena hingga saat ini belum dijumpai adanya candi perwara di dekatnya.
Keistimewaan candi tunggal yang dibangun dari bahan bata dan berpintu masuk di sisi barat ini, tampak pada batur batu persegi beserta sebuah undakan pada sisi barat yang dipenuhi oleh ornament.


Pada sisi utara,timur dan selatan terdapat bas-relief, dan di sudut tenggara terdapat sebuh pilaster yang kedua sisinya melukiskan seekor burung garuda. Pada bagian batu candi terdapat angaka tahun 1214 Ç sedangkan dua buah lain yang berukuran panjang lebih kecil berangka tahun 1310 Ç. Ukuran candi adalah, panjang 8.50m, lebar 7.70m dan tinggi 2.35m.


Latar Belakang Sejarah





Pada bagian batu candi teresebut terdapat tulisan singkat berupa angka tahun,dua diantaranya dapat dikenali yakni 1214 Ç dan 1310 Ç. Berdasarkan data itu, dapat dipastikan bahwa masa pembangunan dan penggunaanya berlangsung pada akhir abad XII hingga akhir abad XIV.
Latar Belakang Budaya
Pemanfaatan bata untuk bahan bangunannya merupakan salah satu cirri bangunan klasik Indonesia pada zaman Jawa Timur.
Sifat keagamaanya adalah Hindu,seperti yang dapat dikenali dari arca garuda pada pilaster candi.
Dalam pantheon dewa – dewa Hindu,garuda adalah wahana dewa Wisnu. Dewa Wisnu sendiri adalah lambang dari pemelihara dunia. Sebagaimana yang dikenal secara umum,candi ini digunakan sebagai tempat menjalankan upacara pemujaan bagi dewa oleh para penganut agama Hindu.

SITUS CANDI AMPEL
Kondisi Lapangan


Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman di wilayah Dusun Joho,Desa Ngampel.Lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekitar candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya beraspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.

Kondisi Lapangan
Candi Tunggal dengan didukung sebuah yoni ini berada di lingkungan pemukiman diwilayah Dusun Joho, Desa Ngampel.lingkungan sekitar candi merupakan pemukiman yang tidak begitu padat. Lahan di sekeliling candi berupa halaman yang ditanami berbagai jenis tanaman keras. Jarak dari jalan raya ber raspal yang menghubungkan Kalidawir dan Tulungagung sekitar satu kilometer.
Candi mengarah kebarat dan berukuran 19,7 x 15m. Keadaan candi sudah hancur sehingga yang tampak sekarang hanyalah tumpulan bata setinggi 1,65m. Walaupun demikian pada sisa kaki candi di sisi selatan masih terlihat ornament sulur – suluran dalam motif flora. Kerusakan candidisebabkan adanya tujuh pohon besar yang tumbuh di tengah sisa bangunan tersebut. Yaitu pohon Joho, Winong, Aren, Kendal, serut, Ingas dan Leran. Tinggalan lain yang terdapat disekitar halaman candi adalah dua buah Arca Dwarapala, sebuah Yoni dan beberapa balok bata andesit.

Latar Belakang Sejarah
Sangat menarik untuk diamati bahwa candi ini terdapat padadataran rendah di sekitar kaki perbukitan Walikukun. Sebagaian besar percandian yang berada dilokasi lain padadataran rendah yang sama diketahui berasal dari Masa Majapahit. Berdasarkan keletakan maupun maupun rancang bangunanya dapat dipastikan bahwa candi Ampel juga dibangun padawaktu yang sama, yaitu suatu periode di mana cukupbanyak dibangun percandian dengan menggunakan bahan bata.

Latar Belakang Budaya
Walaupun hanya berupa tumpukan bata yang saat ini “diikat” oleh akar – akar pohon besar,kekuatan situs ini tetap dapat dikenali. Pada diding kaki candi,antara lain, masih tampak adanya ornament berupa sulur – suluran. Selain arca Dwarapala dan Yoni,di sana terdapat pula tujuh umpak batu.
Keberadaan Yoni jelas menunjukan bahwa bangunan candi itu berlatar belakang keagamaan Hindu. Adapun tujuh buah umpak yang terdapat di sana menunjukkan adanya manfaat bangunan terbuat dari bahan lain yang digunakan untuk menaungi bagian atas candi tersebut.
Sebagaiman kebanyakan candi di Nusantara, candiAmpel dahulu dugunakan pula sebagai tempat pemujaan. Sekarang hanya berfungsi sebagai obyekwisata saja. Walaupun tidak lagi digunakan sebagai tempat pemujaan bagiumat Hindu,dalamkasus tertentu situs ini masih dijadikan tempat nyuwun donga oleh sementara penduduk sekitar.

