SOSOK GAJAH MADA

Wednesday 30 May 2012


Gajah Mada sosok kontroversi negeri ini. Ia telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam literature sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya. Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan Negara yang ia bela.
Tulisan ini coba memberikan gambaran dari sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan merupakan sosok Dewa ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!
menjelang ajalnya, Gadjah Mada diketahui menyepi ke daerah Madakaripura, Probolinggo, yang menjadi salah satu bagian dari lereng Gunung Semeru. Sang Maha Patih tiba-tiba ia merasa sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan semua kebesarannya. Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit sudah sebesar yang diimpikannya. Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya. Oleh Hayam wuruk, ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai Brantas yang dibebaskan dari pajak dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan Patih yang sudah tua itu.
Dalam kesendirian dan ketuaannya terbayang kembali saat Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya, sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia telah berhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah salah satu jalan yang diplih untuk memperkuat negara itu. Apalagi dalam perjalanannya, negara yang baru tumbuh itu, harus mengalami berbagai macam pemberontakan, yang terutama dari sahabat dekat sang raja sendiri, seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada yang siap beregenerasi. Maka sekolah militer untuk perwira dimasa depan disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu produknya. Menghabiskan masa muda dalam pendidikan kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya. Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia lemah. Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder), yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada. Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat, apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat. Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakang sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang raja kembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah. Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah. Bagi Gajah mada kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana, punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.
Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti, menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Akhirnya, pada tahun 1334 M, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah yang dikenal sebagai Amukti Palapa :
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktI palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan untuk mewujudkan sumpah itu. Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi, karena Hayam wuruk masih kecil.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda. Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai.
Gajah Mada memang telah menjadikan urusan kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia tidak memiliki perhatian terhadap Negara. Namun di balik semua itu, ia hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang lainnya yang memujinya setinggi langit, Suara Tantular tidak pernah diperhitungkan!”
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multi dimensi yang mendera Majapahit.
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk! Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai Datuk, dan “di atas kertas” walaupun tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan orang Sumatera, “Orang Jawa (Maha Patih Gajah Mada) datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.”
Hayam wuruk yang beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding. Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan dan sangat pantas menjadi menantunya.
Dan segera urusan ini dipercepat, dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu jemputan dari Majapahit.
Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai. Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh, Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang sederajat, sekutu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan. Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai tradisi pengantin waktu itu, melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada, tapi Gajah Mada adalah orang yang sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya insting kenegaraan saja, dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi mereka berbeda, dan tak mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama. Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu, ialah yang harus mundur. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa yang penting. Pada negara atau pada raja?
Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya, diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu dilegendakan riwayat kelahirannya. Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya. Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Hayam Wuruk kemudian memilih enam Maha Mantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Ke enam Maha Mantri Agung ini bukanlah dari kalangan yang dibina oleh Sang Gajah Mada karena semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, dikisahkan pada tahun 1329 M, Patih Majapahit Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk.
Terngiang kembali dalam kesendiriannya beberapa percakapannya di pendopo agung kepatihan antara dirinya (Gajah Mada) dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri.
“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”
Dikeuzurannya Sang Gajah Mada sepi tanpa istri dan dalam kesendiriannya pula mantan Maha Patih Agung itu mangkat….. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

0 comments:

Powered by Blogger.