DAERAH TULUNGAGUNG PADA JAMAN PRA – SEJARAH

Friday 11 November 2011
Menurut pengertian umum yang dimaksud dengan jaman pra – sedjarah adalah jaman di mana belum ada hasil – hasil kebudayaan yang berisikan tulisan yang dapat digunakan untuk pengetahuan sedjarah mengenai jaman itu. Dalam perbatasan waktu, zaman pra – sejarah ini terbentuknya bumi, mulai timbulnya tumbuh–tumbuhan, hewan dan manusia.
Dalam tulisanini sekedar akan kami petikkan kesimpulan-kesimpulan sedjarah terbentuknya bumi untuk mengetahui betapa tuanya sebagian dari daerah Tulungagung ini, dibedakan menjadi empat zaman, yaitu:
1. Zaman tertua ( Arcahaesum).
2. Zaman hidup tertua ( Pala cozoisum)- disebut juga jaman pertama (primair).
3. Zaman hidup pertengahan ( mesozeicum)- disebut pula jaman kedua ( sekundair).
4. Zaman hidup baru (neo zoisum) – jaman ini dibagi lagi menjadi dua yaitu, Jaman ketiga (tertier) dan jaman keempat (quartir).
Pada zaman ketiga (tertiair) bentuk kepulauan Indonesia hanya merupakan deretan pulau-pulau kecil yang sekarang merupakan pegunungan-pegunungan yang membujur dari Sumatra, Jawa, Musa tenggara, Maluku dan membelok ke Sulawesi. Di bagian tengah: dari semenanjung Malaka, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, melalui laut Jawa membelok ke Kalimantan Selatan.Dan sebagian yang paling utara berupa pegunungan-pegunungan Kwenlun di Kalimantan. Selama akhir jaman ketiga dan terus berlangsung pada sebagian jaman keempat, terjadi perubahan-perubahan yang hebat sekali. Di Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi pula gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan kita.
Perubahan–perubahan tersebut di perkirakan mulai ½ juta tahun yang lalu.Dari uraian-uraian di atas dapatlah kami kemukakan bahwa terbentuknya daratan-daratan pegunungan gamping di bagian selatan Pulau Jawa yang membujur dari Jawa tengah sampai Jawa Timur,terjadi pada masa ± ½ juta tahun yang lampau.Hal ini berarti bahwa bagian selatan daerah Tulungagung,yang menjadi sebagian sumber perekonomian daerah ini,merupakan bagian tanah tyang cukup tua umumnya , dengan hasilnya batu kapur, batu marmer.Daerah ini dalam perkembanganya ternyata mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan sejarah Tulungagung.