CANDI GAYATRI BOYOLANGU

SITUS CANDI BOYOLANGU CANDI GAYATRI / CANDI GILANG
Kondisi Lapangan


Candi Boyolangu merupakan kom,pleks percandian yang terdiri daritiga bangunan perwara. Masing – masing bangunan menghadap kebarat, candi diketumakan kemabali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar disbanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainya.
Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar dengan panjang dan lebar 11,40 M dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30M ( dengan mengambil sisi selatan ).

Didalambangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara ( Singhosari ) yang kemudian diwakili Raden Wijaya ( Majapahit ). Masa hidupnya Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi ) masa kerajaan majapahit dengan gelar Rajapadmi.
Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan rcaadalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah unpack pada bangunan perwara ini, sebanyak tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C ( 1369 M ) dan 1322 C ( 1389 M ). Dengan adanya umpak – umpak tersebut diduga bangunan Candi Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpakpada umumnya sebagai penyangga tiang bangunan.
Berdasarkan angka tahun pada kedua umpak bangunan induk ( 1369 M, 1380 M ) maka diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ( 1359 M, 1389 M ). Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.
Banguan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.
Latar Belakang Sejarah
Candi ini ditemukan kembali padatahun 1914, yang menurut informasi sejarah dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 1389 M ). Sumber lainya menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi.
Berdasarkan pada angka tahun terdapat pada bangunan induk diketahui bahwa candi ini dibangun padazaman majapahit, yaitu sekitar abad XIV. Pembangunannya dikaitkan dengan tokoh wanita yang diduga adalah Gayatri. Menurut kitab Nagarakertagama bangunan ini didirikan pada masa Pemerintahan Hayam Wuruk ( 1359 1389 M) dengan nama Prajnaparamitaputri ( Slametmulyana, 1979 ).
Menurut keterangan para ahli bangunan inimerupakan tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.
Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat ikatakan sejaman. Sekitar 1km disebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.
Latar Belakang Budaya
Situs ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan masyarakat pendukungnya dalam pemuliaan tersebut Gayatri diwujudkan sebagai Dyani Budha Wairocana dengan sikap Dharmacakramuda.
Hal tersebut didukung dengan temuan berupa sumuran dan arca perwujudan Majapahit.melihat pada Arca Pantheon Dewa dan wahananya,dapat ditentukan bahwa situs berlatar belakang agama Hindu.
Pada masa Indonesia kuno,candi dikenal sebagai tempat pemujaan,temapat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya.
Artinya tempat tersebut selain berfungsi sebagai temnpat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Raja /Penguasa.
Fungsi candi persinggahan itu cukup menonjol mengingat berbagai sumber menyebutkan peran Candi Boyolangu sebagai tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiapbulan Badrapada.
Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah – olah melingkarinya, terdapat situs – situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis disebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs – situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing – masing situs berkisar antara 2 – 4 km.

UPACARA ADAT ULUR-ULUR



PROSESI UPACARA ADAT “ ULUR-ULUR “
Di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungangung, yakni di dukuh Buret terdapat bekas peninggalan sejarah yang berupa telaga. Telaga tersebut dimanfaatkan oleh warga sejumlah 4 desa, yauitu desa Sawo, desa Gedangan, desa Gamping, dan desa Ngentrong untuk pengairan 4 desa tersebut. Telaga tersebut berupa sumur dengan garis tengah kurang lebih 75 meter dan di sebut telaga Buret.
Penduduk dari 4 desa tersebut sangat kental mempercayai nilai-nilai magis telaga tersebut. Menurut kepercayaan, yang menguasai (mbau reksa) di telaga Buret adalah Mbah Jigan Jaya. Oleh karena itu, setiap tahunnya pada hari Jum’at legi bulan Sela(penanggalan jawa) diadakan ritual Ulur-ulur di telaga Buret. Ritual Ulur-ulur yang diadakan berupa upacara sesaji atau upacara pepetri. Oleh


