Kisah KH. ABU MANSUR PENGIKUT PANGERAN MANGKUBUMI

Wednesday 15 September 2010


masih keturunan KH Abu Mansur, beliau keturunan adipati Cakraningrat dari Madura yang belajar Agama Islam (menjadi santri) kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau mempunyai 4 putra, yaitu; Kyai Yusuf ( Martontanu / Abu Mansur 2), Kyai Ilyas Winong, Nyai H. Muhsin dan Nyai Djodikromo.

Dalam geger Pecinan semula Sunan Pakubuwono 2 (1727-1749) membantu orang- orang Cina melawan VOC. Setelah orang- orang Cina dapat dikalahkan VOC, Pakubuwono 2 berbalik memihak VOC. Melihat sikap Pakubuwono 2 berbalik kepada VOC, Mas Garendi (cucu Sunan Mas) dengan didukung oleh rakyat memberontak dan berhasil menguasai Keraton Surakarta kemudian diangkat menjadi Sunan Kuning. Pakubuwono 2 terpaksa menyingkir mencari perlindungan kepada Kyai Ageng Mohammad Besyari di Ponorogo. Dengan mendapat bantuan dari Kompeni dan Kyai Ageng Muhammad Besyari beserta murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur, Pakubuwono 2 dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1668 Jawa / 1743 Masehi.

Atas jasanya mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari , Jetis Ponorogo dan KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi

Pada waktu Sunan Pakubuwono 3 memerintah Kerajaan Mataram (1749-1788) menggantikan ayahnya, Sunan Pakubuwono 2, mendapat perlawanan kuat dari pamannya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said . Karena pemberontakan sulit di padamkan, maka diadakan perjanjian Giyanti (1755) yang salah satu isinya adalah Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Raja di Yogyakarta dengan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono 1.

Perjuangan Pangeran Mangkubumi mendapatkan tahta Kerajaan di Yogyakarta tersebut mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari (Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur. Karena Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC. Karena jasanya dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1770 Masehi.

Layang kekancingan (surat tugas) dari Pangeran Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut sebagai berikut:

“Ingkang dihin salam ingsun marang siro Abu mansur.

Pakeniro ingsun maringi panguwoso merdiko marang siro, yoiku tanah iro sarehiro kanggo sak turun- turun iro.

Ingkang dihin ingsun maringi panguwoso marmane, lan ingsun maringi nawolo ingsun paparentahan kang mardiko.

Sing sopo nora angestokno, amaido, iku banjur hunjukno marang ingsun, bakal ingsun palaksono hono alun- alun ingsun, sakehing nayokoningsun.

Asmo dalem Mangkubumi dawuh pangandiko dalem sinangkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi”.

Terjemahan bebas dari layang kekancingan tersebut adalah

“Pertama- tama salamku kepada Abu Mansur.

Atas perintahku kuberi kamu kekuasaan tanah merdeka, yaitu tanah dan daerah yang kamu kuasai semua untuk kamu dan semua keturunanmu.

Itulah sebabnya aku memberi kekuasaan lebih dahulu dan kuberikan suratku (sebagai penguat) pemerintahan yang merdeka

Barang siapa tidak melaksanakan, mencela, laporkan kepadaku akan kuberi hukuman di alun- alun saya (disaksikan) oleh semua pejabat- pejabatku.

Atas nama perintah Mangkubumi, dengan diberi tanda waktu Buto Ngerik Mongso jalmi”.

Surat tersebut ditulis dengan huruf Jawa, bersetempel merah, atas nama Pangeran Mangkubumi dan aslinya disimpan oleh keturunan KH. Abu Mansur. Sengkalan “Buto Ngerik Mongso Jalmi” tersebut menunjukkan tahun pembuatan atau dikeluarkannya surat. Namun ada beberapa penafsiran terhadap sengkalan tersebut, terutama pada kata “Ngerik”. Buto= 5, Ngerik jika diberi makna “lar” (bulu)= 2, jika diberi makna “muni” (bersuara)= 7, jika diberi makna “nggangsir” (jangkrik)= 9, Mongso= 6 dan Jalmi= 1. Jika dibaca dari belakang, sengkalan Buto Ngerik Mongso Jalmi tersebut menunjuk tahun 1625 / 1675 / 1695 tahun Jawa. Kemudian jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tahun 1700/ 1750/ 1770. Dalam sejarah disebutkan Pangeran Mangkubumi memerintah Kerajaan Yogyakarta (Hamengkubuwonbo.1)antara tahun 1755- 1792, maka penafsiran atas sengkalan tersebut lebih tepat menunjuk tahun 1770 Masehi, lima belas tahun setelah mendapat kedudukan sebagai Hamengkubuwono 1. Karena sebelum Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta, Kadipaten Ngrowo di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Dengan adanya perjanjian Gianti (1755) ada pembagian wilayah kekuasaan dan Kadipaten Ngrowo menjadi wilayah kekuasaannya Kasultanan Yogyakarta.