Salah satu Goa Manusia Purba di Tulungagung yang di eksplorasi
Pada zaman keempat terjadilah zaman empat kali zaman es,di mana saat-saat demikian sebagian air di lautan tertarik utara dan selatan .Akibatnya adalah laut-laut yang dangkal menjadi kering,termasuk pula laut Jawa.Jawa pada saat itu menjadi daratan yang luas,sehinga pulau Jawa,Sumatra,Semenanjung Malaka menjadi satu daratan asia.Selama zaman es ini daerah katulistiwa tidak mengalami adanya es,tetapi yang di alami adalah musim hujan yang lama sekali.Pada zaman es / zaman keempai ini pulalah mulai ada tanda-tanda makluk yang mempunyai sifat-sifat kemanusiaan,tetapi bentuk tubuhnya masih menyerupai kera-kera besar.Makluk-makluk semacam ini di sebut manusia kera ( pitecantropus).Dan para sarjana berpendapat bahwa pada saat-saat terjadinya zaman-zaman es,daerah itu dingin sekali hawanya,sehinga binatang-binatang dan manusia berpindah menuju kea rah selatan,ke daerah katulistiwa. Di antara manusia-manusia kera itu ada yang sampai di Indonesia. Dan terbukti situs-situs keramgkanya yang telah membatu banyak di temukan di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan menurut penyelidikan jenis manusia-kera yang tertua di dunia situsnya juga diketemukan di daerah ini. Di daerah Tulungagung, yaitu di daerah Wajak pada tahun 1989 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, yang oleh para ahli digolongkan jenis manusia cerdas (Homosapiens). Tengkorak “ manusia Wajak”(homowajakensis) ini ternyata ada persamaan-persamaannya dengan tengkorak suku bangsa asli di Australia. Karena itu di perkirakan homowajakensis ini merupakan nenek moyang suku bangsa asli di Australia.
Hal lain yang mencolok mengenai manusia wajak ini, bahwa jenis manusia ini sudah menunjukkan ketinggian peradapannya di banding jenis-jenis manusia sebelumnya, yaitu dia sudah ditanamkan (dikubukan). Pada hal dalam kehidupan prasejarah masa-masa berikutnya, sitem penguburan itu baru dikenal sesudah manusia mengalami proses perkembangan berates-ratus tahun lamannya, yaitu pada zaman batu muda (neoliticum) yang sudah lama lewatnya dari zaman Es-akhir
Dasar-dasar penguburan erat sekali dengan kepercayaan yaitu merupakan usaha melindungi roh-roh dari gangguan alam atau binatang buas. Maka dari itu kalau memang benar Homo-wajakensis itu sudah mengenal penguburan, berarti pula mereka sudah mengenal usaha melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan hidupnya, mendirikan tempat-tempat tinggal atau berlindung di dalam goa-goa untuk menghindari keganasan alam dan binatang buas. Dalam hubungan ini tidak mustahil bila goa-goa yang terdapat di daerah wajak dahulu juga merupakan tempat tinggal manusia-manusia seperti Homowajakensis itu.






Fosil Homowajakensis yang disimpan di muesium bandung Jawa Barat
Goa-goa tempat tinggal semacam itu dari bukti-bukti sedjarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni-penghuni goa itu harus mencari makan berupa kerang atau ikan.
Dareh Wajak relative tidak jauh dari rawa-rawa yaitu: Rawa Bening Bedalem.Kemungkinan besar memang rawa ini merupakan yang terjadisemasa tengah terjadinya Gunung Gamping didekatnya.
Mengenai rawa ini di dalam cerita-cerita rakyat banyak disebut dalam hubungannya dengan daerah wajak dan daerah sekitarnya.Hal ini juga merupakan bukti bahwa daerah ini adalah daerah penting yang sangat di kenal sehingga secara turun temurun namanya diabadikan dalam bentu dongeng atau cerita rakyat. Sudah jelas bahwa daerah Tulungagung selatan pernah dihuni manusia-manusia purba yang kemungkinan menjadi nenek moyang bangsa-bangsa yang masih hidup sampai sekarang. Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia-manusia yang tinggal di daerah ini merupakan manusia-manusia keturunan Wajakensis. Bangsa Indonesia sekarang (termasuk penduduk kota Tulungagung) adalah bangsa-bangsa yang nenek moyangnya berasal dari daerah Cina Selatan dan sebelumnya pindah ke Indonesia mereka telah lama tinggal di daerah Indocina. Sejak ± tahun 2000 Sm barulah mereka berpindah ke Indonesia. Perpindahan ini tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini berakhir pada ±th. 500SM.
Bangsa ini di Indonesia kemudian menyebar ke berbagai kepulauan di tanah air kita yang berjauhan letaknya. Akibatnya terjadi adat kebiasaan, kebudayaan dan bahasa yang digunakannya beragam. Oleh sebab itu, lambing Negara yang ada semboyan adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini tepat sekali untuk menggambarkan keragaman bangsa kita yang sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang sama itu.