masyarakat setempat ritual Ulur-ulur telah menjadi adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang mereka. Tujuan diadakannya upacara Ulur-ulur tersebut untuk menghormati para leluhur, yang mendapat kemurahan dari tuhan berupa sumber air, dalam istilah jawa ”CIKAL BAKAL”. Menurut kepercayaan msyarakat setempat apabila tidak diadakan upaca Ulur-ulur di telaga Buret maka masyarakat akan memperoleh kutukan.
Menurut kepercayaan warga setempat, sejarah adanya upacara pepetri atau upacara sesaji di awali dari kejadian yang menimpa penduduk, secara mendadak terkena musibah besar. Banyak warga yang sakit, banyak penyakit yang mematikan. Orang-orang yang sakit tersebut kemudian mendadak meninggal, istilah jawa mengatakan ”pagepluk meganturan”. Pada situasi yang kritis tersebut para punggawa pemerintahan (orang-orang pemerintahan) merasa sangat prihatin melihat kejadian itu. Dan mereka segera bersemedi memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar wilayahnya terbebas dari kutukan itu. Dalam semedinya mendapat petunjuk bahwa yang bisa memulihkan keadaan dan bahkan mampu membuat keadaan wilayahnya menjadi lebih baik adalah dengan mengadakan upacara pepetri atau upacara sesaji ruwatan dan tayuban di telaga Buret.



Ritual Ulur-ulur dimulai dengan tayuban(sejenis nyanyia-nyanyian tradisional). Tayuban dimulai dengan membunyikan gending onang-onang. Gending onang-onang tersebut dipercaya merupakan kegemaran Mbah Jigang Jaya, yakni penghuni telaga Buret. Menurut kepercayaan masyarakat pada saat gending onang-onang di bunyikan yang menari saat itu adalah ”roh” dari Mbah Jigang Jaya, biasanya dibarengi dengan adanya angin bertiup kencang, selanjutnya diteruskan dengan gending-gending lainnya. Selanjutanya adalah memandikan arca Dewi Sri Sedono dan tabur bungan di telaga Buret.
Dalam upacara Ulur-ulur harus disediakan beberapa sesaji, adapun sesaji tersebut adalah sebagai berikut:
Nasi kebule(sega gurih) sekul suci ulam sari, ambeng mule, buceng robyong, buceng kuat, jenang sengkala.
Bermacam-macam duadah(jadah)waran, jadah putih, jadah merah, jadah kuning, jadah hitam, wajik, dodol ketan, ketan kinco, bermacam-macam
kue sembilan warna.,yaitu: umbi-umbian. Masing-masing warga desa membawa kue yang berbeda warnanya.



Pisang raja, cokbakal, badek, candu, kemenyan, minyak wangi, bunga telon, mori, topi janur, tikar, gantal, gula gimbal,dan kelapa tanpa sabut. Semua dimasukkan kedalam bokor kecuali kendi, tikar, dan topi janur.
Semuanya kemudian di larung di telaga Buret.
Telaga Buret teletak di kawasan seluas 37 Ha (Dinas Lingkungan hidup), dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang keramat. Menurut kepercayaan masyarakat siapapun yang mengusik wilyah tersebut, misalnya mengambil ikannya, menebang pohon di wilayah tersebut maka akan memperoleh kutukan dari penunggu wilayah tersebut


Ditulis oleh : DIMAS JURISMA FARHAN

SEJARAH MUNCULNJA BHINEKA TUNGGAL IKA



Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra.

Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.

Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.

Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya.

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia.

Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.

Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.

Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal.

Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majhapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majhapahit;
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur

Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda.

Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.

Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur.
Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan.

Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan).

Gejala pendewaan terhadap raja atau kepada seseorang yang telah meninggal merupakan akibat pembauran antara pemujaan arwah leluhur dan Hindu-Budha masa Singhasari- Majhapahit. Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca mencatat pujaan tertinggi Bhre Hyang Wkas ing Sukha (Hayam Wuruk) adalah Sanghiyang Acalapati (Raja Gunung = Roh yang bersemayam di Gunung)

Kedudukan arca dewa sebagai raja pada hakekatnya sama dengan kedudukan menhir dalam budaya megalitik masa prasejarah. Konsep menhir didirikan sebagai tanda jasa kepala suku yang menyelenggarakan pesta jasa, feast of merit, untuk dinikmati masyarakatnya. Setelah kepala suku tersebut meninggal, menhir, yang semula sebagai simbol jasa ketika masih hidup kemudian berubah menjadi simbol (lambang) kepala suku. Roh kepala suku dianggap sebagai pelindung desa dan pembimbing masyarakat diundang turun masuk menhir melalui upacara tertentu, maka masyarakat langsung berhubungan dengan Roh Leluhurnya.