Sedangkan layang kekancingan (surat) dari/ atas nama Sunan/ Keraton Surakarta isinya sebagai berikut:

“Tetedakan nawolo dalem , asmo dalem.

Ingsun maringi bumi marang Kyai Abu Mansur, siji- sijining deso Majan, Winong, Tawangsari.

Marmane ingsun paringi gegadhuhan bumi, dene ingsun dhawuhi andedongo nyuwunake slamet kagunganingsun keraton ing Surokarto.

Marmane sapungkuringsun sopo kang nyekel tanah Jowo darah ingsun kang jumeneng noto nglestarekno peparing ingsun marang Kyai Abu Mansur tumeko saturun- turune.

Pepacuhan- pepacuhan kawulaningsun kabeh podo angestokno saunining nawoloningsun.

Sing sopo ora angestokno tanapi amaido kalaksono sakehing nayakaningsun ono alaun- aluningsun.

Ingsun dhawuh pangandiko dalem.

Kaping, 15 Mulud 1672”.

Terjemahan bebas layang kekancingan dari keraton Surakarta tersebut :

“Surat dari saya atas nama saya.

Saya memberi tanah kepada Kyai Abu Mansur, masing- masing desa Majan, Winong dan Tawangsari.

Makanya saya memberi hak guna tanah, dan saya perintah berdoa memintakan keselamatan keraton saya di Surakarta.

Setelah saya, siapa yang memerintah tanah Jawa (hendaknya) melestarikan pemberian saya kepada Kyai Abu Mansur sampai keturunannya.

Segenap aturanku, semua pejabatku hendaklah mentaati bunyi surat saya.

Barang siapa tidak mentaati atau mencela mendapat hukuman dari pejabat- pejabatku di alun- alun.

Saya ucapkan ucapan saya.

Pada, 15 Mulud 1672.

Layang kekancingan tersebut aslinya disimpan oleh Kyai Komaruz Zaman, imam masjid Tawangsari sekarang. Ditulis dengan huruf Jawa, tidak distempel dan tidak ditanda tangani. Tahun yang tertera di surat tersebut (15 Mulud 1672) menunjukkan tahun Jawa. Jika dikonversi ke tahun masehi menjadi tanggal, 15 Mulut 1747 Masehi.

Ada dua layang kekancingan (surat) yang pernah diterima KH. Abu Mansur, namun tahunnya berbeda. Yang atas nama Kerajaan Surakarta, Pakubuwono 2, pada 15 Mulud 1672 Jawa/ 1747 Masehi dan atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1695 Jawa/ 1770 Masehi. Ada kemungkinan surat pertama (1672.J/ 1747.M) diberikan oleh Pakubuwono 2 yang menjabat sebagai raja tahun 1727-1749 sebelum Keraton Surakarta dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada waktu perjanjian Gianti tahun 1755. Sedang surat kedua 1695 Jawa/ 1770 Masehi diberikan oleh Mangkubumi setelah 15 tahun menjadi Sultan Yogyakarta. Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta tahun 1755- 1792 Masehi.

Namun ada juga kemungkinan penafsiran yang berbeda. Bahwa layang kekancingan (surat) dari Mangkubumi kepada KH. Abu Mansur tersebut ditafsirkan tahun 1675 Jawa/1750 Masehi. Dengan alasan surat tersebut atas nama Mangkubumi, bukan atas nama Hamengkubuwono 1. Dengan demikian Mangkubumi mengeluarkan surat tersebut sebagai wakil/ sekretaris raja yang membidangi masalah administrasi kerajaan menguatkan surat pertama yang dikeluarkan tahun 1672 jawa/ 1747 Masehi oleh Pakubuwono 2 yang belum ditanda tangani dan belum distempel yang dikeluarkan 4 tahun setelah menduduki tahta kembali dari kekuasaan Sunan Kuning pada tahun 1743 Masehi.