Pabrik Marmer di Tulungagung Selatan di Pegungungan gamping Wajak, Besole

Suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia ini dibedakan menjadi dua golongan, yaitu suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) dan Suku Bangsa Melayu Muda atau neo-Melayu. Yang termasuk suku bangsa-Melayu Tua antara lain Suku Batak Karo (sebagian),Dayak, Toraja. Sedangkan yang termasuk Suku bangsa Melayu Muda antara lain Suku Bangsa Jawa, Madura, Bali, Banjar dan sebagainya.
Bagaimana persebarannya lebih lanjut nenk moyang kita di daerah Tulungagung ini, kita tidak menemukan keterangan-keterangan sedikitpun. Tetapi jelas sisa-sisa kebudayaan rohaninnya, terutama mengenai kepercayaannya, sampai sekrang masih dapat kita lihat hidup kuat di daerah kita ini. Sisa-sisa keprcayaan itu yang di sebut Dinamisme dan Animisme.
Dinamisme:kepercayaan mengenai adanya kekuatan gaib serta pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat. Sedangkan
Animisme :
Kepercayaan terhadap adanya roh-roh dan peranannya di dalam kehidupan masyarakat. Sisa-sisa kepercayaan dinamisme dan animisme tidak hanya di Tulungagung saja, tetapi bias dikatakan masih hidup kuat di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, walaupun wujudnya sudah merupakan gabungan dengan kebudayaan/kepercayaan baru yang pernah berpengaruh pada masyarakat Indonesia pada sepanjang sejarahnya.
Contoh-contoh yang jelas mengenai sisa-sisa kepercayaan kuno semacam itu yang masih hidup di daerah Tulungagung, yaitu kepercayaan akan kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka yang berwujud Tombak. Tombak ini yang dikenal dengan nama atau sebutan “Kyai Upas”. Kini pusaka ini disimpan dan dipelihara di bekas rumah pensiunan salah seorang Bupati Tulungagung, tepatnya di desa Kepatihan. Pusaka ini menurut kepercayaan masyarakat Tulungagung umumnya, dapat menimbulkan malapetaka: banjir, wabah penyakit dan sebagainya bila dipindahkan dari Tulungagung atau kurang diperhatikan pemeliharanya. Kepercayaan terhadap pusaka tersebut tidak lain berkisar pada kesakitan yang ada pada benda itu. Kesaktian semacam ini di dalam Ilmu kebudayaan disebut “MANA”. Suatu benda yang ber “MANA” besar, dapat mempunyai kekuatan luar biasa dapat menghindari mala-petaka yang akan menimpa keluarga yang memiliki atau menyimpan pusaka tersebut.
Di dalam kepercayaan dinamisme ada anggpan bahwa semua benda, semua bagian-bagian anggota badan mempunyai MANA. Berkurangnya bagian benda atau bagian badan tertentu, menyebabkan berkurangnya MANA benda atau badan itu sendiri, bila bagian benda/badan yang berkurang itu memperoleh tambahan MANA. Sehubungan dengan kepercayaan inilah timbul Black Magic (Sihir Hitam) seperti jengges, tenung dan sebagainya yang menggunakan bagian-bagian dari benda/badan yang akan menjadi sasaran sihir tersebut sebagai alat untuk menjalankan tujuan-tujuan jahatnya. Di samping itu, pelaksanaan ilmu sihir tentu memerlukan bantuan roh-roh halus untuk menjalankannya.
Kepercayaan mengenai sihir ini di daerah Tulungagung juga masih hidup dalam tata kehidupan masyarakat. Bagi warga Tulungagung daerah yang dikenal sebagai daerah tukang sihir diantarannya adalah daerah Wajak.
Juga erat hubungannya dengan animisme ialah kepercayaan di daerah Tulungagung yang mempercayai kota ini dijaga oleh roh-roh halus yang dikenal dengan sebutan “Mbah DJIGANGJOJO” dan “Mbah TJLUNTJANGDJOJO”

0 comments:

Powered by Blogger.