Faktor pendorong utama kebangkitan kepercayaan asli masa Majhapahit adalah situasi sosial politik yang kian goncang akibat inovasi Islam. Saat yang sama penganut kepercayaan pribumi tetap menjalankan eksistensinya bahkan kian merasuk teguh menjiwai konsep Hindu-Budha.

Maka serentak hadir gerakan millenarisme, gerakan menyelamatkan dan kebangkitan, yakni mengembalikan kepercayaan Asli pribumi dimana gunung merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau nenek moyang yang didewakan. Yang pada hakekatnya adalah Hiyang, Sang Rumuhun, Leluhur.

Gejala millenarisme tersebut dihubungkan dengan dipahatkannya relief-relief cerita ruwatan atau kaleupasan seperti yang ter-cermin pada bangunan-banguan suci yang mengacu kepada karyasastra keagamaan bertemakan konsep dewa-dewa asli, Pribumi. Diantaranya cerita Suddhamala Bhimaruci, Bubuksah Gagang Aking, Tantu Pangglaran.

Gunung Pananggungan, Gunung Arjuna,dan Gunung Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi kehadiran gejala millenarisme “kebangkitan” unsur kepercayaan asli dengan corak dan gaya seni ciri Majhapahit akhir yang sangat jauh berbeda dengan Hindu-Budha. Ciri kesenian asli lebih nampak alami, pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk, perut dan pantat besar. Penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional sebenarnya adalah elemen-elemen naturalis yang asli Pribumi.

Gejala kesengajaan dilatari konsep kepercayaan asli, mengutamakan simbolis daripada ketepatan susunan anatomisnya, sebab lebih dilatari dan ditujukan langsung kepada nilai spiritual dan magis dari pada nilai keindahannya. Senarai pemikiran personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia sehingga diupayakan berkesan statis sesuai kondisi seseorang yang telah meninggal, yang bersemayam di puncak gunung.

Gejala mesianik memuja yang dianggap akan atau mampu menyelamatkan dunia adalah untuk memperoleh kalepasan, karenanya upacara ruwatan menjadi sangat penting. Gejala mesianik yang disebut milenarisme adalah sejajar dengan ajaran para Resi yang sejak awal telah ada dan merupakan kelompok spiritual dengan memilih kehidupan di dalam lingkungan yang sunyi-terpencil. Semacam padepokan dengan menampilkan tokoh Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan.

Bima di sini dihubungkan dengan “Pahlawan Keagamaan” berkenaan dengan unsur bersatunya kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha Suksma. Selaras peristiwa yang dialami Bhima tatkala keluar dari dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya. Keagamaan Majhapahit lebih mempertegas hubungan konvensional dan kepercayaan lingkungan alam, yang sesungguhnya adalah representasi mental yang pernah berlaku sejak awal dengan fokus utama keyakinan kepada nenek moyang yang disebut leluhur, rumuhun atau Sang Hyang.

HAYAM WURUK



Hayam Wuruk (atau Rajasanagara) adalah raja Majapahit (1350-1389). Ia dianggap sebagai raja terbesar Majapahit atas dasar pada masa pemerintahannya Majapahit mencapai wilayah terluasnya. Mahapatih Gajah Mada memiliki peranan penting dalam pemerintahan Hayam Wuruk.

Asal-usul

Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik tahta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori (Parameswari).

Masa pemerintahan Hayam Wuruk

Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).

Peristiwa Bubat

Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Pajajaran (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.

"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.

Sastra

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika) digubah oleh Mpu Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca (1365).

Suksesor

Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.

Sejarah Majapahit

Setelah raja S’ri Kerta-negara gugur, kerajaan Singhasa-ri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasa-ri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singha-sa-ri pertama dan anak dari Dyah Le(mbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Ke(rtana-gara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Na-garakerta-gama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Ke(rtana-gara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasa-ri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasa-ri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Te(rik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar S’ri Ke(rtara-jasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Parames’wari Dyah Dewi Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Ke(rtana-gara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, S’rimat Tribhu-wanara-ja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasa-ri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayana-gara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (be(ke(l bhayangka-ri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayana-gara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sade(ng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri Rajasana-gara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhu-mi (maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pa-duka S’ori, anak dari Bhre We(ngke(r yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumape(l ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar S’ri Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Su-ryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)


Powered by Blogger.