Dengan adanya perjanjian Gianti tahun 1755 M, wilayah kekuasaan kerajaan Surakarta dibagi menjadi dua atas dasar jumlah penduduk dan tingkat kesuburan wilayah. Pembagian tersebut sebagai berikut;

Kasunanan Surakarta dengan raja Sunan Pakubuwono 3 mendapat bagian wilayah; daerah Djagaraga, Ponorogo, separonya (setengahnya) Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo, Pace, Nganjuk, Brebek, Wirosobo (Modjoagung), Blora, Banyumas dan Keduang. Sedangkan jumlah penduduk di Kasunanan Surakarta 85.350 jiwa.

Kasultanan Yogyakarta dengan raja Mangkubumi (Hamengkubuwono 1) mendapat bagian wilayah; Daerah Madiun, Magetan, Caruban, setengahnya Pacitan, Kertosono, Kalangbret (Ngrowo), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras, Keras, Ngawen dan Grobogan. Sedangkan jumlah penduduk Kasultanan Yogyakarta 87.050 jiwa.

Jasa- jasa KH. Abu Mansur terhadap kadipaten Ngrowo/ Tulungagung diantaranya adalah:

.1. Beliau telah berdakwah di Kadipaten Ngrowo, khususnya Desa Tawangsari, Majan dan Winong. Ke tiga desa tersebut sejak dahulu hingga sekarang lebih dikenal sebagai daerah santri. Benda- benda purbakala peninggalan beliau berupa masjid Tawangsari, Winong dan Majan sampai saat ini masih bisa kita saksikan walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi.

2. Beliau telah melatih ilmu kanuragan kepada masyarakat ketiga desa tersebut. Di tahun enam puluhan, ke-tiga desa tersebut terkenal pencak silatnya. Setiap ada lomba pencak silat, pemuda- pemuda ke- tiga desa tersebut selalu ambil bagian. Bahkan banyak pondok pesantren yang ada di pelosok desa se- Tulungagung banyak yang mendatangkan guru bela diri/ pencak silat dari ke-tiga desa tersebut.

3. Di dalam buku “Babat dan Sejarah Tulungagung” disebutkan bahwa ketika Kadipaten Ngrowo hendak membangun alun- alun, KH. Abu Mansur ikut andil dalam pembangunan tersebut. Pada waktu itu tempat yang rencananya akan dibangun alun- alun masih berupa rawa- rawa. Di rawa- rawa tersebut ada sumber air yang terus mengeluarkan air dan sulit dibendung. Ternyata, atas jasa KH. Abu Mansur , sumber air tersebut dapat dihentikan hingga seperti alun- alun yang sekarang ini.

4. KH. Abu Mansur telah berhasil menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat pada rakyat ke- tiga desa tersebut. Ke-tiga desa tersebut sangat membenci terhadap penjajah Belanda maupun Jepang. Rasa nasionalisme yang ditanamkan oleh KH. Abu Mansur kepada rakyat Ngrowo dilandasi oleh semangat ajaran Agama Islam. Mungkin, karena semangat mempertahankan ajaran Islam inilah ketika terjadi peristiwa G.30. S, banyak sakerah- sakerah (pendekar Muslim yang berpakaian ala Madura) yang gagah berani dari masyarakat ke-tiga desa tersebut.

Demikianlah sekilas sejarah tentang kehidupan KH. Abu Mansur pada masa lalu. Semoga amal beliau dalam membimbing masyarakat Majan, Winong dan Tawangsari khususnya dan Kadipaten Ngrowo pada umumnya diterima oleh Allah dan mendapat balasan yang setimpal. Khusus masyarakat ke-tiga desa tersebut tidak ada jeleknya jika senantiasa mengenang jasa- jasa beliau dan berupaya melanjutkan perjuangannya. Sekalipun sekarang ke-tiga desa tersebyt sudah bukan lagi berstatus tanah perdikan, tidak ada jeleknya jika mengadakan kegiatan yang dapat mengenang jasa- jasa KH. Abu Mansur.

0 comments:

Powered by Blogger.