DIALOG DENGAN KI BUTA LOCAYA

Sunday 19 February 2012
Pada tahun 1832,ketika kota Kediri diperintah oleh Gupermen (pemerintahan pada jaman Hindia Belanda), pembesar Belanda bertanya tentang legenda kota Kediri. Saat itu yang ditanya adalah Mas Ngabei Purbawidjaja, seorang beskal atau Jaksa Ageng di kota Kediri yang pertama. Raden Mas Ngabei Purbawidjaja adalah canggah atau cicit Pangeran Katawengan yang berkuasa di kota Kediri.
Pada suatu hari Mas Ngabei Purbawidjaja memanggil dalang wayang klithik bernama Ki Dermakanda yang bertempat tinggal di kawasan Kandairen, Mojoroto, Kediri. Dalang itu sudah amat tua, tetapi masih mampu berbicara jelas, dapat bercerita dengan baik dan sangat pandai berkisah. Setelah sang dalang tiba di rumah Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung diberi tahu tentang perlunya di panggil oleh Mas Ngabei Purbawidjaja.
“Ki Dermakanda, karena ada pertanyaan dari Gupermen tentang legenda atau riwayat tentang bagaimana asal mula terjadinya nagari Kadhiri atau kota Kediri, maka saya berpendapat hanya engkau yang dapat menjawab pertanyaan Gupermen tersebut.Mengapa? Karena engkau adlah seorang dalang kuno. Dan kisah yang engkau ceritakan ketika mendalang adalah tentang nagari Kadhiri, Janggala, Ngurawan dan Singasari. Jadi engkau pasti dapat menceritakan sejarah Kediri. Ceritakanlah bagaimana lahirnya kota Kediri, asal mulanya sampai menjadi nagari dan siapa yang mula–mula melakukan hal itu? Karena pengetahuanku mengenai cerita itu hanya terbatas pada cerita Panji Inu Karpati dan masa sesudah Panji Inu Karpati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kartapati. Sedangkan cerita sebelum masa Panji Inu Kertapati tidak aku ketahui sama sekali. Untuk itu cobalah ceritakan masa sebelum Panji Inu Kertapati. Aku akan mencatat kisahmu,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja kepada Ki Dermakanda.
Mendapat pertanyaan dan perintah seperti itu, Ki Dermakanda menjawab. ”Bendara ( yang dipertuan), mengenai cerita Nagari Kadhiri, sesungguhnya pengetauhan hamba sama dengan pengetauan tuan hamba, yaitu mulai Panji sampai sesudah masa kehidupan Panji. Masa sebelum Panji hamba juga tidak mengerti. Namun demikian, bila ada pembesar yang menghendaki keterangan tentang babad Kadhiri, rasanya hamba dapat memberikan keterangan. Karena hamaba bersahabat dengan jin bernama Kyai Buta Locaya yang bersemayam di Gua Sela Bale, Gunung Klothok. Dia adalah raja jin di seluruh wilajah Kadhiri, menguasai gunung Kelud,gunung Wilis hingga ke wilayah utara sampai perbatasan Japan (Japanan—sekarang daerah Mojosari, Mojokerto). Sebelum daerah ini menjadi kota, Kyai Buta Locaya sudah tinggal di kayangan hutan gunung wilis. Untuk iyu hamba berpendapat bahwa Kyai Buta Locaya mengetahui babad atau legenda kota Kediri ini.”
“Jika demikian, bagus sekali. Pertemukan saja aku dengan Kyai Buta LOcaya dan aku akan bertanya sendiri kepadanya,”kata Mas Ngabei Purbawidjaja.
Ki Dermakanda langsung menjawab,”Baiklah tuan, asalkan dia mau bertemu dengan tuan hamba. Tetapi walaupun dia mau bertemu dengan tuan hamba, hambalah yang akan menjadi peantara.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung menyahuti,”Ya, sekehendakmu sajalah. Tetapi bila kamu yang dijadikan perantara, jangan berbicara yang bukan-bukan atau asal omong saja seperti kebiasaan orang yang kemasukan setan atau seperti orang kesetanan dan berbicara ngawur. Karena perkara ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan permintaan orang berkuasa di negeri ini. Jadi kamu harus mengatakan yang sebenarnya. Kyai Buta LOcaya hendaknya juga engkau beri tahu bahwa dia diminta untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Ki Dermakanda menjawab, “Daulat tuanku, asal lengkap sesajennya tentu dia mau mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Keterangan dari Kyai Buta Locaya bias ditulis atau dicatat kemudian dipersembahkan kepada raja atau pembesar. Karena hamba kira sudah cukup, perkenankan hamba mohon pamit pulang dulu. Besk hari Jum’at Kliwon hamba akan menghadap lagi. Hamba mohon agar tuan hamba menyediakan sesajen yang lengkap, seperti layaknya orang hendak menyewa atau memainkan wayang krucil.”
Kemudian Ki Dermakanda mohon diri dan setelah diijinkan oleh Mas Ngabei Purbawidjaja, dia langsung pulang.
Pada hari Jum’at Kliwon yang ditentukan, Mas Ngabei Purbawidjaja sudah menyiapkan sarat-sarat dan sesajen lengkap, tidak kurang satupun. Semua sesajen itu diatur dan ditata di atas tikar pandan yang masih baru di kamar tamu.
Kira-kira menjelang tengah malam, Ki Demakanda dating menghadap mas Ngabei Purbawidjaja serta membawa temannya seorang nayaga ( pemukul gamelan atau pemukul alat music Jawa) bernama Pak Sondong yang sudah lanjut usianya. Dia kemudian dipanggil untuk masuk ke kamar yang sudah disiapkan.
Setelah mereka duduk menghadap Mas Ngabei Purbawidjaja, ia bertanya kepada tamunya,”Mana Wayangnya?”
Ki Dermakanda menjawab,”Tidak usah menggunakan wayang, yang menjadi wayang adalah hamba berdua. Hamba mewakili tuan hamba sedangkan Pak Sondong yang akan dimasuki(dirasuki)jin Kyai Buta Locaya.Nanti jika hamba sudah membakar dupa, Ki Buta Locaya akan segera masuk ke dalam raga Pak Sondong dan hamba menjadi wakil tuan hamba.Hamba bertanya kepadanya dan dia akan menjawbnya. Untuk itu hamba mohon agar tuan hamba mencatat semua yang di katakana Pak Sondong.”
Mas Ngabei Purbawidjaja langsung berkata,”Baiklah, coba segera laksanakan semua apa yang kamu inginkan, saya akan mencatatnya.”

0 comments:

Powered by Blogger.